Industri bahan bakar fosil berencana mengoperasikan 14 proyek batu bara, minyak dan gas skala besar yang akan memerparah krisis iklim.
Jumlah emisi CO2 yang diproduksi oleh keempat belas proyek minyak, gas dan batu bara tersebut setara dengan jumlah emisi yang dihasilkan Amerika Serikat pada 2020.
Temuan ini terungkap dalam laporan Greenpeace terbaru yang diluncurkan Senin (4/2) di Jakarta. Laporan berjudul “Titik Tiada Balik” ini diadaptasi dari laporan berjudul “Point of No Return” yang telah diluncurkan oleh Greenpeace International dua minggu sebelumnya yaitu pada Selasa (22/1).
Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang akan mengoperasikan satu dari 14 proyek tersebut.
Laporan Greenpeace menyatakan, keempat belas proyek batu bara dan migas ini akan menambah 300 miliar ton emisi setara CO2 baru ke atmosfer pada 2050 hasil dari ekstraksi, produksi dan pembakaran 49.600 ton batu bara, 29.400 miliar kubik meter gas alam dan 260.000 juta barel minyak.
Jika ke-14 proyek raksasa ini berjalan, emisi gas rumah kaca di atmosfer bumi akan melampaui “titik tiada balik” alias batas maksimal emisi yang disyaratkan agar perubahan iklim menjadi tidak terkendali. Menurut analisis Greenpeace dan Ecofys, pada 2020, jika semua proyek ini berjalan, emisi di bumi yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil akan meningkat sebesar 20% dan suhu bumi akan meningkat 5-6 derajat Celsius.
Keempat belas proyek raksasa tersebut adalah:
1. Ekpansi tambang batu bara di China (menambah emisi 1,4 juta ton per tahun)
2. Ekspansi ekspor batu bara di Australia (menambah emisi 760 juta ton per tahun)
3. Pengeboran minyak dan gas di Kutub Utara (menambah emisi 520 juta ton per tahun)
4. Ekspansi ekspor batu bara di Indonesia (menambah emisi 460 juta ton/tahun)
5. Proyek pasir minyak (tar sand) di Canada (emisi 420 juta ton/tahun)
6. Ekspansi ekspor batu bara di Amerika Serikat (emisi 420 juta ton/tahun)
7. Pengeboran minyak di Irak (tambahan emisi 420 juta ton/tahun)
8. Pengeboran minyak dalam di Teluk Meksiko (menambah emisi 350 juta ton/tahun)
9. Pengeboran minyak dalam di Brasil (menambah emisi 330 juta ton/tahun)
10. Pengeboran minyak di Kazakhstan (menambah emisi 290 juta ton/tahun)
11. Proyek shale gas di Amerika Serikat (menambah emisi 280 juta ton/tahun)
12. Pengeboran gas di Afrika (menambah emisi 260 juta ton/tahun)
13. Pengeboran gas di Laut Kaspia (menambah emisi 240 juta ton/tahun)
14. Proyek pasir minyak di Venezuela (menambah emisi 190 juta ton/tahun)
“Proyek ekspansi batu bara di Indonesia menyumbang penambahan emisi terbesar keempat di dunia,” ujar Arif Fiyanto, juru kampanye iklim dan energi dari Greenpeace Indonesia. Menurut Arif, ekspor batu bara Indonesia mencapai 340 juta ton per tahun. “Namun ekspor batu bara hanya menyumbang 3% dari Produk Domestik Bruto nasional,” tuturnya.
Dampak ekonomi ini tidak sebanding dengan manfaat dan kerusakan yang ditimbulkan oleh pertambangan batu bara. Menurut Kahar Al Bahri, Dinamisator Jaringan Tambang (Jatam) di Kalimantan, 60-70% produksi batu bara Indonesia ada di wilayah ini. “Hampir semua wilayah Kalimantan sudah digadaikan,” tuturnya.
Namun manfaat ekonomi bagi masyarakat belum dirasakan. “Akun Twitter PLN Samarinda menjadi patokan masyarakat yang akan menggelar hajatan karena seringnya mati lampu,” tutur Kahar. Masyarakat kekurangan energi di lumbungnya sendiri.
Bencana banjir akibat kerusakan lingkungan menjadi pemandangan sehari-hari. “Banjir di Muara Kanan, banjir di Simpang Lembuswana adalah bukti dari kerusakan lingkungan akibat praktik pertambangan,” tuturnya.
Dan ekologi Kalimantan, menurut Kahar adalah ekologi yang tua, yang sulit untuk dipulihkan. “Praktik penambangan batu bara selalu mengeruk tanah dan menebang pohon. Tidak seperti di wilayah lain, Kalimantan tidak memiliki gunung besar yang erupsinya mampu digunakan untuk menutup bekas-bekas pertambangan ini,” tutur Kahar sambil memerlihatkan gambar lubang-lubang tambang di Pit Hatari milik Kaltim Prima Coal.
Menurut Arif Fiyanto, dalam konteks batu bara,100 orang terkaya di Indonesia diindikasikan turut bermain dalam industri ini. “Namun tidak ada pemain yang dominan. Sehingga kebijakan energi dari negaralah yang harus berubah,” ujarnya.
Indonesia telah berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada 2020 – 41% dengan dukungan internasional. Namun menurut Greenpeace, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. “Indonesia saat ini adalah pengekspor batu bara terbesar di dunia melampaui Australia,” ujar Arif.
Menurut Greenpeace produksi batu bara di Kalimantan saat ini terus digenjot dan pemerintah menargetkan ekspor batu bara hingga 500 juta ton dalam beberapa tahun mendatang. “Rencana ini bukan hanya mengakibatkan kehancuran, namun juga akan melepaskan gas rumah kaca yang sangat besar yang akan memercepat laju perubahan iklim,” ujar Arif. “Beralih ke energi bersih, aman dan terbarukan adalah solusinya.”
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment