Power Station -  Stvepb - PixabayPerubahan iklim dan kualitas udara yang buruk menjadi dua ancaman terbesar bagi penduduk Eropa.

Pertumbuhan ekonomi sejak jaman revolusi industri pada abad 17 dan 18 telah membawa kemakmuran bagi penduduk Eropa. Revolusi industri dimulai dengan ditemukannya mesin uap yang mengubah secara radikal proses manufaktur. Dimulai di Inggris, diikuti oleh Perancis dan Belgia, mesin uap mendorong terwujudnya industri manufaktur tekstil dan logam yang kemudian menyebar ke seluruh dunia. Penggunaan mesin juga merambah sektor transportasi. Mesin uap mendorong terwujudnya jaringan kapal dan kereta api memercepat pertumbuhan ekonomi.

Namun disadari maupun tidak, disamping kesejahteraan ekonomi yang melampaui negara di belahan dunia lain, revolusi industri di Eropa telah membawa kerusakan sistemik. Dunia ilmu pengetahuan mengakui, polusi karbon akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara telah memicu perubahan iklim dan pemanasan global. Sementara kesejahteraan ekonomi, menciptakan gaya hidup yang semakin jauh dari lingkungan. Semua ini berdampak pada kualitas hidup dan kesehatan masyarakat Eropa.

Dampak kerusakan sistemik ini terungkap dalam laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirilis Rabu, 8 Juni 2016. Laporan berjudul Global Environment Outlook (GEO-6) menyebutkan, buruknya kualitas udara, perubahan iklim, gaya hidup yang tidak sehat dan semakin jauhnya masyarakat dengan alam menjadi penyebab penurunan kualitas hidup dan kesehatan penduduk Eropa.

Polusi udara menjadi sumber penyakit terbesar di wilayah ini. Lebih dari 95% penduduk perkotaan Eropa terpapar oleh polusi udara yang kondisinya melampaui batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pada 2012, lebih dari 500.000 kematian prematur di Eropa dipicu oleh buruknya kualitas udara luar ruang, sementara 100.000 kematian prematur lain diakibatkan oleh polusi dalam ruang.

Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan manusia dan ekosistem di wilayah ini. Perubahan iklim memicu banjir, gelombang panas, kekeringan, turunnya produktivitas pertanian, peningkatan polusi udara, alergi dan munculnya berbagai macam hama dan penyakit.

Belajar dari Eropa

Kerusakan keanekaragaman hayati dan ekosistem ini terus berlanjut yang dipicu oleh alih guna lahan, terutama untuk intensifikasi pertanian, urbanisasi dan perusakan habitat. Menurut PBB, kerusakan ini paling banyak terjadi di wilayah Eropa Barat dan Timur, diikuti oleh wilayah Eropa Tengah, Federasi Rusia dan negara-negara Asia Tengah. Padahal keanekaragaman hayati menjamin tersedianya jasa lingkungan seperti udara bersih, pangan dan air.

Lahan di Eropa menurut laporan PBB terus menjadi rebutan. Negara-negara anggota Uni Eropa (EU28) kehilangan lahan pertanian seluas 275 hektar per hari akibat alih guna lahan. Ketersediaan dan kualitas lahan berdampak langsung pada kesehatan manusia. Karena lahan menjadi penentu kualitas pangan dan nutrisi, menjadi lokasi berolah raga dan berekreasi. Semua itu berpengaruh pada gaya hidup, kualitas fisik bahkan pada kesehatan mental penduduk Eropa.

Laporan ini menyeru pada negara-negara Eropa untuk kembali ke ekonomi hijau dengan menciptakan sistem ekonomi/produksi yang bersih/ramah lingkungan, tata kelola penggunaan bahan-bahan kimia, seperti pupuk, yang baik, pengelolaan lingkungan/ekosistem yang lestari serta pola konsumsi dan gaya hidup yang sehat seiring dengan upaya mencapai target pembangunan berkelanjutan.

Apa yang bisa kita pelajari dari laporan ini? Hutan dan lingkungan Indonesia, saat ini terus dirusak oleh praktik deforestasi dan alih guna lahan. Sama dengan di Eropa, sebagian besar alih guna lahan di Indonesia adalah untuk pertanian. Pelakunya adalah korporasi yang didukung dan diikuti oleh segelintir elite. Kebakaran hutan terjadi setiap tahun. Polusinya mengalahkan emisi mesin-mesin industri dan transportasi. Pencemaran di sungai, lautan, di pedesaan dan perkotaan terus berlanjut.

Indonesia memiliki sumber energi bersih yang berlimpah namun masih mengejar pertumbuhan ekonomi dengan energi fosil. Sementara tata kelola dan penegakan hukum lingkungan Indonesia jauh tertinggal, kalah oleh praktik korupsi dan kepentingan ekonomi. Belajar dari negara-negara Eropa, haruskah kita mengulangi kesalahan yang sama?

Redaksi Hijauku.com