Kekeringan di danau, waduk dan bendungan memerparah risiko pemanasan global dan perubahan iklim.

Hal in terungkap dari hasil penelitian Bridget Deemer, mahasiswa doktoral di Washington State University-Vancouver yang dirilis untuk publik kemarin (8/8).

Penelitian ini adalah penelitian pertama yang mengungkap dampak kekeringan di danau, waduk dan bendungan terhadap peningkatan gas rumah kaca.

Bridget mengukur gas yang dilepaskan oleh Danau Lacamas di wilayah Clark County, Washington dan menemukan kandungan emisi metana melonjak 20 kali lipat saat air surut. Rekannya di WSU-Vancouver, Maria Glavin, mengambil sampel gas yang muncul dalam gelembung dari dasar danau dan menemukan peningkatan emisi metana hingga 36 kali lipat saat air surut.

Metana adalah gas rumah kaca yang 25 kali lebih berbahaya dibanding karbon dioksida yang memerangkap panas di atmosfer bumi. Walaupun cakupan danau dan air di dalamnya terbatas namun aktivitas biologis dalam danau mampu memroduksi gas rumah kaca dalam jumlah besar.

Menurut para peneliti, saat air surut, kandungan udara dalam air berkurang. Ditambah faktor peningkatan temperatur dan emisi pada musim panas, kondisi ini kemudian meningkatkan aktivitas mikroba penghasil gas rumah kaca.

Di Amerika Serikat saja, berdasarkan data US Army Corps of Engineers National Inventory of Dams, terdapat 80.000 bendungan. Di Indonesia terdapat sekitar 2070 danau, waduk dan bendungan yang – jika kekeringan – juga berpotensi menyumbang gas rumah kaca.

“Danau, waduk atau bendungan sering dianggap sebagai sumber energi yang ramah lingkungan, namun peran mereka dalam menyumbang gas rumah kaca sering terlupakan,” ujar Deemer sebagaimana dikutip dalam siaran pers WSU.

Redaksi Hijauku.com