Setelah mengalami perpanjangan waktu – seperti yang terjadi pada COP17 di Durban, Afrika Selatan – konferensi perubahan iklim (COP18) di Doha, Qatar telah berakhir. Sebanyak 200 negara sepakat memerpanjang periode Protokol Kyoto hingga 2020.

Semua negara juga setuju dengan upaya menciptakan perjanjian universal baru – sebagai pengganti Protokol Kyoto – pada 2015. Hal ini terungkap dalam berita resmi COP18 yang dirilis Sabtu (8/12) tengah malam WIB.

Menurut Presiden COP, Abdullah bin Hamad Al-Attiyah, COP18 di Doha telah membuka gerbang baru bagi terciptanya ambisi dan aksi perubahan iklim yang lebih besar. Pemerintah harus bergerak cepat guna menciptakan solusi mengatasi perubahan iklim.

Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), menyeru semua pihak untuk segera mengimplementasikan kesepakatan Doha agar mampu menekan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, seperti yang sudah disepakati.

Periode kedua Protokol Kyoto akan dimulai pada 1 Januari 2013 dan berlangsung selama 8 tahun. Semua negara yang terlibat dalam komitmen kedua akan melaporkan dan berupaya meningkatkan aksi pengurangan emisi mereka selambat-lambatnya tahun 2014.

Mekanisme yang selama ini digunakan dalam Protokol Kyoto yaitu Clean Development Mechanism (CDM), Joint Implementation (JI) dan International Emissions Trading (IET) akan terus digunakan mulai tahun depan.

Australia, Uni Eropa, Jepang, Lichtenstein, Monaco dan Swiss menyatakan tidak akan menggunakan surplus kredit perdagangan emisi mereka pada periode kedua. Hal ini berarti mereka akan menetapkan target pengurangan emisi baru sehingga mampu mengurangi lebih banyak emisi sebelum 2020.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon di Doha mengumumkan, dirinya akan mengumpulkan semua pemimpin dunia pada 2014 guna memastikan deadline bagi terciptanya kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto akan terpenuhi pada 2015.

Masalah pendanaan menjadi perdebatan yang rumit di COP18. Sebelumnya, pada COP15 di Copenhagen, Denmark pada 2009, negara-negara maju telah berjanji akan memberikan pendanaan jangka panjang sebesar US$100 miliar per tahun hingga 2020 kepada negara berkembang dan miskin untuk membantu mereka mengatasi dampak perubahan iklim.

Di Doha, negara-negara maju “setuju” dan diseru untuk memberikan bantuan setidaknya US$10 miliar per tahun selama periode 2013-15 – setara dengan jumlah rata-rata pendanaan cepat sebelumnya untuk periode 2010-2012. Jerman, Inggris, Perancis, Denmark, Swedia dan Komisi Uni Eropa telah menyepakati bantuan konkret bernilai total US$6 miliar hingga 2015.

Salah satu klausul baru yang mendapat banyak pujian di Doha adalah penggunaan kalimat pemberian kompensasi bagi mereka yang menderita akibat perubahan iklim. Klausul inilah yang mendapat tentangan dari Amerika Serikat yang – walau tidak menveto kesepakatan Doha – tetap tidak bersedia meratifikasi Protokol Kyoto.

Lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap isu-isu lingkungan seperti WWF, Friends of The Earth dan Greenpeace Internasional, semua menyesalkan hasil COP18 di Doha, Qatar.

Samantha Smith, aktivis WWF yang memimpin Global Climate and Energy Initiative, menyatakan, para pemimpin dunia telah gagal beraksi mengatasi perubahan iklim saat semua penduduk dunia siap mendukung mereka. “Doha telah gagal menciptakan upaya pemotongan emisi, memberikan bantuan perubahan iklim dan landasan yang riil bagi terciptanya komitmen baru pada 2015,” ujarnya sebagaimana dikutip dalam berita WWF.

Kumi Naidoo, Direktur Eksekutif Greenpeace International, bahkan menyatakan, para politisi yang hadir di COP18 tidak hidup di planet yang sama dengan mereka yang sekarat akibat banjir, kekeringan dan badai. Juga di planet di mana energi terbarukan terus tumbuh dengan pesat menggantikan bahan bakar fosil.

“Perundingan di Doha gagal memenuhi bahkan ekspektasi terendah sepanjang sejarah. Pemerintah lebih peduli terhadap kepentingan jangka pendek mereka dibanding kepentingan jangka panjang untuk menyelamatkan bumi,” tuturnya.

Redaksi Hijauku.com