Oleh: Jalal *

Upaya John Elkington Menciptakan Masa Depan yang Regeneratif

Tokoh Keberlanjutan Perusahaan Paling Penting

Green Swans: The Coming Boom In Regenerative Capitalism adalah buku ke-25 karya John Elkington.  Saya hanya punya kesempatan untuk membaca enam di antaranya.  Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business bukunya di tahun 1997 mungkin adalah yang paling terkenal dan yang pertama saya baca.  Di situ istilah Triple Bottom Line (TBL) yang sangat terkenal di dunia CSR dan keberlanjutan perusahaan dipopularkan, walau diciptakan Elkington 3 tahun sebelumnya.

Berikutnya, saya membaca The Chrysalis Economy: How Citizen CEOs and Corporations Can Fuse Values and Value Creation yang terbit di tahun 2001.  Buku yang menurut saya lebih dalammengupas apa yang bisa dan perlu dilakukan perusahaan, anehnya, tak cukup tinggi popularitasnya di antara para kolega saya yang menggeluti keberlanjutan perusahaan.

Saya sangat menikmati buku berikutnya, The Power of Unreasonable People: How Social Entrepreneurs Create Markets That Change the World, yang ditulisnya bersama Pamela Hartigan.  Sampai sekarang, saya masih menyarankan siapapun yang tertarik dengan fenomena bisnis sosial atau benar-benar berminat menjadi wirausahawan sosial untuk membacanya.  Risetnya sangat baik, dan ditulis dengan sangat memikat.  Mustahil tidak merasa terinspirasi oleh buku itu.

Dua buku berikutnya yang saya baca terbit berselang sangat dekat.  Tahun 2012, Elkington menulis The Zeronauts: Breaking the Sustainability Barrier; lalu di tahun 2014 dia menulis The Breakthrough Challenge: 10 Ways to Connect Today’s Profits With Tomorrow’s Bottom Line bersama Jochen Zeitz.  Dua buku ini, menurut saya, adalah yang paling kokoh sebagai pegangan para pengambil keputusan di perusahaan-perusahaan yang menginginkan keberlanjutan.  Kalau BusinessWeek memberikan julukan “a dean of the corporate responsibility movement for three decades” kepada Elkington di tahun 2004, kedua buku itu membuat Paul Hawken menjulukinya “our most accurate and prescient oracle with respect to sustainability” dan Profesor David Grayson menyebutnya “a one-man Tipping Point creator.”

Begitu hebatnya pengaruh Elkington pada gerakan keberlanjutan perusahaan, tak butuh waktu panjang untuk saya untuk memesan bukunya begitu diumumkan akan terbit.  Setelah menunggu beberapa bulan sejak pre-order itu, akhirnya saya bisa membaca buku terbarunya.  Apakah sedahsyat buku-buku sebelumnya?  Silakan melanjutkan membaca tulisan ini.

Ada Apa dengan Angsa?

Agak mudah menebak metafora Angsa Hijau yang menjadi judul buku ini.  Setelah Nassim Nicholas Taleb menuliskan The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable di tahun 2007, angsa benar-benar menjadi popular.  Tetapi, sama dengan banyak penulis lain yang menggunakan metafora angsa, pengertian ketat dari Taleb tak diikuti.

Elkington sendiri secara terbuka menyatakan hal demikian.  Jadi, pengertian Angsa Hitam diambil dengan longgar, dan metodologi tidaklah diikuti.  Angsa Hitam dinyatakan Elkington mewakili kondisi yang tidak teramalkan, tidak bisa diramalkan, hanya bisa dijelaskan setelah kejadian, mendatangkan dampak negatif yang eksponensial, dan seluruh hal berubah setelahnya.

Angsa lainnya berwarna abu-abu. Dijelaskan pada buku tersebut bahwa angsa ini mewakili kejadian yang sifatnya teramalkan, dan mungkin sudah diramalkan, namun diabaikan sedemikian lamanya oleh kebanyakan orang, dan ketika akhirnya muncul bisa membuat dunia terguncang.

Lalu, tentu saja, ada Angsa Hijau, yang oleh Elkington dinyatakan sebagai solusi sistemik atas beragam tantangan global.  Lebih jauh, ia menjelaskan bentuk nyata Angsa Hijau dengan pernyataan “Profound market shift, generally catalyzed by some combination of Black or Gray Swan challenges and changing paradigms, values, mind-sets, politics, policies, technologies, business models, and other key factors.”  Kalau angsa hitam dan abu-abu menghasilkan tantangan, Angsa Hijau menjawabnya.

Sangatlah menarik untuk membaca pengakuan bahwa Elkington tidak melihat bahwa Angsa Hijau tidaklah akan datang dalam waktu singkat, melainkan harus diperjuangkan dalam jangka panjang.  Ia menyatakan bahwa dalam jangka pendek ia adalah seorang pesimis, namun seorang yang optimis dalam jangka panjang.

Sebagai orang yang mengawal gerakan keberlanjutan sejak 4 dekade lampau, tentu saja hal itu didasarkan pada pengalamannya yang sangat panjang itu.  Dia sudah mencatatkan keberhasilan yang tak bisa disangkal dalam membawa perusahaan menjadi lebih paham pada isu-isu keberlanjutan dan menjadi bertanggung jawab sosial.  Tapi, dia juga tahu betapa perusahaan bisa menjadi penghambat atau setidaknya menjadi lembam dalam urusan keberlanjutan.  Di tahun 2018 Elkington mengejutkan dunia dengan pernyataannya bahwa dia melakukan strategic recall atas konsep TBL yang membuat dia menjadi sangat terkenal di seluruh dunia.

Dia menyatakan dalam buku ini: “My concern was that, misused, the triple bottom line could give people the idea that they were on the right path, even as the world slips toward Black or Gray Swan outcomes.” Jadi, dia mendeteksi bahwa konsep yang dia ciptakan itu ternyata diselewengkan oleh banyak perusahaan yang menggunakan nama konsep itu.  Dia menjelaskan lebih jauh: “Critically, though, the triple bottom line  was never designed to simply be an accounting tool.  It was supposed to provoke deeper thinking  about capitalism and its future, even if many early adopters understood the concept as a balancing act, adopting trade-off mentality.”

Jadi, memang ada alasan untuk pesimisme lantaran konsep yang dia ciptakan untuk mendorong perubahan mendasar atas kapitalisme bisa disempitkan pengertiannya sedemikian rupa, sehingga perusahaan-perusahaan yang meneriakkan TBL di dalam komunikasinya bisa saja tak berbeda dalam praktik dibandingkan kebanyakan perusahaan.  Kalau TBL yang luar biasa popular itu ternyata tak menghasilkan perubahan yang dia bayangkan, lalu apa yang membuat Elkington kali ini lebih optimistik dalam jangka panjang?

Kata pengantar buku ini dituliskan oleh Paul Polman, mantan CEO Unilever selama satu dekade hingga akhir tahun lalu.   Di pengantar sepanjang 2,5 halaman itu, dia menyatakan sesuatu yang mungkin menjadi petunjuk penting optimisme Elkington.  “The UN’s Sustainable Development Goals are quite simply the world’s greatest business plan—the growth story of the century.”  Tetapi, Polman sendiri mengingatkan bahwa “We still have a small window of opportunity  to act, but it’s a window that’s closing.  For anyone interested in playing the role in support of this crucial movement fro change this book is compulsory reading.”  Artinya, waktu untuk memanfaatkan peluang itu tidaklah panjang.

Kita tahu bahwa SDGs sendiri sudah berjalan lebih dari 4 tahun sekarang.  Namun, baru perusahaan-perusahaan yang progresif saja yang sudah membuat kebijakan dan mengimplementasikan model dan praktik bisnis yang sesuai dengan cita-citanya.  Hal yang menjadi kunci optimisme Elkington adalah sifat perubahan yang eksponensial.  Sekarang jumlah perusahaan yang sesuai dengan masa depan memang masih sedikit, namun akan tumbuh eksponensial dalam beberapa tahun lagi.

Perusahaan yang Sesuai dengan Masa Depan

Elkington sendiri memberikan gambaran di penghujung bukunya, bahwa kebanyakan perusahaan memang masih menyikapi wacana dan praktik keberlanjutan dengan penolakan.  Jutaan perusahaan menolak ide keberlanjutan, demikian menurut dia.  Kemudian, ada puluhan ribu perusahaan yang sekarang ada di tahapan tanggung jawab.  Di tahapan inilah kebanyakan perusahaan baik berada.  Lebih sedikit lagi, ada ribuan saja, adalah perusahaan yang ada di tahapan replikasi dan resiliensi.  Padahal, harapan tertinggi untuk masa depan yang lebih baik ada pada perusahaan yang bersifat regeneratif.  Di sini pembaca bisa memahami bahwa Elkington melihat rejection, responsibility, replication, resilience, dan regeneration sebagai tahapan perusahaan di hadapan keberlanjutan, atau lebih tepat lagi, di hadapan Angsa Hijau.

Untuk menunjukkan kontras antara perusahaan yang masih ada pada tahapan penolakan dengan mereka yang bergerak menuju regenerasi, Elkington melakukan diagnosis atas perusahaan.  Corporations on the couch, begitu istilah yang dia pakai, merujuk pada ada yang dilakukan oleh para psikolog kepada kliennya ketika diagnosis dilakukan.  Diagnosis yang dilakukan oleh Elkington meliputi aspek-aspek: purpose, business model, profit, growth, value, impact, liability, materiality, governance, dan stranded assets.  Masing-masing dibedakan dengan narasi lama dan baru, dan diakhiri dengan bagaimana kesepuluhnya dilihat dari sudut pandang Angsa Hijau.

Sebagai gambaran, model bisnis yang menurut Elkington akan sesuai dengan Angsa Hijau adalah yang bersifat sosial, lean, terpadu dan sirkular.  Elkington, sebagaimana yang saya nyatakan di atas, memang mendorong perkembangan bisnis sosial yang digerakkan oleh mereka yang termasuk ke dalam ‘unreasonable people’, yaitu mereka yang menekankan pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat sebagai tujuan bisnisnya.  Di buku ini, ia kemudian menjadi secara terbuka juga menekankan tiga sifat lain dari model bisnis yang kompatibel dengan masa depan.

Dalam soal nilai, Elkington mengingat diskusinya dengan salah satu ekonom paling terkemuka sekarang, Mariana Mazzucato, di kampus University College London di awal 2019.  Kesimpulan mereka bersama “…truly sustainable and inclusive value and wealth can only be produced for the overwhelming majority of people if the private, public and citizen sectors are all actively, creatively and productively involved, and from the very outset.”  Elkington, juga menyarankan siapapun untuk membaca buku-buku Kate Raworth, Thomas Piketty dan Joseph Stiglitz, selain karya terkemuka Mazzucato, tentu saja, untuk bisa benar-benar memahami apa itu nilai yang sesuai dengan angsa hijau.

Terkait dampak, pekerjaan rumah terbesar bagi bisnis adalah penguasaan atas prediksi dampak beserta penghitungannya.  Tentu, ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa perusahaan hanya akan menciptakan dampak positif yang memengaruhi sebanyak mungkin orang.  Elkington secara eksplisit menyebutkan bahwa impact investment atau investasi yang sengaja dilakukan untuk menciptakan dampak positif yang besar kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk investornya adalah fenomena Angsa Hijau.

Mendorong Kemunculan Angsa Hijau

Kesepuluh aspek yang diajukan Elkington itu, terutama narasi baru yang sesuai dengan perspektif Angsa Hijau, itu bermanfaat untuk menghadapi tantangan yang rumit dan maharumit, atau yang disebut sebagai wicked and super wicked problems.  Elkington menjelaskannya dalam satu bab khusus sebelum kemudian memberikan contoh yang dia sebut sebagai Kapitalisme Angsa Hitam.  Ada lima yang dia jabarkan: sampah plastik di lautan, kalori yang membunuh, antibiotika yang menyebabkan kutu menjadi semakin mematikan, krisis iklim, serta sampah di angkasa.  Tentu, lantaran buku ini adalah soal muwujudkan Angsa Hijau, maka setiap tantangan pelik itu kemudian dijelaskan trajektorinya menuju masa depan yang jauh lebih baik.

Masa depan yang lebih baik itu ada di bentuk Kapitalisme Regeneratif.  Inilah bentuk kapitalisme yang dihasilkan oleh kepakan sayang sang Angsa Hijau.  Elkington secar terbuka menyatakan bahwa yang dia lihat sebagai keniscayaan di masa depan itu adalah gambaran yang dibuat oleh William McDonough dan Michael Braungart lewat konsep Cradle to Cradle, Paul Hawken lewat Natural Capitalism dan Project Drawdown, Janine Benyus dengan Biomimicry, Ray Anderson dengan Radical Industrialist-nya yang menafsirkan Ecology of Commerce, dan John Fullerton yang memberi nama Regenerative Capitalism.

Perusahaan yang bersifat regeneratif akan menganut apa yang dia sebut sebagai system value, yang merupakan hasil dari transformasi panjang dari shareholder value dan melampaui shared value. Shareholder value adalah cara majoritas perusahaan sekarang melihat kaitan antara bisnis, masyarakat dan lingkungan.  Keuntungan adalah segalanya, sementara masyakat dan lingkungan menanggung eksternalitas negatif dari perusahaan.  Pada shared value, keuntungan bagi bisnis tetap dipandang sebagai yang utama, namun dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan dikelola agar tidak (terlampau) merugikan.  Ketika perusahaan menganut system value, bisnis tidak lagi menjadi entitas yang merugikan masyarakat dan lingkungan, karena perusahaan melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan lingkungan.  Perusahaan yang menganutnya akan berkontribusi ke dalam penciptaan kemajuan masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan masa depan (lihat Gambar).

Gambar. Tranformasi dari Shareholder Value menuju System Value (Elkington, 2020)

Dari penjelasan ini kita kemudian menjadi paham atas kekecewaan Elkington kepada mereka yang menafsirkan konsep TBL-nya.  TBL selalu digambarkan dengan yang gambar yang tengah.  Elkington selalu menekankan bahwa keberlanjutan hanya bisa dicapai apabila ketiga aspek itu dipertimbangkan dengan setara.  Pada kenyataannya, kalau bisnis menganggap dirinya memiliki kepentingan yang sama kuatnya dengan masyarakat dan lingkungan, maka keuntungan tetap bakal menjadi pertimbangan utama, walau tak lagi mengeksternalkan kerugian sepenuhnya kepada masyarakat dan lingkungan.

Kini Elkington secara eksplisit menyatakan bahwa yang tepat untuk masa depan adalah system value yang mungkin pertama kali dimuat Jonathon Porritt di dalam bukunya yang terbit tahun 2005, Capitalism as If the World Matters.  Lalu, apakah TBL benar-benar mau ditinggalkan penggunaannya? Elkington menyatakan tidak keberatan istilah itu dipakai selama itu berarti operasionalisasi tanggung jawab, resiliensi dan regenerasi.  Tetapi, tentu saja, regenerasi adalah tujuan akhirnya.

Kondisi masyarakat dan lingkungan yang dinyatakan Elkington akan mewujud dengan Angsa Hijau ada delapan.  Pertama, energi akan sepenuhnya terbarukan dan tersedia untuk semua orang.  Kedua, air akan tersedia dalam jumlah memadai untuk semua orang dan diperoleh dari sumber yang bertanggung jawab.  Ketiga, seluruh sumberdaya alam dikelola dengan tujuan perlindungan ekosistem, manusia dan hewan.  Keempat, lingkungan bebas dari segala jenis polusi.  Kelima, tidak ada sampah sama sekali. Keenam, keberadaan manusia secara fisik menjaga kesehatan ekosistem dan masyarakat.  Ketujuh, masyarakat memiliki kapasitas dan peluang untuk mencapai kondisi hidup yang memuaskan.  Terakhir, norma sosial, tata kelola global dan pertumbuhan ekonomi mengarahkan pada pencapaian seluruh kondisi yang sesuai dengan masa depan.

Sebuah Buku yang Wajib Dibaca?

Demikianlah delapan kondisi yang akan dihasilkan oleh Angsa Hijau.  Meminjam fabel Aesop, kedelapan hal itu adalah telur emas yang dihasilkan oleh Angsa Hijau.  Membaca buku ini saya juga teringat pada mitologi Yunani tentang Burung Phoenix yang bangkit kembali dari kehancuran.  Dua angsa, hitam dan abu-abu, meluruh untuk kemudian bangkit menjadi Angsa Hijau yang membawa seluruh kebaikan.  Cerita manapun yang terbayang, buku ini membawa optimisme.  Dan itu adalah bentuk optimisme yang eksponensial.

Pertanyaannya kemudian, apakah buku ini termasuk di antara yang tak boleh dilewatkan oleh mereka yang ingin menambah ‘kesaktian’ dalam keberlanjutan perusahaan.  Kalau orang-orang seperti Dame Polly Courtice, Robert Eccles, Adi Ignatius, Lise Kingo, Marianna Mazzucato, dan Paul Polman memuji-muji buku ini, seharusnya jawabannya mudah diberikan.  Tentu saja ini buku yang sangat bagus dan harus dibaca berulang-ulang.  Tetapi, membandingkannya dengan lima buku Elkington lain yang saya baca, terus terang saya punya ekspektasi yang lebih tinggi kepada buku ini.

Di bagian awal buku, saya merasa pembahasan Angsa Hitam dan Angsa Abu-abu tidaklah memuaskan. Mungkin karena saya membaca buku Taleb yang menjadi inspirasi Elkington itu, selain membaca The Gray Rhino: How to Recognize and Act on the Obvious Dangers We Ignore yang ditulis Michele Wucker, salah satu buku favorit saya dari tahun 2016.  Di situ Wucker menjelaskan mengapa Badak Abu-abu adalah fenomena antara Gajah dalam Ruangan (elephant in the room, yang sangat jelas hingga tak bisa diabaikan) dan Angsa Hitam.  Ketika fenomena Badak Abu-abu sudah terpatri di kepala, agak sulit menerima metafora Angsa Abu-abu sebagai padanannya, supaya metaforanya menjadi konsisten.

Saya juga punya kesan kuat bahwa di beberapa tempat buku ini lebih terburu-buru sehingga meninggalkan banyak pekerjaan rumah bagi pembacanya.  Dalam hal ini, sayangnya, termasuk urusan Kapitalisme Regeneratif yang menjadi nubuat Elkington.  Dia memberikan ruang terlampau sedikit untuk diskusi soal hal itu.  Elkington menyebutkan beberapa nama besar yang dia rujuk, namun benar-benar terasa selintasan.  Padahal, saya ingin membaca tafsir Elkington soal pemikiran mereka, dengan kekuatan bertuturnya yang melegenda itu.

Bagian lainnya yang juga terasa terlampau ringkas adalah diagnosis Elkington atas ‘kesehatan jiwa’ perusahaan dalam 10 aspek itu.  Saya ingat di tahun 2017 membaca artikel Edward Freeman, The New Story of Business: Towards a More Responsible Capitalism yang menggunakan gaya yang sama. Freeman membedah enam penanda kapitalisme yang dia tuturkan narasi lama dan barunya.  Freeman terasa lebih tuntas dalam perbandingannya.  Tentu, saya tak punya keraguan, Elkington punya pengetahuan yang sangat memadai untuk bercerita lebih panjang dan dalam kepada pembacanya dengan sangat memikat, tetapi dia tidak memilih demikian.  Terkadang hal ini membuat saya merasa Elkington seperti dosen yang memberi tugas baca lebih lanjut kepada mahasiswanya.

–##–

* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; penasihat keuangan berkelanjutan di Transformasi untuk Keadilan Indonesia; anggota dewan pengurus Komnas Pengendalian Tembakau; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA. Ia juga salah seorang deklarator Poros Hijau Indonesia dan Co-founder – ESG Indonesia.