Pemanfaatan energi bersih (clean energy) bisa mendatangkan banyak manfaat bagi negara berkembang. 

Penggunaan energi bersih bisa mencegah perubahan iklim, dibanding jika kita memakai energi konvensional.

Teknologi energi bersih juga memungkinkan kita menggunakan sumber energi yang terbarukan. Energi bersih tidak menggerus sumber daya alam, tidak merusak lingkungan dan kesehatan.

Sebaliknya, bahan bakar fosil memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, menambah panjang daftar kerugian akibat bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil ini juga penyumbang utama perubahan iklim.

Dampak perubahan iklim akibat terus berlangsungnya pembangunan yang mengeksploitasi karbon sangat parah, terutama di sejumlah wilayah di negara berkembang.

Negara maju menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas polusi yang memicu perubahan iklim ini. Mereka harus mengurangi polusi gas rumah kaca mereka dan memberikan pendanaan ke negara berkembang untuk melakukan mitigasi dan adaptasi.

Namun, mengawasi penggunaan energi di negara berkembang juga penting untuk menjaga kestabilan gas rumah kaca di udara dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Bank Dunia dalam Laporan Pembangunan Dunia 2010 menyebutkan, negara berkembang secara tidak adil telah menanggung 75-80% kerusakan akibat perubahan iklim.

Laporan Pembangunan Dunia juga menyebutkan, kenaikan suhu 2 derajat celcius di atas level pra-industri – tingkat pemanasan yang tak lagi bisa dielakkan dengan level pencemaran CO2 sekarang – akan meningkatkan “ketidakstabilan cuaca, seringnya cuaca ekstrem, dan meningkatnya risiko badai di pesisir pantai,” dengan “antara 100 juta hingga lebih dari 400 juta orang … berisiko kelaparan,” dan 1-2 miliar orang berisiko kehilangan akses ke air bersih.

Tingkat pemanasan global yang sama bisa “mengurangi pendapatan per kapita tahunan negara-negara di Afrika dan Asia Selatan secara permanen hingga 4-5%,” akibat dampak negatif perubahan iklim di sektor pertanian.

Dan pada kenyataannya, perubahan iklim telah banyak menghapus prestasi pembangunan dengan menjerumuskan banyak negara kembali ke krisis pangan. Perubahan iklim juga membawa bencana alam, meningkatkan ancaman kelaparan dan penyakit. Dampak perubahan iklim diperkirakan akan semakin parah seiring waktu:

 • Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, perubahan iklim telah menimbulkan korban lebih dari 150,000 orang pada tahun 2000 saja. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat saat dampak perubahan iklim semakin parah.

• Hingga 2020, di beberapa negara di Afrika, hasil panen dari pertanian yang mengandalkan air hujan akan turun hingga 50% akibat perubahan iklim. Hal ini akan meningkatkan risiko kelaparan dan kekurangan pangan di wilayah yang sudah dilanda krisis.

• Di India saja, produksi biji-bijian (cereal) yang mengandalkan air hujan akan berkurang hingga 18% akibat perubahan iklim.

• Antara 75 juta hingga 250 juta orang di seluruh Afrika akan mengalami kekurangan air yang lebih parah sebelum 2020.

• Di Amerika Latin, perubahan pola musim hujan dan hilangnya “glacier” akan mengurangi ketersediaan air secara signifikan untuk konsumsi manusia, pertanian dan produksi energi.

Di luar dampak bahan bakar fosil terhadap perubahan iklim, masih ada dampak negatif lain terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Dua penelitian oleh Harvard Medical School mengenai dampak penggunaan minyak dan batu bara terhadap kesehatan masyarakat mengungkapkan besarnya kerugian bahan bakar fosil itu secara ekonomi.

Penelitian Harvard Medical School menunjukkan berbagai efek negatif dari penambangan, pengangkutan, pengilangan, distribusi dan pembakaran minyak terhadap kesehatan manusia, alam dan lingkungan.

Efek negatif tersebut termasuk efek negatif akibat tumpahan dan kebocoran minyak, dari polusi bahan kimia yang dilepaskan oleh produk-produk turunannya, polusi selama masa pakai minyak dan polusi udara akibat proses-proses tersebut.

Penelitian ini juga mengaji efek negatif minyak ke sejumlah komunitas, termasuk dampaknya ke pekerja, komunitas di sekitar fasilitas minyak, ikan, hewan laut, masyarakat pesisir, termasuk efek hujan asam dan perubahan iklim dalam skala luas.

Penelitian yang lebih baru dari Harvard Medical School mengenai batu bara mengungkapkan dampak negatif dari penambangan, transportasi, pemrosesan, dan pembakaran batu bara terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Penelitian itu menyatakan, dampak negatif secara ekonomi dari batu bara diperkirakan mencapai Rp765 (9 sen) hingga Rp2.297 (27 sen) per kilowatt jam-nya atau rata-rata mencapai Rp1500 (18 sen) per kilowatt jam.

Pembangkit listrik tenaga batu bara juga membutuhkan air dalam jumlah besar untuk pemrosesan batu bara dan tungku pemanas (boiler).

Batu bara berkualitas rendah – yang mengandung sedikit karbon dan lebih banyak debu – perlu dicuci seperti yang terjadi di India. Dibutuhkan 227 liter hingga 642 liter air untuk mencuci satu ton batu bara berkualitas rendah ini. Limbah air dari pemrosesan batu bara ini bervariasi antara 110 hingga 750 kubik meter. Saat ini kebutuhan batu bara India mencapai 555 juta ton.

Ketika banyak negara sudah mulai kekurangan air, dampak penggunaan air untuk pemrosesan batu bara bisa sangat dahsyat. Air buangan dari proses pencucian batu bara bisa mencemari air tanah di sekitarnya yang tidak hanya menimbulkan polusi lingkungan namun juga mengganggu kesehatan.

Sebelumnya, banyak yang berpendapat, sejelek apapun kutukan yang dibawa oleh minyak, gas dan sektor pertambangan, pendapatan berlimpah yang diperoleh dari industri itu bisa digunakan untuk melunasi hutang dan menghapuskan kemiskinan.

Namun pada kenyataannya, negara produsen minyak cenderung lebih miskin, lebih bergejolak, lebih korup, dan kurang produktif dari yang semestinya.

Penelitian internasional mengenai dampak minyak pada 2005 menyebutkan, ketergantungan minyak pada kenyataannya akan meningkatkan hutang negara-negara berkembang. Dalam penelitian itu ditemukan:

• Saat produksi minyak meningkat, demikian juga hutang.

• Hal yang sama terjadi saat ekspor minyak meningkat, hutang juga akan semakin meningkat.

• Ekspor minyak yang meningkat akan meningkatkan kemampuan negara berkembang mengelola utang mereka, namun pada saat yang sama juga meningkatkan jumlah hutangnya.

• Bahkan ketika produksi minyak baru diprediksi naik, jumlah utang sudah mendahului naik.

• Program Bank Dunia untuk menciptakan kemakmuran dengan meningkatkan investasi negara maju di negara berkembang secara drastis hanya akan menambah utang negara berkembang.

“Kutukan sumber daya alam” ini – korelasi negatif antara ketergantungan sebuah negara atas ekspor mineral, terutama minyak, terhadap PDB – sudah terdokumentasi baik di berbagai industri tambang.

Bukti dari wilayah produsen batu bara di Appalachia, Amerika Serikat menunjukkan bahwa kutukan minyak juga terjadi di industri batu bara. Banyak penelitian yang sudah mengungkapkan, angka pengangguran mencapai level tertinggi di wilayah pertambangan seperti yang terjadi di wilayah Appalachia Tengah.

Upaya dunia untuk beralih ke energi bersih sangat penting guna mencegah dampak perubahan iklim yang semakin parah. Beralih ke energi bersih juga bisa meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi biaya pemakaian energi konvensional dan meningkatkan akses energi untuk rakyat miskin. Ayo bebaskan dunia dari kutukan sumber daya alam, terutama minyak!

Catatan Redaksi:

Artikel ini diolah dari laporan berjudul  “Access to Energy for the Poor: The Clean Energy Option” (Juni 2011), oleh Elizabeth Bast dan Srinivas Krishnaswamy. Laporan ini didanai oleh Charles Stewart Mott Foundation dan Rockefeller Brothers Fund.

Redaksi Hijauku.com