Siaran Pers – 16 Mei 2013 – Pekanbaru, Riau – Hasil investigasi Eyes on the Forest (EoF) menemukan satu perusahaan pemasok kayu untuk Asia Pulp & Paper (APP) dari Sinar Mas Group (SMG) menebangi hutan alam, pada saat moratorium penebangan hutan yang diberlakukan sendiri oleh SMG/APP sedang berlangsung di Provinsi Riau.
“Kejadian ini sama seperti yang dilaporkan oleh koalisi LSM di Kalimantan, bulan Maret lalu, sewaktu APP dan konsultannya, The Forest Trust (TFT), sibuk berkeliling dunia untuk mengkampanyekan kebijakan baru,” ujar Hariansyah Usman dari WALHI Riau. “Yang penting adalah apa yang terjadi di lapangan, bukan apa yang tampak pada materi publikasi untuk marketing.”
Para investigator EoF mendapati sejumlah ekskavator (alat berat) sedang menebangi pohon-pohon di hutan gambut pada lokasi konsesi PT. Riau Indo Agropalma (RIA) pada blok Kerumutan, padahal lokasi ini merupakan habitat Harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae) yang berstatus kritis oleh IUCN. SMG/APP juga belum menyelesaikan beberapa pengkajian, seperti Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF), area cadangan karbon tinggi (High Carbon Stock, HCS) dan gambut yang dilakukan oleh pakar independen, padahal perusahaan telah mendeklarasikan bahwa hal tersebut harus dilakukan sebelum dimulainya kembali penebangan hutan.
“Kalau SMG/APP benar-benar serius dalam melakukan konservasi alam, pembelinya pasti akan berharap APP melakukan langkah prioritas yaitu menghentikan semua tindakan penggundulan hutan, dan pengembangannya,” ujar Aditya Bayunanda dari WWF-Indonesia. “Perusahaan pemasok ini telah membabat hutan alam tersisa di wilayah konsesi mereka yang merupakan lahan gambut dan habitat Harimau Sumatera, tanpa adanya penilaian HCV, HCS dan kajian gambut secara independen terlebih dahulu. Akankah APP dan TFT, sekali lagi mengklaim bahwa ini sudah disepakati secara pribadi di balik pintu, sehingga ini bukanlah pelanggaran terhadap komitmen terhadap FCP?
Pada 7 Mei lalu, TFT mempublikasikan laporan perkembangannya tentang hasil implementasi kebijakan yang dilakukan oleh APP hingga pertengahan April 2013. Secara umum hasil laporan kemajuan ini mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan tersebut dan keterlibatan pemangku kepentingan sudah berjalan dengan sukses. Sebelas kelompok masyarakat sipil Indonesia yang berpartisipasi di dalam berbagai ‘diskusi kelompok terfokus (FGD)” yang diadakan oleh SMG/APP/TFT jelas tidak setuju dan menunjukkan banyak kelemahan yang luar biasa dari kebijakan, dan pelaksanaan dan pemantauan dalam sebuah surat terbuka kepada perusahaan pada tanggal 24 April 2013.
“Temuan-temuan ini membuktikan dengan jelas bahwa APP tidak melaksanakan komitmen yang telah dibuatnya sendiri,” ujar Muslim Rasyid dari Jikalahari. “Pelanggaran-pelanggaran menunjukkan bahwa APP benar-benar tidak berkomitmen kepada konservasi alam dan kami khawatir jika kampanye FCP ini hanyalah upaya greenwashing kepada pasar dunia.”
“Eyes on the Forest merekomendasikan kepada para pembeli dan mitra bisnis APP untuk tetap berhati-hati dan tidak melakukan bisnis dengan perusahaan,” ujar Hariansyah Usman dari WALHI Riau. “Kami menyarankan agar masyarakat tidak mempercayai bahwa TFT merupakan bagian dari ‘pemantau independen’ seperti yang digadang-gadangkan oleh APP demi meyakinkan pembelinya. Laporan kemajuan TFT ini diragukan kebenarannya tanpa adanya verifikasi independen di lapangan.”
APP tetap bersikukuh bahwa pabrik-pabrik olah pulp-nya menerima kayu sebagai bahan untuk memproduksi pulp yang berasal dari hutan alam yang telah mereka tebang sebelum dimulainya kebijakan moratorium. Hal ini selalu menjadi celah yang digunakan para penyuplai untuk memasok kayu kepada pabrik pulp. Laporan yang dilansir oleh koalisi LSM di Kalimantan Barat dan EoF mengindikasikan bahwa ketiga pemasok independen yang melakukan penebangan di wilayah konsesinya ini melakukan “pencucian” untuk suplai bahan baku bagi pabrik pulp tersebut.
Catatan untuk redaksi:
Laporan dipublikasikan di : http://www.eyesontheforest.or.id
Foto-foto investigatif yang dipublikasikan di database online Sumatera Eyes on the Forest-Google Earth ada di : http://maps.eyeontheforest.or.id
Video temuan EoF bisa dilihat di: http://vimeo.com/66048150
Soal kebijakan konservasi hutan APP, lihat laporan sebelumnya oleh Eyes on the Forest di:
http://www.eyesontheforest.or.id/?page=news&action=view&id=624
Pada 26 Maret, LSM di Kalimantan menerbitkan laporan bahwa pemasok APP terus menebang dan melakukan kegiatan pembangunan kanal gambut setelah moratorium FCP:
http://www.eyesontheforest.or.id/attach/Joint%20Press%20Release_APP%20FCP%20Violation%20in%20West%20Kalimantan_260313_English_20130326090349.pdf
Soal kelompok yang sama menerbitkan balasan bagi bantahan oleh The Forest Trust:
http://www.wwf.or.id/en/?27920/Borneos-RPHK-consortium-rebuts-APP-and-The-Forest-Trusts-Verification-Report-APPs-Forest-Conservation-Policyshould-embrace-more-relevant-stakeholders-and-truly-protect-forest-peat-lands
Surat bersama oleh 11 kelompok masyarakat sipil ((Burung Indonesia, Huma, Jikalahari, JPIK Focal Point Kalimantan Barat, Link-AR Borneo, Sampan, Scale Up, Titian, Wahana Bumi Hijau, Warsi and WWF Indonesia) kepada APP diterbitkan di : http://www.eyesontheforest.or.id/?page=news&action=view&id=627
Untuk informasi selanjutnya silahkan menghubungi:
Muslim Rasyid, Jikalahari ph: +62 812 7637 233
HariansyahUsman, WALHI Riau ph: +62 812 7669 9967
Nursamsu, WWF Indonesia, Riau-based ph: +62 812 7537 317
Afdhal Mahyuddin, EoF Editor ph: +62 813 8976 8248
Leave A Comment