Sidang gugatan warga terhadap Bank Mandiri kembali digelar pada Kamis, 10 April 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam persidangan kali ini, pihak penggugat menghadirkan seorang ahli bisnis dan hak asasi manusia, Prof. Iman Prihandono, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., yang juga merupakan guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dalam keterangannya, Prof. Iman menegaskan bahwa Bank Mandiri memiliki tanggung jawab atas dampak dari pembiayaan yang diberikannya, terutama ketika pembiayaan tersebut terkait dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan.
Menurut Prof. Iman, dalam konteks bisnis dan HAM, korporasi memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dengan cara menghindari dampak negatif terhadap seluruh pemangku kepentingan; termasuk pekerja, masyarakat adat, dan lingkungan hidup. Ia menekankan pentingnya prinsip “knowing and showing”, yaitu kemampuan korporasi untuk mengenali potensi dampak dari operasional atau pendanaan yang mereka lakukan, dan menunjukkannya secara transparan dalam bentuk laporan.
Iman menjelaskan bahwa keterlibatan korporasi dalam pelanggaran HAM dapat terjadi secara langsung, melalui kontribusi terhadap pelanggaran, ataupun melalui keterkaitan tidak langsung, seperti pembiayaan proyek yang berujung pada pelanggaran. Dalam seluruh bentuk keterlibatan tersebut, tetap diperlukan adanya penyelesaian konkret bagi para korban.
“Tanggung jawab perusahaan tidak serta-merta gugur hanya karena mereka mengklaim telah melakukan due diligence. Jika pelanggaran tetap terjadi, maka itu menandakan bahwa proses uji tuntas tersebut tidak dilakukan secara hati hati,” tegasnya.
Dalam keterangannya, Prof. Iman juga menyoroti pentingnya peran perbankan dalam mendukung prinsip keuangan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 51 Tahun 2017. Regulasi ini, katanya, sebenarnya telah mewajibkan lembaga keuangan untuk memasukkan prinsip keberlanjutan dalam operasional mereka, termasuk tidak mendanai usaha yang merusak lingkungan atau melanggar hak masyarakat. Namun, ia mengkritisi implementasinya yang lemah. “Pelaporan keberlanjutan seringkali hanya formalitas dan tidak disertai evaluasi yang sungguh-sungguh,” ujar Iman. Ia mengingatkan bahwa keberadaan regulasi ini tidak bisa dijadikan tameng untuk menghindari tanggung jawab. “Kalau pendanaan terbukti menimbulkan kerugian bagi masyarakat atau lingkungan, maka bank tetap harus bertanggung jawab,” tegasnya.
Terkait dengan struktur korporasi, Prof. Iman menyatakan bahwa dalam situasi tertentu, pemisahan antara induk dan anak perusahaan bisa dikesampingkan, khususnya jika terdapat penguasaan yang sangat dominan. Bila sebuah induk perusahaan memiliki kendali penuh atas kebijakan dan arah operasional anak perusahaannya, maka keduanya dapat dipandang sebagai satu entitas tunggal. Dalam hal ini, tanggung jawab hukum tidak hanya berhenti pada anak perusahaan, tetapi juga dapat diperluas hingga ke induk perusahaan sebagai pengendali.
Terakhir, Prof. Iman menekankan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak harus menunggu adanya putusan pengadilan untuk diakui. Adanya korban atau kerugian yang nyata sudah cukup menjadi dasar untuk menilai bahwa pelanggaran telah terjadi. Dalam sistem hukum yang berlaku, siapa pun yang merasa dirugikan akibat pelanggaran HAM memiliki hak untuk mengajukan gugatan. Oleh karena itu, gugatan warga terhadap Bank Mandiri memiliki dasar yang kuat, baik secara hukum maupun moral, dalam mendesakkan pertanggungjawaban atas kerugian yang mereka alami akibat dampak pembiayaan yang tidak bertanggung jawab.
TuK INDONESIA, organisasi yang turut mengawal gugatan ini, menegaskan bahwa lembaga keuangan seperti Bank Mandiri harus bertanggung jawab atas dampak dari pendanaan mereka. Mereka menilai tidak ada justifikasi bagi bank untuk menutup mata terhadap kerusakan yang ditimbulkan dari proyek-proyek yang mereka danai. “Sudah saatnya bank berhenti bicara soal keberlanjutan di atas kertas. Komitmen harus diwujudkan dalam bentuk akuntabilitas nyata,” tegas Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.
Gugatan ini dinilai sebagai langkah penting untuk mendesakkan tanggung jawab sektor keuangan atas kontribusinya terhadap krisis lingkungan dan pelanggaran HAM. Publik pun berharap agar lembaga peradilan memberikan putusan yang berpihak pada keadilan ekologis dan kemanusiaan.
Narahubung:
Annisa (087884446640 / afadhilah@tuk.or.id)
Leave A Comment