Bencana alam akan semakin sering terjadi. Kota-kota dunia harus lebih bersiap menghadapi efek perubahan iklim.
Buka halaman surat kabar atau hidupkan program berita di televisi. Hampir setiap hari kita mendengar, melihat dan membaca peristiwa bencana alam, banjir, tanah longsor, badai di banyak negara termasuk di Indonesia.
Petani kehilangan hasil panen, penduduk, wanita dan anak-anak kehilangan rumah, mengungsi akibat banjir dan curah hujan ekstrem. Dalam beberapa tahun ke depan, kejadian-kejadian bencana seperti ini akan lebih sering ditemui sebagai akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Bencana alam ini seringkali tak terduga, merusak lingkungan dalam skala yang luas, mengancam kota-kota besar dunia.
UN Habitat dalam laporan yang berjudul Cities and Climate Change: Global Report on Human Settlements 2011, mengajak kota-kota di dunia untuk segera beraksi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dan memromosikan pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Jika hal tersebut tidak dilakukan, benturan mematikan antara urbanisasi dan perubahan iklim bisa terjadi.
Benturan ini dipicu oleh dua faktor – semuanya bersumber pada prilaku manusia. Yang pertama adalah urbanisasi dan yang kedua adalah meningkatkan gas rumah kaca yang “dilepaskan” oleh sistem pembangunan yang tidak ramah alam.
Saat ini lebih dari separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan. Sebentar lagi jumlahnya akan mencapai dua pertiga jumlah penduduk dunia. Pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat kota meningkatkan risiko terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.
“Industri di perkotaan, penggunaan kendaraan bermotor, bertambahnya jumlah konsumen adalah sumber utama peningkatan konsentrasi gas rumah kaca. Kota tidak hanya menjadi penyebab utama perubahan iklim, namun juga akan menjadi wilayah yang paling parah terkena dampaknya,” ujar Joan Clos, Executive Director dari UN Habitat.
“Kita harus melakukan program riil untuk menanggulangi dampak perubahan iklim ini,” tutur Joan sebagaimana dikutip dalam siaran pers lembaga PBB tersebut.
Dalam laporan ini juga terungkap, banyak kota-kota dunia yang gagal memenuhi target emisi rata-rata global yaitu 2,2 ton emisi setara CO2 per kapita per tahun.
Bila tren ini berlanjut – seiring kegagalan negara-negara dunia untuk menciptakan kesepakatan mengikat baru pengganti Protokol Kyoto – pada 2080, jumlah masyarakat yang terkena dampak kenaikan air laut akan meningkat lima kali lipat lebih banyak dibanding pada periode 1990.
Kenaikan suhu bumi 1-2 derajat celcius akan menaikkan permukaan air laut dan menenggelamkam kota-kota di wilayah pesisir Afrika Utara, membanjiri 6-25 juta penduduk di wilayah tersebut.
Dan sepuluh besar kota yang akan terlanda banjir paling parah pada 2070 semua berada berada di benua Asia terutama di China, India dan Thailand.
Bumi memiliki jalur banjir yang telah berusia lebih dari 100 tahun dan 40 juta orang kini tinggal di wilayah tersebut. Pada 2070, jumlah populasi yang berisiko terkena dampak banjir itu akan meningkat menjadi 150 juta orang.
Jumlah kerugian finansial dari jalur banjir berusia 100 tahun ini akan meningkat dari US$3 triliun pada 1999 menjadi US$38 triliun saat ini.
Pada 2050, dunia diperkirakan akan menanggung 200 juta pengungsi akibat perubahan iklim. Perubahan iklim akan merusak sistem transportasi, layanan kesehatan, pasokan air bersih, ketersediaan energi, ekosistem, sektor perdagangan dan industri. Tak ada yang bisa dilakukan selain bahu membahu mencegah dampak perubahan iklim.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment