Oleh: Jalal *
Michael Cernea dan Mantra Putting People First
Sebuah Kitab Sakti Sosiologi Terapan
Kalau saya harus menyebut hanya lima buku yang pengaruhnya paling besar untuk apa yang saya lakukan hingga sekarang, salah satunya jelas adalah Putting People First: Sociological Variables in Rural Development. Bunga rampai yang disunting oleh Michael Cernea itu sedemikian memukau buat saya, lantaran secara gamblang memberikan petunjuk aspek-aspek sosial apa saja yang harus diperhatikan ketika kita bekerja di proyek-proyek pembangunan tertentu.
Buku yang saya baca mungkin di pertengahan tahun 1990an adalah terjemahan bahasa Indonesianya, Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi di Dalam Pembangunan Pedesaan, yang diterbitkan oleh Universitas Indonesia tahun 1988. Belakangan saya memeriksa bahwa edisi pertama yang diterjemahkan itu berasal dari tahun 1985, lalu edisi keduanya keluar di tahun 1991, terbitan bersama antara Oxford University Press dan World Bank.
Buku terjemahan yang sampulnya berwarna keperakan itu saya baca hingga khatam, berkali-kali. Setiap kali merasa perlu melongok isinya, saya baca lagi dan lagi. Di pertengahan hingga akhir 1990an itu, saya memang banyak terlibat dalam proyek-proyek pembangunan perdesaan. Maka, ketika perlu menulis proposal, membuat panduan pertanyaan atau kuesioner, menelisik data, hingga menuliskan laporan, buku itu jadi rujukan yang sangat handal. Tentu ada buku-buku lain yang ditelisik juga, namun tak ada yang menyaingi tingkat keterapanan buku Cernea.
Dari mana saya mendapatkan buku ini? Saya tak ingat benar. Mungkin dari mata kuliah yang terkait dengan pembangunan perdesaan atau pertanian di IPB. Tetapi, sangat jelas saya pakai terus ketika mulai bekerja sebagai asisten peneliti di Delta Kelola Alam (DEKA), konsultan pembangunan berkelanjutan yang bertempat di Bogor. Para tokohnya, yang seluruhnya adalah mentor saya, di antaranya Soeryo Adiwibowo, Lala Kolopaking, dan Fredian Tonny, kemungkinan adalah orang-orang yang pertama memerkenalkan saya kepada buku tersebut. Kemungkinan lainnya: pembimbing akademik saya, almarhum Gunardi, yang rajin meminjamkan buku-buku kepada saya. Siapapun itu, pastilah salah seorang di antara pengajar-pengajar handal di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Mulai tahun 2001, saya terlibat dalam proyek-proyek pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Sonny Sukada adalah orang yang menyeret saya ke dunia ini. Ia memerkenalkan ide bahwa perusahaan-perusahaan (terutama di sektor ekstraktif) sudah tak bisa lagi menggunakan pendekatan keamanan dalam berhubungan dengan masyarakat. Itu setidaknya terjadi sejak pertengahan 1990an, menurut dia. Lagi-lagi buku Cernea banyak sekali kami manfaatkan. Hanya saya, Mas Sonny, demikian biasa saya memanggilnya, selalu meminta saya dan rekan-rekan untuk memodifikasi variabel-variabelnya, terutama untuk mengakomodasi kepentingan perusahaan.
Saya belajar sangat banyak dari periode itu. Dari buku Cernea langsung, saya merasa ilmu-ilmu sosial, terutama sosiologi, benar-benar bermanfaat membantu menemukan intervensi yang lebih baik, karena pertama-tama harus mendengarkan masyarakat. Dari para tokoh DEKA, saya jadi mafhum bahwa pekerjaan berupa projek sekalipun bisa dibuat optimal manfaatnya buat masyarakat manakala kita mendesainnya secara sungguh-sungguh, seperti di antaranya yang ditunjukkan caranya dalam buku Cernea. Dari Mas Sonny, saya belajar bahwa tambahan pemangku kepentingan, terutama perusahaan dan investornya, bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, manakala kita bisa menunjukkan kepentingan bersama.
Perjumpaan dengan Sang Pahlawan
Pada tahun 2002 sampai 2006, saya bekerja sebagai Senior Environmental Officer/Biodiversity Advisor BP Indonesia. Pekerjaan yang menurut saya agak aneh lantaran latar belakang saya yang jauh lebih kental di ilmu sosial daripada lingkungan. Agaknya, catatan pekerjaan-pekerjaan saya sebelumnya yang memang membuat aspek sosial dan lingkungan berkelindan erat membuat BP Indonesia menerima (atau tepatnya meminta, lantaran saya tak pernah mengajukan lamaran) saya di posisi itu. Gegara posisi itu juga saya akhirnya bisa bertemu salah satu pahlawan intelektual saya.
Pada suatu saat di tahun 2004, saya diberi tahu oleh para kolega saya yang bekerja di bidang pengelolaan sosial di BP bahwa seorang pakar dari World Bank akan meninjau lokasi pemindahan penduduk di Kampung Tanah Merah Baru. Saya terkejut dan sangat senang membaca nama sang pakar itu: Michael Cernea. Saya sangat ingin bertemu, tetapi saya juga tahu bahwa jadual kerja saya di lapangan sendiri tidaklah memungkinkan untuk bisa bertemu muka dengan beliau dalam waktu cukup panjang. Ia pasti punya jadual padat, dan saya juga harus mengurusi pekerjaan saya yang banyak terkait kehutanan.
Hanya saja pesimisme saya itu tidaklah kemudian membuat nasib saya sebiasa yang saya perkirakan. Di dalam kelas bisnis pesawat yang menerbangkan saya ke Timika, saya melihat wajah terkenal itu duduk di pojok kiri paling belakang. Tempat duduk saya ada sebelah kanan, persis satu baris di depannya. Saya menyapa beliau tanpa ragu, bilang bahwa saya adalah salah satu fans beratnya, berterima kasih sangat dalam atas semua pengetahuan yang telah saya terima dari satu bukunya itu. Dia tersenyum terus sepanjang saya nyerocos, lalu dia menyela, memerkenalkan saya pada istrinya Ruth, yang duduk di sampingnya. Perempuan ramah itu agaknya juga tersenyum terus sambil melihat seorang belia yang sedang terkena starstruck.
Cernea bertanya kepada saya soal apa yang saya kerjakan di Projek LNG Tangguh, dan saya menjelaskan soal pengelolaan lingkungan, termasuk kehutanan dan keanekaragaman hayati yang menjadi tanggung jawab saya. Saya bilang, saya mengagumi hasil-hasil kerja kolega saya di bidang sosial, dan berharap dia bisa melihat hasil yang menggembirakan juga, mengingat standar pemindahan penduduk dan akuisisi lahan di proyek itu memang dibuat di atas fondasi karyanya. “I hope so,” katanya sambil tersenyum.
Penerbangan ke Timika adalah penerbangan mulai tengah malam. Ketika mata saya terbuka lantaran sinar matahari pagi, saya juga merasakan sentuhan tangan membangunkan saya. Pramugari itu bilang bahwa saya diminta pindah duduk ke sebelah Cernea, apabila saya berkenan. Tentu saja saya langsung berpindah tempat duduk ketika melihat sang istri ada di tempat duduk seberangnya yang semalam kosong. Cernea, dengan tumpukan kertasnya, menyambut saya dengan tersenyum.
Dia punya beberapa pertanyaan, yang menurut dia lebih baik dijawab bukan oleh mereka yang terlibat di dalam pemindahan penduduk tetapi memahami situasi lokal dan logika sosial di balik persyaratan pemindahan itu. Saya dengan senang hati menjawabnya, dengan memberi tahu bahwa itu adalah opini saja, dari hasil pengamatan selintas. Dia terus bertanya hingga mendarat, berjalan ke bandara, dan duduk bersama di bandara, menuju penerbangan lanjutan ke Babo, Teluk Bintuni.
Kami lalu berpisah di pesawat yang membawa ke Babo, karena saya duduk di belakang, dan ketika mendarat saya tak berkesempatan berjumpa lagi. Tetapi, dua hari kemudian, saya mendapatkan panggilan ke kantor Jim Beckstrom, penanggung jawab lapangan Projek LNG Tangguh. Dia bilang Cernea meminta saya menemani ke lapangan dan menjadi penerjemahnya sepanjang dua hari. Seluruh pekerjaan saya, menurut Beckstrom, bisa didelegasikan dulu, karena yang hendak saya lakukan untuk Cernea itu dianggap lebih urgen. Saya tersenyum, serasa mendapatkan durian Musang King runtuh.
Demikianlah, lewat keberuntungan luar biasa, saya sempat menjadi penerjemah buat pahlawan saya, seorang ilmuwan sosial sangat penting yang mengubah nasib jutaan orang di seluruh dunia lewat penekanan-penekanan yang jelas supaya pembangunan itu mengutamakan manusia. Dalam dua hari, saya belajar banyak sekali dari Cernea. Bukan cuma soal bagaimana melakukan evaluasi proyek pembangunan, melainkan juga bagaimana memilih narasumber informasi, hingga bagaimana cara bertanya. Perbincangan kami selama sarapan, makan siang dan makan malam membuat saya banyak sekali mendapatkan wawasan baru.
Kami berpisah setelah tugas sementara saya selesai. Seingat saya, Michael dan Ruth Cernea kembali sekali lagi ke lapangan proyek, mungkin beberapa bulan kemudian, dan di penghujung kunjungan tersebut kami kembali berjumpa. Kali itu kami hanya sempat berbincang di bandara Timika. Saya ingat persis hari itu adalah hari pengumuman hasil pemilihan presiden AS yang menempatkan George W. Bush kembali sebagai presiden, setelah mengalahkan John Kerry. Ruth tampak sedih, sambil bertutur tentang ketidakrelaannya empat tahun sebelumnya, ketika Al Gore dikalahkan Bush walaupun memenangkan popular vote. Ruth sama sekali tak menyembunyikan kekecewaannya kepada saya, sementara Michael tampak sekali lebih tenang dibandingkan istrinya.
Kembali ke Pesan Awal
Mengapa saya tetiba menuliskan kenangan atas sosok Cernea dan bukunya sekarang? Karena beberapa puluh menit lalu saya mendapati sebuah buku baru, open access, yang berjudul Social Development in the World Bank: Essays in Honor of Michael M. Cernea. Bunga rampai itu disunting oleh Maritta Koch-Weser dan Scott Guggenheim. Ada 20 bab di dalamnya, termasuk 2 yang dituliskan Cernea sendiri. Petinggi Bank Dunia James Wolfensohn dan Ismail Serageldin juga menyumbang masing-masing satu tulisan. Sementara, Scott Guggenheim yang dahulu berkali-kali saya temui di Jakarta, menyumbang sebuah tulisan soal Kecamatan Development Program, yang membuat buku ini jadi juga berwajah Indonesia.
Ketika buku elektronik itu saya buka di layar komputer, saya segera membaca bab penutupnya. Sebuah esai retrospeksi yang ditulis oleh Anthony Bebbington, profesor terkenal dalam bidang lingkungan dan masyarakat, yang namanya tercatat di berbagai universitas, termasuk Manchester dan Melbourne. Saya belajar banyak sekali dari bab itu, tapi juga merasa bahwa itu kelewat ringkas untuk bisa menggambarkan sumbangsih Cernea terhadap dunia. Sangat mungkin, saya akan tetap merasa demikian setelah kelak menghabiskan 374 halaman buku itu, lantaran memang buku tersebut terutama berfokus pada peran Cernea lewat proyek-proyek Bank Dunia.
Padahal, jelas pula Cernea punya pengaruh jauh lebih luas daripada melalui proyek-proyek itu. Secara resmi, Cernea berada di Bank Dunia antara tahun 1974 hingga 1997, merangkak mulai dari in-house sociologist yang pertama hingga akhirnya menjadi Senior Adviser for Sociology and Social Policy. Setelah itu, karyanya tak juga berhenti. Tahun 2018 lalu dia, bersama Julie Maldonado, masih menyunting bunga rampai yang sangat berpengaruh: Challenging the Paradigm of Displacement and Resettlement: Risks, Impoverishment, Legacies, Solutions. Tahun lalu, bersama-sama Scott Guggenheim ia juga menerbitkan Anthopological Approaches to Resettlement: Policy, Practice and Theory.
Maka, mulailah saya menuliskan versi saya sendiri, cerita tentang seorang yang mengagumi Cernea sejak pertama kali membaca terjemahan bukunya, lalu sempat berjumpa, bekerja untuk, dan terutama belajar dari sang rockstar dalam sosiologi pembangunan, walau hanya selama beberapa hari. Sekitar satu dekade sejak pertama kali membaca pemikirannya, saya berjumpa dengan Cernea. Kini, 17 tahun setelah perjumpaan itu, saya menuliskan kenangan yang tak terlupakan. Kenangan itu sedemikian jelas, mungkin karena saya tak pernah bergeser dari posisi moral yang dijadikan judul buku dahsyat itu, yaitu bahwa seluruh manusia, baik itu generasi sekarang maupun mendatang, haruslah menjadi yang utama dalam pembangunan. Pembangunan tak boleh meminggirkan sebagian sangat besar masyarakat demi segelintir yang lain.
Saya akan segera membaca habis buku Social Development in the World Bank itu. Ada peluang besar saya akan bersedih mengingat cita-cita Cernea yang telah ia perjuangkan selama lebih dari 4 dekade akan terasa masih menyisakan segudang pekerjaan rumah. Menyadari masih banyaknya peminggiran manusia dalam proyek-proyek pembangunan di Indonesia, dan di bagian Bumi lain, mungkin bakal lebih menyakitkan lagi lantaran buku baru ini akan menguatkan kembali kompas moral para pembacanya, murid langsung ataupun tak langsung Michael Cernea, termasuk saya. Bagaimanapun, saya harus memberanikan diri membaca dan bercermin.
–##–
* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; pimpinan dewan pakar Social Value Indonesia; strategic partner CCPHI Partnership for Sustainable Community; anggota dewan pengurus Komnas Pengendalian Tembakau; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA dan ESG Indonesia.
Leave A Comment