Sektor manufaktur menghadapi tantangan dan peluang guna meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya alam.

Sektor manufaktur saat ini menyerap 23% tenaga kerja global. Sektor ini bertanggung jawab atas konsumsi 35% listrik dunia, produksi 20% emisi CO2 dan seperempat dari ekstraksi sumber daya alam primer.

Sektor manufaktur juga mengonsumsi 10% kebutuhan air dunia dan jumlah ini diperkirakan akan naik lebih dari 20% pada 2030, sehingga sektor manufaktur harus berkompetisi dengan sektor pertanian dan kebutuhan air di perkotaan.

Pertumbuhan sektor manufaktur di negara berkembang juga meningkatkan risiko penduduk terpapar oleh bahan-bahan beracun.

Bahan beracun ini berasal dari proses pewarnaan produk, pemutihan kertas dan proses suhu tinggi yang menghasilkan emisi seperti pada pengolahan produk-produk metal.

Sehingga tidak heran jika proses manufaktur bertanggung jawab atas 17% gangguan kesehatan yang bersumber dari polusi udara.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi gangguan kesehatan ini nilainya setara dengan 1-5% Produk Domestik Bruto Global – jauh lebih tinggi dari biaya yang dibutuhkan untuk melakukan transisi ke ekonomi ramah alam.

Bukti-bukti yang ada selama ini menunjukkan, masih banyak peluang untuk menciptakan kesejahteraan memanfaatkan energi dan sumber daya alam yang lebih efisien.

Hal ini bisa dilakukan dengan mendesain ulang sistem produksi sehingga memermudah sebuah produk untuk diperbaiki, diperbaharui, diproduksi ulang, dimodifikasi dan didaur ulang.

Proses remanufaktur menggunakan produk-produk dan perangkat lama tersebut bisa menghemat sekitar 10,7 juta barel minyak setiap tahun.

Proses daur ulang alumunium misalnya, hanya membutuhkan 5% energi pada proses produksi primer.

Sektor manufaktur juga bisa mendaur ulang limbah panas dan mengubahnya menjadi energi listrik menggunakan sistem produksi energi gabungan.

Dalam skala luas, pembangunan lokasi industri yang ramah lingkungan bisa semakin meningkatkan efisiensi energi dan mempermudah pengelolaan limbah-limbah berbahaya.

Limbah adalah efek samping dari pertumbuhan ekonomi. Menurut Program Lingkungan PBB (UNEP), saat standar hidup dan pendapatan masyarakat meningkat, jumlah sampah yang dihasilkan penduduk dunia juga akan naik lebih dari 13,1 milyar ton (20%) pada 2050.

Saat ini, hanya sekitar 25% dari seluruh limbah yang berhasil didaur ulang, padahal potensi ekonomi dari pengumpulan dan daur ulang limbah bisa mencapai US$410 milyar per tahun.

Limbah elektronik (e-waste) yang mengandung bahan kimia dan logam beracun adalah jenis limbah yang paling cepat pertumbuhannya sehingga menjadi masalah besar bagi negara maju maupun negara berkembang.

Dengan menerapkan sistem ekonomi hijau, jumlah limbah elektronik yang didaur ulang akan naik tiga kali lipat – dari level saat ini yang hanya 15% – pada 2050 dibanding dalam sistem ekonomi konvensional.

Jumlah sampah yang dibuang juga bisa turun hingga lebih dari 85% dan jumlah emisi metana dari tempat pembuangan sampah pada 2030 bisa ditekan hingga 20-30% tanpa biaya dan 30-50% dengan biaya kurang dari US$20 per ton emisi setara CO2 per tahun.

Yang dibutuhkan adalah dukungan politik dan kebijakan dari pemerintah untuk mengarahkan industri dan konsumen menuju praktik yang lebih hemat sumber daya.

Catatan Redaksi:

Data-data dalam artikel ini diambil dari laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication – A Synthesis for Policy Makers.

Redaksi Hijauku.com