Krisis perubahan iklim tak bisa dielakkan lagi. Namun, berbagai pilihan tersedia untuk mengurangi risikonya. Dampak perilaku manusia terhadap perubahan iklim juga makin jelas terlihat dan bukti-bukti terus bertambah.

Di seluruh penjuru benua dan dunia, masyarakat merasakan dampak perubahan iklim. Jika tidak dikontrol, tidak hanya manusia, ekosistem yang akan menjadi taruhannya dan efek ini takkan bisa dipulihkan kembali.

Peluang muncul melalui berbagai program mitigasi, untuk mengendalikan dampak perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang lebih cerah serta berkelanjutan.

Kesimpulan di atas adalah temuan yang diungkapkan dalam Laporan Gabungan (Synthesis Report) Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang dirilis Minggu, 2 November 2014. Laporan ini menyeleksi dan menggabungkan berbagai temuan dalam Laporan Rekomendasi IPCC yang Kelima (IPCC Fifth Assessment Report).

Laporan ini disusun oleh lebih dari 800 ilmuwan dan diterbitkan selama 13 bulan terakhir. Laporan ini adalah laporan paling komprehensif yang pernah dilakukan oleh IPCC.

Laporan ini menyebutkan, pemanasan yang terjadi dalam sistem iklim bumi tak seragam. “Dalam laporan ini terungkap bahwa atmosfer dan samudra telah menghangat. Salju dan es mencair. Sementara konsentrasi CO2 dunia terus mengalami peningkatan tertinggi dalam 800.000 tahun terakhir,” ujar Thomas Stocker, yang turut memimpin sidang Kelompok Kerja I IPCC.

Aksi adaptasi tidak cukup. Dunia harus mengurangi emisi gas rumah kaca guna dalam jumlah yang besar dan berkelanjutan guna mengurangi risiko perubahan iklim. Aksi mitigasi ini selain mengurangi pemanasan global dan risikonya juga memberikan tambahan waktu untuk melakukan adaptasi perubahan iklim selama beberapa dekade ke depan.

Ada sejumlah cara mitigasi guna mengurangi emisi yag diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 2ºC – dengan tingkat keberhasilan lebih dari 66%. Jika dunia menunggu hingga 2030 tantangan teknologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan akan lebih besar.

“Secara teknis sangat mungkin dunia beralih ke ekonomi rendah karbon,” ujar Youba Sokona, yang turut memimpin sidang Kelompok Kerja IPCC III. “Yang diperlukan adalah kebijakan dan institusi yang tepat. Semakin lama kita menunggu beraksi, biaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan semakin besar.”

Biaya mitigasi menurut laporan IPCC tidak akan banyak berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dalam skenario normal, konsumsi – yang menjadi ukuran pertumbuhan ekonomi – akan tumbuh 1,6 hingga 3% per tahun sepanjang abad 21. Aksi mitigasi ambisius akan mengurangi konsumsi sekitar 0,06%. “Jika dibandingkan dengan dampak perubahan iklim yang tak bisa dibalikkan lagi, risiko (biaya) mitigasi ini masih bisa dikelola,” ujar Sokona.

Biaya mitigasi di atas belum memerhitungkan manfaat dari pengurangan risiko perubahan iklim atau manfaat lain yang berhubungan dengan kesehatan, mata pencaharian dan pembangunan ekonomi.

“Secara ilmiah manfaat memberikan prioritas untuk aksi perubahan iklim semakin jelas,” ujar Kepala IPCC, R.K. Pachauri. “Kita hanya memiliki sedikit waktu sebelum peluang untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 2ºC tertutup.

Emisi dunia harus dipangkas 40-70% dari tahun 2010 hingga 2050, dan menjadi nol atau negatif pada 2100. Kita (masih) memiliki peluang itu dan pilihan ada di tangan kita,” tutur Pachauri sebagai mana disampaikan dalam berita UNEP.

Redaksi Hijauku.com