Terrace field in Yunnan, China - Wikimedia CommonsMiliaran penduduk miskin di pedesaan menderita kerusakan lahan, menurunkan produktifitas pangan dan kualitas lingkungan. Namun solusi tersedia.

Dengan kembali ke praktik pengelolaan lahan yang berkelanjutan, dunia akan menghasilkan panen mencapai 2,3 miliar ton dengan manfaat ekonomi senilai $1,4 triliun. Hal ini terungkap dari hasil penelitian berjudul “Economics of Land Degradation” yang dirilis dalam konferensi mengenai desertifikasi yang saat ini masih berlangsung di Windhoek, Namibia.

Setidaknya ada tiga sektor strategis ramah lingkungan. Semua sektor tersebut terkait dengan kondisi dan ketersediaan lahan. Dalam penelitian yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa ini terungkap, nilai ekonomi sebuah lahan seringkali hanya dinilai berdasarkan nilai lahan pertanian dan hutan yang ada saat ini.

Penilaian jangka pendek inilah yang akhirnya memicu eksploitasi sehingga merusak kondisi biologi dan menurunkan produktivitas ekonomi dari lahan.

Perlu adanya perubahan pendekatan ekonomi yang menyeluruh untuk mengatasi kerusakan lahan dunia yang berdampak serius pada menurunnya hasil panen seiring bertambahnya jumlah penduduk.

Lahan, jika dikelola secara ramah lingkungan dan berkelanjutan, akan menimbulkan manfaat yang melampaui biaya pencegahan dan remediasi (pemulihan) kerusakan lahan.

Menurut penelitian ini, 10-20% lahan kering (dryland) dan 24% lahan yang diolah dunia telah rusak, menimbulkan kerugian ekonomi dengan nilai mencapai $40 miliar per tahun.

Masalah kerusakan lahan ini terutama diderita oleh penduduk miskin di pedesaaan yang jumlahnya kini mencapai 1,2 miliar jiwa. Mereka menggantungkan ekonomi mereka langsung dari lahan garapan.

Sementara 2 miliar penduduk yang tinggal di lokasi kekeringan terus mengalami penurunan kualitas lahan dengan luas mencapai 8 hingga 10 juta hektar per tahun – setara dengan luas wilayah Austria.

Penyebab kerusakan lahan beragam, diantaranya adalah kesalahan tata kelola lahan termasuk maraknya korupsi, kondisi kekeringan – yang memicu kelaparan dan krisis pangan – produksi pangan yang berlebihan, simpanan pangan dalam jumlah besar di Eropa, pembukaan lahan tanpa batas, subsidi pangan yang menekan harga pangan menjadi murah, serta energi serta sumber daya air yang berlimpah.

Padahal, menurut laporan ini, dunia perlu meningkatkan produksi pangan setidaknya 70 hingga 100% dari lahan yang saat ini tersedia untuk memenuhi kebutuhan pangan pada 2050.

“Dengan tingkat produktivitas yang ada saat ini, dunia perlu membuka 6 juta hektar lahan pertanian baru (setara dengan luas wilayah Norwegia) setiap tahun sampai tahun 2030 untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan dunia.”

Diperlukan investasi pertanian senilai $30 miliar per tahun guna memenuhi kebutuhan pangan populasi dunia yang terus bertumbuh. Sementara sejak 2007/2008, harga tanah terus mengalami kenaikan dan investor asing berebut membeli dan menyewa lahan.

Ini menjadi pertanda dunia semakin menyadari ancaman kerusakan lahan dan berupaya mengatasinya. Dari ekpansi lahan inilah sumber kerusakan lingkungan dimulai.

Analisis menunjukkan kemampuan negara-negara berkembang di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan untuk menemukan (melalui penelitian) dan menerapkan solusi kerusakan lahan masih kurang. Bahkan di Indonesia masih sering kita dengar ide-ide yang menuntut pembukaan lahan baru.

Ketergantungan terhadap segelintir jenis pangan (seperti padi dan gandum) juga memerparah kerusakan lahan pertanian. Upaya menghijaukan kembali industri pertanian terus berlanjut. Diantaranya dengan kembali ke kearifan dan pangan lokal, kembali ke pola pengelolaan lahan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Dengan belajar pada kegagalan intensifikasi pertanian pasca revolusi hijau, Indonesia terus berupaya meningkatkan daya saing petani kecil dan menciptakan ketahanan pangan di Bumi Pertiwi – kali ini tanpa merusak bumi.

Redaksi Hijauku.com