Oleh: Jalal *

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan formulasi di tingkat global terhadap tujuan yang disepakati seluruh umat manusia, yang diwakili oleh negara masing-masing, yang akan dicapai mulai awal 2016 hingga penghujung tahun 2030. SDGs adalah pengganti sekaligus kelanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs) yang berlaku selama 15 tahun hingga akhir 2015 yang lalu.  Dengan sifat yang demikian, MDGs dan SDGs memiliki sejumlah persamaan maupun perbedaan.

SDGs berbeda dengan MDGs dalam berbagai hal.  Selain yang tampak jelas dari perbedaan Tujuan dan Target, perbedaan utamanya adalah pada pendekatan untuk mencapainya (Prescott dan Stibbe, 2016).  SDGs dicapai melalui pendekatan holistik, bukan spesifik; dibiayai lewat investasi jangka panjang, bukan jangka pendek; menggunakan inovasi untuk mengelola kompleksitas, bukan yang linear; memanfaatkan dan mengelola struktur yang fleksibel, bukan yang kaku; menggunakan proses perencanaan dari bawah, bukan dari atas; menggunakan pengetahuan dan keahlian yang dapat dimiliki secara bebas, bukan dari yang dibatasi oleh hak cipta; serta setiap pihak bertanggung jawab atas hasilnya, bukan hanya pemerintah dan donor.

Keseluruhan pergeseran itu sebetulnya menunjukkan bahwa SDGs jauh lebih dekat kepada apa yang sejak lama dicita-citakan oleh organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia.  Namun demikian, bukan berarti organisasi masyarakat sipil—juga organisasi pemerintahan, bisnis dan yang lain—tidak perlu menguatkan diri dan mitra-mitranya dalam mencapai tujuan SDGs.  Sifat komprehensif dari SDGs dan pendekatan kemitraan yang ditekankannya tampaknya membuat seluruh pemangku kepentingan untuk unlearn dan relearn banyak hal yang selama ini dianggap sudah atau belum diketahui.

Beberapa level penguatan kapasitas tetap diperlukan, yaitu di level individu, organisasi, kemitraan, dan sistem.  Bagaimanapun, individu adalah entitas paling kecil di mana pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan untuk menggapai SDGs—atau, di sisi yang lain, menggagalkan pencapaian SDGs.  Setiap individu berada di organisasi (dalam pengertian paling luas) di mana dia beraktivitas, dan membentuk kekuatan yang lebih besar untuk make or break SDGs.  Kita juga sadar bahwa dengan kompleksitas permasalahan yang ada sekarang, mustahil sebuah organisasi bisa mencapai Tujuan SDGs sendirian, bahkan kalau organisasi itu bernama pemerintah sekalipun. SDGs adalah sebuah tujuan global, di mana penguatan kapasitas yang dibutuhkan memang ada di level tersebut.

Sangat benderang, setiap individu yang mau melibatkan diri dalam SDGs perlu untuk mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang SDGs itu sendiri.  Tentu saja, terdapat keperluan untuk memahami detail Tujuan dan Target SDGs, terutama yang relevan dengan tugas masing-masing.  Namun, yang juga sangat penting dipahami adalah logika di balik SDGs, seperti yang digambarkan oleh pergeseran dari MDGs ke SDGs di atas, juga bagaimana hubungan antara komponen-komponen ekonomi, sosial dan lingkungan. SDGs menganut model keberlanjutan nested, yang berarti bahwa ekonomi adalah bagian dari sosial, dan sosial adalah bagian dari lingkungan.  Model ini betul-betul perlu dipahami, beserta konsekuensinya pada strategi, eksekusi, pemantauan dan evaluasi hingga komunikasinya.  Menyampaikan kaitan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam moda berpikir pilar atau triple bottom line sesungguhnya tidak tepat, dan mengingkari logika dasar di mana SDGs dibuat.

Terkait dengan SDG17, setiap individu juga perlu menyadari bahwa kemitraan adalah jalan untuk mencapai seluruh Tujuan dan Target SDGs, sehingga perlu untuk meningkatkan kapasitas kemitraannya.  Mungkin kata kemitraan adalah salah satu yang paling banyak diucapkan, namun sesungguhnya tak cukup dipahami apalagi ditegakkan.  The Partnering Initiative, sebuah organisasi paling terkemuka dalam bidang ini, menyatakan bahwa ada tiga prinsip kemitraan, yaitu kesetaraan, transparensi, dan manfaat bersama.  Masing-masing adalah sebuah konsep yang sangat perlu dipahami dan dicamkan oleh setiap individu secara kontinum, terus menerus diterapkan di dalam tindakannya.  Satu-satunya kondisi internal individu yang kompatibel dengan SDGs sesungguhnya adalah collaborative mindset, dan ini sesungguhnya memiliki tantangan tersendiri, lantaran banyak di antara individu yang masih berpikir bahwa competitive mindset adalah hal yang jamak.

Organisasi masyarakat sipil—juga seluruh organisasi di sektor lainnya yang ingin berkontribusi terhadap pencapaian SDGs—perlu untuk melakukan refleksi, yaitu tentang apakah dirinya memang benar-benar telah beroperasi dengan cara-cara yang berkelanjutan.  Ada banyak praktik terbaik dan standar yang dapat dipergunakan untuk mengetahui hal ini.  Tetapi, untuk memastikannya, sebuah analisis kesenjangan perlu dilakukan untuk memastikan hal itu, lalu dimanfaatkan untuk mendefinisikan ruang perbaikan yang ada, serta menjawab bagaimana strategi untuk mencapai kondisi keberlanjutan tertinggi di level organisasi sendiri.  Sesungguhnya, hanya organisasi yang memiliki rekam jejak keberlanjutan, atau dengan komitmen kuat mengarah ke sana saja, yang pantas untuk ada di dalam kemitraan SDGs.

Karena kemitraan adalah jalan untuk pencapaian SDGs, maka setiap organisasi juga perlu untuk melihat ke dalam dirinya sendiri dan bertanya soal ‘fit for partnering’, dan meneguhkan komitmen untuk melihat bahwa SDGs adalah tujuan bersama yang perlu dicapai.  Ini membutuhkan kepemimpinan, strategi, sistem, proses, insentif, keterampilan, serta kultur organisasi yang benar-benar kompatibel dengan SDGs.  Bagaimanapun, harus diakui bahwa belum seluruh organisasi masyarakat sipil yang memiliki kecocokan untuk bermitra.  Mereka yang selama ini menjadi watchdog mungkin akan memilih tetap memainkan peranan penting tersebut.  Dan, sepanjang peran tersebut dijalankan dengan pemahaman yang mendalam soal SDGs, tentu itu adalah peran yang sangat penting dan tetap diperlukan sebagai umpan balik bagi pemangku kepentingan manapun yang ingin mencapai SDGs.

Selain itu, yang sangat diperlukan dibangun oleh organisasi adalah pengetahuan dan keterampilan SDGs spesifik yang terkait dengan visi dan misi organisasinya.  Sebuah organisasi masyarakat sipil yang selama ini menggeluti isu-isu terkait air dan sanitasi (SDG6) atau energi (SDG7), misalnya, perlu untuk melihat apa saja Target dan Indikator yang sudah disepakati dalam Tujuan yang terkait dengan kerja organisasinya, lalu mengembangkan dirinya agar semakin kompatibel dengan Tujuan itu.  Tentu, ada pula organisasi yang visi dan misinya mencakup lebih dari satu Tujuan SDGs, sehingga perlu belajar dengan lebih komprehensif lagi.  Apalagi, organisasi yang melihat dirinya mengusung isu keuangan berkelanjutan—yang kini artinya semakin dekat dengan pembiayaan SDGs (dan Kesepakatan Paris)—maka harus bisa menguasai Tujuan-tujuan SDGs yang paling penting untuk dibiayai.

Kemitraan membutuhkan kesepakatan untuk bekerja sama, berbagi risiko dan tanggung jawab, serta penggabungan sumberdaya dan komptensi untuk mencapai tujuan yang sama. Hal ini tidaklah sederhana, mengingat bahwa pemerintah dan bisnis masing-masing memiliki ‘bahasa’ yang berbeda dengan organisasi masyarakat sipil.  Sehingga, hal pertama yang perlu dilakukan adalah belajar tentang sektor lainnya.  Pembelajaran itu terutama bertujuan untuk meningkatkan saling pengertian, mengikis prasangka (karena sesungguhnya ada ‘malaikat’ maupun ‘setan’ di setiap sektor), menghindari kesalahan yang tidak perlu, serta mendapatkan pengalaman terbaik dari masing-masing sektor.

Sangat penting untuk dipahami bahwa belum semua organisasi bisa dan mampu melakukan pembelajaran melalui kemitraan itu.  Dari beragam kasus kemitraan untuk keberlanjutan, sangat jelas tergambar bahwa hal tersebut hanya mungkin terjadi apabila seluruh pihak yang membentuk kemitraan telah memiliki rekam jejak keberlanjutan yang baik.  Apabila ada yang memiliki rekam jejak tak bersih, maka kemitraan SDGs bisa sekadar menjadi cara greenwashing belaka.  Dengan demikian, sangat penting bagi organisasi masyarakat sipil yang hendak bermitra dengan organisasi lainnya, termasuk dan terutama dari sektor yang berbeda, memiliki penapisan negatif dan positif.  Akan jauh lebih baik bagi organisasi masyarakat sipil untuk tidak membentuk kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang ada di dalam sektor-sektor yang sesungguhnya bertentangan dengan SDGs (mis. industri rokok), juga dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki catatan hitam terkait pengelolaan sosial dan lingkungan.

Organisasi-organisasi bersih ini perlu untuk bekerja sama menciptakan prototype pemecahan masalah.  Pada waktu bersamaan, mereka perlu terus memantau, mengajak dan memfasilitasi organisasi lainnya untuk terus mengadopsi keberlanjutan secara serius.  Kemudian, melibatkan mereka dalam fase scale up—kini ada juga yang menggunakan dua istilah tambahan lebih spesifik yang diperkenalkan McConnell Foundation, yaitu scale deep dan scale out (lih. Moore, Riddell, dan Vocisano, 2015)—apabila sudah dipastikan mereka memang mampu berkontribusi dan pantas.  Sekali lagi, kemitraan dalam SDGs tak boleh ditunggangi sebagai cara pencitraan oleh mereka yang sesungguhnya berkinerja keberlanjutan buruk dan bisa menggagalkan pencapaian SDGs.

Level tertinggi, yaitu sistem, sesungguhnya berisikan total dari seluruh upaya kemitraan untuk mencapai semua Tujuan dan Target SDGs, baik itu di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global—beserta kebijakan publik yang dipergunakan untuk mendukung pencapaian tersebut.  Pertama-tama, seluruh individu dan organisasi bisa mendapatkan banyak sekali pembelajaran dari sistem tersebut untuk mengatasi isu-isu keberlanjutan yang perlu dipecahkan di dalam lingkup organisasi maupun dalam kemitraannya.  Di sini harus dinyatakan bahwa belum ada agregator untuk pembelajaran SDGs yang memadai bahkan di tingkat nasional.  Namun, sangat jelas bahwa sistem ini sedang dan terus tumbuh dengan cepat.

Di sisi lain, untuk memercepat kemunculan sistem tersebut, setiap individu, organisasi, dan kemitraan bisa menyumbangkan hasil belajar dan kerjanya, sehingga tercipta sebuah ruang pembelajaran global—dalam skala, tema atau tantangan keberlanjutan, dan lokasi yang beragam—untuk mengatasi berbagai tantangan keberlanjutan.  Dalam hal ini, pemetaan sistem (lengkap dengan seluruh subsistem lokal, nasional, dan regionalnya) dengan visualisasi data adalah adalah cara yang mungkin paling ampuh untuk menyumbangkan dan mendapatkan pembelajaran untuk kemitraan keberlanjutan.  Bagaimanapun, pelajaran dalam skala global memang perlu mengandalkan parsimoni, penyederhanaan tanpa mereduksi makna secara berlebihan.

Sangat jelas dari paparan di atas, Tujuan dan Target SDGs serta kemitraan untuk mencapainya bukanlah tantangan yang ringan untuk setiap individu dan organisasi yang mau bersungguh-sungguh mencapainya.  Namun demikian, seluruh dunia sudah tak memiliki kemewahan berupa waktu berleha-leha dan menunda-nunda kerja untuk mencapai SDGs.  Setiap individu, organisasi, dan kemitraan perlu untuk meningkatkan kapasitas masing-masing dalam hal-hal yang di antaranya digambarkan di atas.  Mungkin masih banyak lagi ruang belajar yang belum disebutkan, dan tulisan ini mengundang seluruh pihak yang mengidentifikasinya.

* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; penasihat keuangan berkelanjutan di Transformasi untuk Keadilan Indonesia; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA.