Peralihan ke mobilitas ramah lingkungan akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menekan emisi gas rumah kaca global.

Sektor transportasi bertanggung jawab atas seperempat konsumsi energi dunia dan menyumbang sepertiga emisi gas rumah kaca global.

Namun pesatnya pertumbuhan ekonomi dan proses urbanisasi terus meningkatkan kebutuhan akan mobilitas personal serta kebutuhan transportasi barang dan jasa.

Di perkotaan, lebih dari 85% energi yang digunakan oleh sistem transportasi berasal dari bahan bakar fossil.

Tanpa adanya peralihan energi dan cara pemanfaatan lahan, pada tahun 2030, permintaan energi di sektor transportasi perkotaan akan naik 75% dari level tahun 2002.

Sehingga upaya untuk mengurangi ketergantungan sektor transportasi perkotaan atas bahan bakar fossil akan membawa manfaat besar bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Dalam jangka panjang, pemanfaatan lahan untuk pemukiman yang terintegrasi – dimana semua produk dan jasa bisa diperoleh tanpa harus menggunakan kendaraan bermotor – menjadi kunci bagi pembangunan kota yang rendah karbon dan ramah lingkungan.

Dalam jangka pendek dan menengah, kota harus mencari cara alternatif untuk menciptakan sistem transportasi yang ramah alam, diantaranya dengan memilih sistem transportasi yang bisa menggunakan sumber energi baru dan terbarukan.

Konsep mobilitas elektrik (e-mobility) – mobilitas menggunakan sepeda, bajaj, mobil, bis dan truk kecil bertenaga listrik – bisa menjawab kebutuhan ini.

Konsep mobilitas elektrik ini juga sejalan dengan upaya menciptakan lingkungan dan tempat kerja yang nyaman di perkotaan.

Para arsitek telah lama mendesain sebuah kota yang ramah lingkungan. Namun penerapan desain itu masih terkendala salah satunya oleh polusi suara.

Dengan mengadopsi konsep mobilitas elektrik, upaya menciptakan kota yang nyaman untuk bekerja dan ditinggali – yang bebas polusi udara maupun suara – menjadi semakin mudah.

Karena hingga saat ini, polusi suara di perkotaan masih didominasi oleh kendaraan yang menggunakan sistem pembakaran internal, kendaraan yang menggunakan bahan bakar fossil.

Kendaraan elektrik (e-vehicles) nyaris tidak menghasilkan suara, sehingga para penggunanya di Jepang misalnya, harus memasang bel atau alat penghasil suara lain sebagai sinyal keberadaan mereka, sekaligus sebagai alat untuk memeringatkan para pejalan kaki.

Diperlukan perencanaan yang matang agar semua lokasi di perkotaan bisa diakses menggunakan kendaraan elektrik. Upaya ini akan menghemat energi lebih banyak melebihi penghematan energi pada bangunan-bangunan di perkotaan.

Catatan Redaksi:

Data-data dalam artikel ini diambil dari laporan UN Habitat berjudul Urban World: Bringing blue skies back to our cities yang diterbitkan pada Oktober 2011.

Redaksi Hijauku.com