Oleh: Jalal

Istilah keberlanjutan kini semakin sering kita dengar, setidaknya dalam satu dekade terakhir. Tak hanya di seminar-seminar soal lingkungan, yang sudah jauh lebih lama membincangkannya, kini dunia bisnis pun ramai—bahkan mungkin riuh rendah—menggunakannya dalam percakapan. Wujudnya mungkin terutama terkait dengan Laporan Keberlanjutan atau Sustainability Report (SR). Selama 30 tahun berkecimpung sebagai penasihat keberlanjutan perusahaan di Indonesia, saya menyaksikan sendiri bagaimana isu ini bertransformasi dari sekadar kegiatan sampingan, bahkan dipandang aneh, menjadi elemen yang mulai diperhitungkan dalam strategi perusahaan.

Namun, pertanyaan mendasarnya, apakah laporan ini sebetulnya sekadar bagian dari kosmetik atau sudah menjadi cerminan komitmen nyata terhadap keberlanjutan yang diupayakan oleh perusahaan-perusahaan di tanah air?  Beberapa analisis kritis—misalnya dari buku Matthew Archer Unsustainable: Measurement, Reporting, and the Limits of Corporate Sustainability yang terbit tahun lalu dan langsung menghebohkan jagat keberlanjutan perusahaan—menyatakan pada dasarnya pelaporan keberlanjutan memang telah dibajak inisiatifnya dan/atau ditafsirkan untuk melestarikan praktik perusahaan yang tidak berkelanjutan.  Tetapi, saya ingin menghadirkan jawaban (inter-)subjektif yang saya saksikan di negeri ini, yang mungkin bermanfaat untuk kita renungkan bersama untuk perbaikan.

Wajah Pelaporan Keberlanjutan di Indonesia

Jika kita memotret kondisi pelaporan keberlanjutan di Indonesia saat ini, gambaran yang muncul cukup beragam. Ada perusahaan-perusahaan, terutama yang berskala besar, telah tercatat di bursa, atau memiliki eksposur internasional, yang sudah menyajikan laporan cukup komprehensif. Mereka tidak hanya melaporkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi (triple bottom line), tetapi juga mulai mengaitkannya dengan strategi bisnis jangka panjang. Acuan seperti yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) pun sudah banyak diadopsi.

Tetapi, tentu saja, melaporkan dampak sebagaimana yang diminta oleh GRI tidaklah mudah.  Perusahaan-perusahaan di Indonesia banyak yang tidak dengan tertib melakukan pemantauan dan evaluasi atas kinerjanya dalam jangka panjang.  Jadi, kalau saya periksa laporan-laporan yang menyatakan dirinya menggunakan Standar GRI sekalipun, saya kerap melihat pada indikator-indikatornya tidaklah tepat melaporkan apa yang diminta.  Kebanyakan perusahaan melaporkan kinerja di tingkat output, bahkan ada banyak yang sekadar melaporkan kegiatan—dan mereka merasa sudah melaporkan seperti yang diminta oleh GRI.

Secara sepintas, agaknya sebagian besar perusahaan tampaknya menyusun laporan keberlanjutan lebih karena dorongan kepatuhan, khususnya terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 51/POJK.03/2017. Peraturan ini memang mewajibkan Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik untuk menerbitkan Laporan Keberlanjutan. Kuantitas laporan memang meningkat, namun kualitasnya seringkali belum optimal. Fokusnya terkadang masih pada aktivitas seremonial atau filantropi, belum menyentuh dampak inti operasional perusahaan secara mendalam dan terukur.  Mereka melaporkan yang demikian karena memang tak ada sanksi juga bila tak jelas benar apa isi laporannya.

Lalu, ada pula kelompok perusahaan, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), yang bahkan belum tersentuh atau baru mulai memahami apa itu pelaporan keberlanjutan. Padahal, sependek ingatan saya, sudah beberapa kali GRI Asia Tenggara dan GRI Indonesia memberikan pelatihan soal pelaporan keberlanjutan, agar perusahaan UKM yang terhubung dengan rantai pasok global bisa memenuhi ekspektasi para pemangku kepentingan global.  Tetapi, hasilnya tak cukup memuaskan. Dibandingkan dengan usaha menengah di banyak negara yang banyak memroduksi laporan keberlanjutan yang mengagumkan, di Indonesia belumlah demikian.  Ini adalah realitas yang perlu kita pahami bersama.

Faktor Eksternal atas Kondisi Pelaporan Keberlanjutan

Kalau saya ditanya mengapa pelaporan keberlanjutan di Indonesia belum juga mencapai kondisi yang diinginkan para proponen keberlanjutan dan akuntabilitas perusahaan, saya merasa ada beberapa faktor berkontribusi pada kondisi ini. Walaupun bukan yang pertama mengatur, regulasi OJK yang saya telah sebutkan jelas menjadi pendorong utama pelaporan keberlanjutan di Indonesia sekarang.  Kebanyakan perusahaan masih melaporkan sekadar sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi.  Masalahnya, regulasi OJK tersebut tidaklah cukup progresif—ia bahkan lebih rendah ekspektasinya dibandingkan dengan GRI G4 yang terbit 12 tahun lampau—bila dibandingkan dengan beragam standar dan kerangka internasional yang sekarang berlaku.

Tuntutan dari investor dan bank yang semakin sadar akan risiko dan peluang Environmental, Social and Governance (ESG) jelas dirasakan oleh sebagian perusahaan, terutama mereka yang mencari investasi dan pendanaan luar negeri. Perusahaan yang ingin mendapatkan pendanaan atau investasi seringkali dipaksa untuk lebih transparan.  Demikian pula, di sektor-sektor industri yang produknya banyak diekspor, mereka merasakan tuntutan konsumen global yang menguat atas isu-isu keberlanjutan.  Lagi-lagi, mereka terpaksa untuk mematuhinya, atau merisikokan kehilangan bisnis.  Tentu saja, ada di antara perusahaan-perusahaan itu yang melihat perkembangan ini bukan sebagai risiko, melainkan sebagai peluang untuk bersungguh-sungguh pada keberlanjutan.  Tetapi, sejujurnya, saya lebih merasa kebanyakan perusahaan di Indonesia melihat keberlanjutan sebagai risiko alih-alih peluang.

Standar dan kerangka internasional seperti GRI, SASB, TCFD, IFRS S1 dan S2 jelas membantu perusahaan dalam memiliki panduan yang jelas dalam melaporkan.  Tetapi, lagi-lagi, pemanfaatannya belumlah dilakukan dengan sepenuh hati.  Terkadang perusahaan sekadar latah gegara peer pressure.  Ini berkali-kali saya dengar langsung dari perusahaan yang ingin memiliki laporan keberlanjutan ‘canggih’ semata lantaran ‘tetangga sebelah’ sudah membuatnya.  Jika dibandingkan di kawasan Asia Pasifik misalnya, perusahaan di Indonesia memang sudah lumayan tinggi pengakuan pemanfaatan GRI-nya, tetapi tertatih di dalam adopsi standar dan kerangka lainnya.  Dan hal itu belum benar-benar ditinjau secara mendalam soal kepatuhan pada ekspektasi setiap standar itu.

Kesadaran masyarakat dan tekanan dari organisasi sipil, akademia, serta media seharusnya bisa mendorong perusahaan untuk lebih bertanggung jawab dan transparan dalam kinerja keberlanjutannya.  Tetapi, yang saya saksikan di sini adalah belum optimalnya kekuatan masyarakat sipil dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas perusahaan melalui jalur pelaporan keberlanjutan.  Di satu sisi saya melihat betapa ruang bagi masyarakat sipil memang menyurut dalam beberapa tahun terakhir.  Di sisi lain, ruang kecil yang sebetulnya masih ada itu tak cukup dimanfaatkan.  Salah satu yang jelas diakui para pemuka gerakan sosial kepada saya adalah bahwa mereka sendiri tak cukup memahami berbagai standar dan kerangka pelaporan keberlanjutan.  Alih-alih memanfaatkannya, mereka kemudian memilih jalur yang lain yang membuat mereka lebih nyaman.

Tantangan Internal Perusahaan Indonesia

Dari berbagai pendampingan dan percakapan saya dengan banyak perusahaan selama ini, saya melihat berbagai tantangan konkret yang dihadapi perusahaan Indonesia dalam menyusun laporan keberlanjutan yang berkualitas. Seringkali, minimnya pemahaman dan kesadaran mengenai esensi keberlanjutan, keberlanjutan perusahaan, dan  pelaporan keberlanjutan menjadi batu sandungan pertama, terutama di luar lingkup perusahaan besar.  Tetapi kita tak bisa berasumsi bahwa perusahaan-perusahaan  besar bahkan terbuka sudah tak lagi memiliki tantangan tersebut, karena saya cukup kerap mendapati para pemimpin perusahaan besar di negeri ini menghadirkan pernyataan-pernyataan ‘ajaib’ yang membuat siapapun yang memahami keberlanjutan menjadi terbelalak, kalau bukan langsung terbahak.

Hal ini diperparah dengan keterbatasan tenaga ahli internal yang benar-benar menguasai konsep keberlanjutan, standar pelaporan, metode pengumpulan data, hingga analisis dampak yang komprehensif.  Saya harus menyatakan beberapa perusahaan di Indonesia sudah memiliki tenaga ahli internal dengan sertifikat terkait laporan keberlanjutan perusahaan, namun mereka kerap berada pada posisi yang masih sulit memengaruhi keputusan-keputusan dalam pelaporan.  Selain itu, banyak perusahaan bergelut dengan sistem pengumpulan data yang lemah, kalau bukan malah tak ada sistem sama sekali. Bagaimana mungkin menghasilkan laporan yang baik jika data internal terkait konsumsi energi, limbah, emisi, dampak sosial, dan praktik tata kelola tidak tercatat secara sistematis?

Tantangan di atas itu agaknya sangat terkait dengan kesulitan mengintegrasikan aspek keberlanjutan ke dalam strategi inti bisnis, sehingga program keberlanjutan acapkali berjalan sendiri, terpisah dari bisnis utama, yang kemudian tercermin dalam laporan yang kurang strategis. Persepsi mengenai biaya yang harus dikeluarkan, baik untuk sistem, pelatihan, maupun jasa konsultan, juga bisa menjadi penghalang, meskipun manfaat jangka panjangnya signifikan.  Untuk yang terakhir ini, saya kerap mendapati para petinggi perusahaan yang ogah berinvestasi dalam beragam inisiatif keberlanjutan, termasuk pelaporan, karena mereka merasa itu ‘hanya’ akan menguntungkan dalam jangka panjang, sehingga yang akan tampil baik adalah pengganti mereka.  Mendengar jawaban seperti itu—yang bukan cuma saya dengar satu atau dua kali—kepala saya tetiba terasa perlu digaruk walau tak gatal.

Perusahaan seringkali merasa bingung dalam menentukan isu prioritas atau materialitas. Padahal kemampuan untuk fokus pada isu yang paling relevan bagi bisnis dan pemangku kepentingan adalah kunci kualitas pelaporan.  Perusahaan jelas tak ada yang punya sumberdaya tak terbatas, sehingga prioritisasi menjadi hal yang sangat penting.  Tetapi, bahkan petunjuk materialitas isu untuk sektor industri/subindustri tertentu yang misalnya diberikan oleh GRI, SASB dan lembaga pemeringkat ESG seperti S&P Global kerap diabaikan.  Mengapa? “Berat kalau matriks materialitasnya begitu, Mas!”  Begitu yang pernah saya dapatkan jawabannya.  Mereka kemudian menggeser-geser sendiri posisi isu material di dalam matriks, dengan ilmu canggih ‘cocokologi’.  Konsultasi dengan pemangku kepentingan sebagaimana ekspektasi dari standar dan kerangka pelaporan mungkin bisa dihitung dengan jemari perusahaan yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.

Belum lagi, pola pikir yang menganggap pelaporan ini hanya sebagai beban biaya tambahan atau sekadar ajang pemolesan citra ketimbang alat bantu pengambilan keputusan bisnis strategis.  Yang sangat menyedihkan, sebetulnya dalam beberapa tahun terakhir saya mendapati bahwa biaya untuk membuat laporan keberlanjutan yang dikeluarkan oleh perusahaan sesungguhnya cenderung terus menurun.  Bukan karena jasa ini sudah semakin dewasa sehingga banyak hal yang kemudian bisa menjadi semakin murah, melainkan lantaran banyak perusahaan konsultan yang berlomba-lomba menawarkan jasa dengan harga yang ‘kompetitif’ hingga level yang tak masuk akal untuk memenuhi ekspektasi standar dan kerangka yang benar.  Race to the bottom, itulah yang saya rasakan.

Para konsultan yang ingin menegakkan integritas pelaporan keberlanjutan kemudian menghadapi banyak tantangan—sebagaimana yang mereka ceritakan kepada saya. Mulai dari memastikan klien tidak sekadar ingin menghasilkan wujud fisik laporan saja, merasa ‘gemas’ karena kesulitan mendapatkan data yang valid, hingga kesulitan mendorong transparansi perusahaan yang sesungguhnya. Tidak jarang, mereka—saya termasuk di dalamnya—perlu waktu yang panjang untuk sekadar meyakinkan bahwa melaporkan tantangan atau kinerja yang belum optimal justru lebih baik daripada menutup-nutupinya, sepanjang disertai dengan rencana perbaikan yang jelas.

Satu isu yang sekarang sedang banyak sekali ditanyakan kepada saya: apakah benar Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence, atau AI) memang bisa membantu membuat laporan keberlanjutan dalam waktu singkat dan jauh lebih murah daripada para konsultan yang bersertifikat?  Bisa jadi demikian.  Namun, itu hanya mungkin terjadi bila perusahaan sudah memiliki data governance yang kokoh, dan secara regular mengumpulkan serta memverifikasi data untuk kepentingan pemantauan dan evaluasi atas isu-isu keberlanjutan material, yang sesuai dengan standar dan kerangka pelaporan keberlanjutan.  Kalau tidak, AI tentu bisa membantu mengarangnya—lantaran hingga sekarang AI masih terus saja ‘rajin’ menghasilkan halusinasi—dan ini bertentangan dengan tujuan komunikasi keberlanjutan.

Menghasilkan Laporan Keberlanjutan yang Berkualitas

Bagaimana kita bisa menilai sebuah laporan keberlanjutan itu baik atau tidak?  Itu adalah pertanyaan yang masih kerap saya dengar dari perusahaan.  Padahal, jawabannya sudah lama tersedia pada standar buatan GRI sejak awal.  Pertama-tama, laporan yang berkualitas tinggi itu seharusnya fokus pada hal-hal yang paling penting dan relevan (material), artinya tidak semua isu keberlanjutan harus dibahas dengan bobot yang sama, melainkan isu-isu yang paling berdampak signifikan bagi operasional dan kinerja keuangan perusahaan perusahaan di satu sisi, dan di sisi lainnya berdampak signifikan bagi para pemangku kepentingan.  Ini adalah makna materialitas ganda, yang menurut saya, paling penting dalam memandu kualitas laporan keberlanjutan perusahaan.

Laporan tersebut juga harus jujur dan seimbang, tidak hanya memamerkan keberhasilan tetapi juga berani mengakui tantangan, kegagalan, dan dampak negatif yang mungkin dan sudah ditimbulkan, seraya menjelaskan upaya perusahaan untuk mengatasinya, sehingga terhindar dari pemolesan citra belaka.  Akurasi dan kelengkapan data menjadi pilar berikutnya; informasi yang disajikan harus bisa dipercaya, didukung data yang valid, dan mencakup semua aspek material. Penyajiannya pun harus mudah dipahami, ditulis dengan bahasa yang jelas, ringkas, dan aksesibel bagi berbagai kalangan, bukan hanya untuk para ahli. Idealnya, informasi dalam laporan dapat dibandingkan secara konsisten dari tahun ke tahun dan, bila memungkinkan, dengan perusahaan sejenis, di mana penggunaan standar seperti GRI Sector Disclosure dan SASB sangatlah membantu.

Lebih jauh, laporan yang baik seharusnya mampu menunjukkan kaitan erat antara isu-isu keberlanjutan dengan dampak, risiko, dan peluang bisnis perusahaan secara keseluruhan. Tidak hanya melaporkan capaian masa lalu, laporan berkualitas juga memuat rencana ke depan, termasuk target dan strategi aksi perusahaan terkait isu keberlanjutan.  Kalau saya perhatikan, strategi jangka panjang perusahaan, dan target-target kinerja, sangatlah sedikit diungkapkan dalam laporan-laporan keberlanjutan perusahaan di Indonesia.  Ada banyak pelaporan kegiatan atas penurunan emisi, tetapi kinerja yang naik turun terus ditunjukkan dalam beberapa tahun, karena sesungguhnya tak ada target dan peta jalan yang dibuat lalu ditegakkan dengan sungguh-sungguh.  Demikian juga soal air, keanekaragaman hayati, polusi, kepuasan pekerja dan relasi dengan masyarakat.

Akhirnya, kredibilitas laporan akan semakin meningkat jika telah melalui proses verifikasi atau assurance dari pihak ketiga yang independen.  Saya tak tahu persis ada berapa proporsi perusahaan yang sudah meminta assurance dengan standar yang sesuai dan assuror yang benar-benar berkualifikasi.  Tetapi, rasanya ini masih jauh dari yang selayaknya.  Saya kerap membaca pernyataan assurance yang sangat terbatas cakupannya, dan ketika saya periksa bagian yang dinyatakan diperiksa itu, saya masih menemukan berbagai hal yang bisa diperbaiki, kalau bukan malah mencurigakan.

Keterbatasan Sumberdaya

Salah satu keluhan yang paling sering saya dengar dan saksikan adalah keterbatasan sumberdaya—baik itu dana, tenaga ahli, maupun sistem pendataan. Ini memang kendala nyata yang dihadapi oleh banyak perusahaan, termasuk yang berukuran raksasa sekalipun. Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluar atas kondisi tersebut. Perusahaan, dengan bantuan konsultan jika diperlukan, dapat menyikapinya dengan bijak.

Lagi-lagi, langkah awalnya adalah memulai dari yang paling penting, yaitu dengan melakukan identifikasi isu keberlanjutan yang paling material dan memfokuskan upaya pada area tersebut terlebih dahulu. Tidak perlu tergesa-gesa untuk langsung sempurna; pendekatan bertahap seringkali lebih realistis. Artinya, mulailah dengan laporan yang sederhana namun jujur, lalu tingkatkan kualitas dan cakupannya secara bertahap dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan kapasitas internal. Dalam hal ini, membangun kemampuan internal melalui investasi pada pelatihan dan pengembangan tim adalah kunci keberlanjutan jangka panjang, di mana konsultan dapat berperan dalam transfer pengetahuan dan penyediaan alat bantu di tahun-tahun awal agar perusahaan tidak terus bergantung.

Penting juga untuk mengoptimalkan sumberdaya yang sudah ada.  Cobalah periksa sistem dan data yang dimiliki perusahaan saat ini.  Mungkin ada data yang sudah tersedia, atau bisa dimodifikasi, atau dapat dilengkapi untuk kebutuhan pelaporan keberlanjutan sebelum memutuskan investasi sistem baru yang dianggap mahal. Selain itu, carilah solusi yang praktis dan efisien.  Sesungguhnya ada banyak cara mengumpulkan data kualitatif, atau melakukan estimasi yang cukup bertanggung jawab, jika data kuantitatif presisi sulit didapat di tahap awal.  Lagipula, tak pernah ada ekspektasi untuk menghasilkan laporan keberlanjutan yang sempurna pada tahap awal.  Pendekatan bertahap, alias phased approach, adalah satu-satunya yang masuk akal.

Terakhir, cobalah untuk mencari manfaat nyata dari upaya keberlanjutan, misalnya dengan memulai inisiatif yang bisa memberikan kemenangan cepat seperti program efisiensi energi atau sumberdaya lainnya yang langsung terasa memangkas biaya operasional. Keberhasilan awal seperti ini bisa membangun dukungan internal untuk investasi lebih lanjut dalam program keberlanjutan yang lebih luas.  Biasanya, para pemimpin puncak akan tertarik perhatiannya begitu hal-hal seperti ini ditunjukkan.  Bujukan untuk masuk ke inisiatif berikutnya, dan pelaporan hasilnya, akan jadi lebih mudah.

Menuju Komitmen Keberlanjutan yang Lebih Nyata

Pelaporan keberlanjutan sejatinya bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah alat. Alat untuk berkaca, mengukur, mengevaluasi, dan yang terpenting, mendorong perbaikan berkelanjutan dalam praktik bisnis. Perkembangan terkini, seperti peluncuran panduan dan platform pelaporan ESG oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) serta upaya berkelanjutan OJK, menunjukkan arah positif bagi penguatan ekosistem keberlanjutan di Indonesia.  Tetapi, pernting untuk diingat bahwa keberlanjutan sesungguhnya jauh lebih serius daripada sekadar ESG yang disandarkan pada mekanisme pasar dan motivasi pencarian keuntungan.  Tanggung jawab perusahaan atas dampak—makna CSR yang sesungguhnya, bukan yang dikorupsi seperti yang banyak dipahami orang—sangat penting kalau kita ingin mencapai keberlanjutan perusahaan, masyarakat luas, dan Bumi.

Sebagai bangsa, kita memiliki kepentingan besar agar perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak hanya mengejar keuntungan untuk pemegang sahamnya dengan mengorbankan pemangku kepentingan lainnya.  Perusahaan perlu tumbuh secara bertanggung jawab, yaitu dengan memastikan bahwa manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh pemangku kepentingan, dengan mudarat yang kecil bahkan kalau bisa nihil.  Dalam jangka yang lebih panjang, perusahaan-perusahaan Indonesia perlu menjadi perusahaan yang lebih daripada sekadar berkelanjutan, yaitu menjadi perusahaan regeneratif, yang betul-betul sesuai dengan kebutuhan masa depan.

Laporan keberlanjutan yang dibuat dengan jujur adalah salah satu langkah penting menuju komitmen yang lebih nyata tersebut. Dari apa yang saya uraikan, perjalanan ini memang masih panjang dan menantang, tetapi setiap langkah perbaikan, bila dilakukan dengan konsisten ke arah yang tepat, akan sangat berarti bagi masa depan Indonesia yang lebih lestari dan sejahtera.  Dan saya sungguh berharap, perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak sekadar melakukan langkah perbaikan yang bersifat perlahan dan inkremental—lalu berlindung di balik pernyataan seperti ‘keberlanjutan adalah proses’—melainkan melakukan tindakan perbaikan dalam skala dan kecepatan yang seharusnya, sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh sains.  Hanya dengan begitu saja maka laporan keberlanjutan benar-benar bisa sesuai dengan ide dasar dan namanya, bukan mengungkapkan ketidakberlanjutan namun menamakannya laporan keberlanjutan.

–##–