Tantangan untuk menciptakan kota hijau semakin berat seiring dengan pemanasan global dan perubahan iklim.

Namun upaya mewujudkan kota hijau bisa terwujud dengan kolaborasi semua pihak yang berkepentingan.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, dalam sambutannya membuka acara Urban Greening Forum yang berlangsung hari ini (6/6) di Jakarta.

Kota hijau adalah kota yang dibangun dengan memertimbangkan keseimbangan antara dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan termasuk dimensi tata kelolanya. Dimensi tata kelola mencakup sisi kepemimpinan dan kelembagaan kota yang mantap.

Menurut Djoko, sejak setahun yang lalu, tepatnya pada puncak peringatan Hari Tata Ruang tanggal 8 November di Jakarta, konsep ini telah diwujudkan dengan prakarsa Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH).

P2KH merupakan program kolaborasi antara pemerintah kota/kabupaten dengan komunitas hijaunya sebagai pelaku utama. Program ini dikoordinasikan dengan pemerintah provinsi dan mendapat bantuan teknis dan insentif dari pemerintah pusat.

Pada tahap awal, prakarsa P2KH ini difokuskan pada 3 atribut kota hijau yaitu green planning and design, green open space dan green community. Pada tahap berikutnya, penanganan program dapat diperluas ruang lingkupnya pada 5 atribut kota hijau yang lain yaitu green transportation, green waste, green water, green energy dan green building.

Menurut Joessair Lubis, Direktur Perkotaan, Direktorat Jendral Penataan Ruang, Kementrian Pekerjaan Umum, saat ini, sudah ada 60 kota/kabupaten di 17 provinsi yang memiliki komitmen melaksanakan P2KH.

“Tahun ini jumlahnya kami targetkan naik menjadi 85 kota,” ujar Joessair hari ini dalam acara yang sama. “Syaratnya, harus ada Perda Rencana Tata Ruang Wilayah yang sudah disetujui oleh Kementrian PU,” tambahnya lagi.

P2KH menurut Djoko bisa dimaknai sebagai langkah akselerasi implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota/kabupaten yang sudah memiliki Perda tersebut.

Salah satu implementasi dari RTRW kota adalah mewujudkan Ruang Terbuka Hijau sebesar 30% dari luas wilayah kabupaten/kota yang merupakan amanat dari UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Dari angka 30% tersebut, sebanyak 20% adalah RTH Publik dan 10% adalah RTH Privat. “RTH 30% tidak bisa ditawar lagi,” ujar Joessair.

Namun, lagi-lagi, permasalahan yang muncul menurut Joessair adalah konsistensi penetapan peraturan yang ada. “Saat ini rata-rata RTH di Tanah Air baru mencapai 12-13% dari 20% RTH Publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah,” tuturnya.

Bahkan DKI Jakarta yang seharusnya menjadi contoh provinsi-provinsi yang lain baru memiliki RTH Publik sebesar 9,8% dari luas wilayah Ibu Kota.

Dalam kaitannya dengan masalah pemanasan global dan perubahan iklim, pemerintah, menurut Joessair, terus berupaya mengurangi emisi CO2 dengan merevitalisasi taman kota yang berfungsi sebagai paru-paru kota. “Selain itu harus ada terobosan seperti vertical garden dan roof garden,” tambahnya lagi.

Semua itu guna meningkatkan jumlah hari dimana masyarakat bisa menikmati udara bersih, yang saat ini – untuk wilayah DKI Jakarta – baru mencapai 5 hari dalam sebulan (30 hari).

Menurut Djoko, ke depannya pemerintah mengharapkan terwujudnya kolaborasi antara sektor swasta, asosiasi, pemerintah daerah dan komunitas lokal untuk mewujudkan Gerakan Kolektif Kota Hijau. “Gerakan ini bukan suatu utopia, dengan komitmen yang kuat kita akan mampu mewujudkannya,” tambahnya lagi.

Redaksi Hijauku.com