Perubahan iklim mengancam keamanan pangan penduduk miskin perkotaan di wilayah Asia dan Afrika. Hal ini terungkap dari berita International Institute for Environment and Development yang dirilis Kamis (28/3).
IIED, dalam laporan berjudul “Urban poverty, food security and climate change”, memeringatkan, perubahan iklim akan menyebabkan kegagalan kebijakan pemerintah dan memengaruhi sistem pangan yang mencakup sistem penanaman pangan, pola panen, transportasi, penyimpanan dan jual beli pangan.
Menurut Dr Cecilia Tacoli, penulis utama laporan ini, sebagian besar penduduk di perkotaan harus membeli (tidak bisa menanam sendiri) pangan. Hal inilah yang menyebabkan penduduk miskin di perkotaan sangat rentan terhadap gangguan perubahan iklim. Perubahan iklim akan mengganggu sistem produksi, transportasi dan penyimpanan pangan – baik di kota maupun di desa – sehingga berdampak pada pasokan dan harga pangan.
Sementara kebijakan pemerintah gagal karena hanya berfokus pada peningkatan produksi pertanian dan perikanan di wilayah pedesaan.
Penduduk miskin sangat sensitif terhadap kenaikan harga pangan. Jika harga pangan naik – berapapun kenaikannya – keamanan pangan penduduk miskin di perkotaan akan terganggu. Penduduk miskin akan mengurangi jumlah dan kualitas pangan yang mereka beli dan konsumsi sehari-hari. Di Indonesia, kenaikan harga cabe saja – yang sebenarnya mudah untuk ditanam di perkotaan – telah menyebabkan ibu-ibu rumah tangga menjerit, memicu inflasi bahan pangan yang lain.
Laporan ini juga menyatakan, bagi penduduk yang tinggal di wilayah kumuh, perubahan iklim bisa mengganggu kemampuan mereka memersiapkan makanan. Selain karena ketiadaan ruang, lingkungan yang tidak bersih dan kekurangan akses atas sanitasi dan air bersih menjadi kendala utama.
Pemukiman kumuh juga rentan terdampak banjir, taifun, gelombang panas dan dampak perubahan iklim lain, karena lokasinya yang rawan bencana dan infrastruktur yang tidak memadai.
Yang memrihatinkan, sebagian besar penduduk yang berisiko berada di Asia dan Afrika, karena dalam tiga dekade ke depan pertumbuhan populasi dunia akan terjadi di dua wilayah ini.
Menurut laporan IIED – mengutip data FAO – jumlah penduduk yang mengalami kekurangan gizi kronis di dunia mencapai 870 juta orang dalam periode 2010-2012. Walau proporsi penduduk yang kekurangan gizi kronis di Asia Tenggara dan Amerika Latin turun, proporsi di wilayah lain naik dari 32,7% ke 35% di wilayah Asia Timur dan 17 ke 27% di wilayah Afrika sub-Sahara.
Redaksi Hijauku.com
Program sederhana menyiasati kondisi tersebut adalah, bagaimana memberdayakan masyarakat perkotaan, utamanya masyarakat miskin kota dengan cara sederhana berupa penggunaan pot sebagai media tanam. Yang sering kita saksikan dan dilakukan adalah media pot di halaman rumah hanya untuk menanam kembang ataupun buah-buahan. Kegiatan ini dapat lebih dikembangkan dengan menanam sayur-mayur ataupun cabe dan lain tanaman yang dapat dikembangkan melalui penggunaan media pot ataupun lahan halaman yang sempit. Perlu keterlibatan bersama dan Pemerintah yang bertanggungjawab untuk ketersediaan pangan masyarakat harus melakukannya segera dan tidak hanya pandai meng-“impor” agar dapat tidur lelap.