Manipulasi dan kerusakan alam akibat ulah manusia membawa ancaman mematikan bagi populasi dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Penelitian terbaru dari UN-HABITAT yang diterbitkan Oktober lalu menyebutkan, urbanisasi dan perubahan iklim menganggu kualitas hidup, perekonomian dan stabilitas sosial masyarakat. Masyarakat yang tinggal di kota-kota besar dunia, yang saat ini komposisinya mencapai 50%, semakin terancam oleh kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global dan perubahan iklim.

Jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan tumbuh sangat pesat. Urbanisasi juga akan terus meningkat. Dalam satu generasi ke depan, jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan akan mencapai sepertiga populasi dunia.

Dan dalam sepuluh tahun ke depan, perubahan iklim akan mengakibatkan ratusan juta penduduk perkotaan – terutama mereka yang miskin dan termarjinalkan – semakin menderita akibat bencana banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem dan bencana-bencana alam yang lain.

Penduduk kota juga akan semakin kesulitan memeroleh air bersih akibat infiltrasi air laut atau air asin ke sumber air bersih di perkotaan.

Selain itu, naiknya suhu permukaan laut dan mencairnya es di kutub utara maupun selatan akan meninggikan permukaan air laut, mengancam mereka yang tinggal di wilayah pesisir pantai.

Risiko yang telah terbukti secara ilmiah ini berdampak negatif paling besar terutama bagi kota-kota di wilayah pesisir, yang memiliki populasi di atas 10 juta penduduk.

Kota-kota ini termasuk Los Angeles, New York, Rio de Janeiro, São Paulo, Buenos Aires, London, Lagos, Cairo, Karachi, Mumbai, Kolkata, Dhaka, Manila, Shanghai, Osaka, Kobe, Tokyo dan jangan lupa, Jakarta.

Tanpa adanya persiapan yang memadai, kenaikan permukaan air laut setinggi 1 meter di kota besar seperti New York misalnya, tidak hanya akan menenggelamkan wilayah pesisir kota tersebut, namun juga akan menghancurkan sistem kereta api bawah tanah, fasilitas sanitasi, jaringan pembangkit listrik dan perusahaan.

London saat ini masih terlindungi oleh bendungan di Sungai Thames (Thames Barrier) dari ancaman badai dan gelombang pasang. Namun intensitas badai dan gelombang pasang di kota ini terus meningkat.

Sementara di Lagos, Nigeria, dan kota-kota lain di kawasan tersebut – yang dibangun di bawah permukaan air laut – saat ini sudah tergerus erosi, banjir dan pencemaran air tawar oleh air laut, terutama di wilayah-wilayah pesisir. Sehingga kenaikan permukaan air laut akan berakibat fatal bagi populasi mereka.

Di Jepang, jika air laut naik hingga 1 meter, diperlukan dana sebesar US$110 milliar untuk membuat 1000 pelabuhan di Jepang tetap berfungsi.

Dan hanya beberapa hari setelah World Urban Forum kelima pada 2010 di Rio de Janeiro, hujan deras memicu banjir yang menelan banyak korban terutama di wilayah pemukiman kumuh yang letaknya tidak jauh dari pusat kota.

Perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut selain mengancam populasi juga mengancam aset-aset budaya dunia.

Pada 2002, banjir besar di Eropa merusakkan gedung konser, teater, musium dan perpustakaan di Republik Ceko yang kehilangan separuh dari koleksi buku-buku mereka yang sangat berharga.

Saat ini, jumlah banjir di Venesia 50 kali lebih banyak dibanding pada awal tahun 1990-an yang menurut laporan Uni Eropa, disebabkan oleh penurunan tanah (land subsidence).

Banjir besar juga telah merusakkan situs-situs bersejarah di Thailand seperti ibu kota Thailand modern pertama, Sukothai, yang telah berusia 600 tahun dan kota Ayutthaya, ibu kota Thailand pada abad 14-18.

Bagaimana dengan Indonesia? Ibu Kota kita tercinta, Jakarta mengalami banjir besar terakhir pada 2007. Cuaca ekstrem juga mengancam kota-kota besar di provinsi sekitar Jakarta seperti Jawa Barat dan Banten. Banjir besar terakhir ini merenggut 80 korban jiwa di tiga provinsi dan membuat 320.000 orang mengungsi.

Tahun ini semua warga kota-kota besar dunia harus lebih waspada. Perubahan iklim dan cuaca ekstrem terjadi semakin sering dan semakin parah.

Semua ini karena kenaikan emisi yang memicu kenaikan suhu bumi akibat kegagalan negara-negara dunia, terutama negara maju, memenuhi dan mematuhi target emisi sesuai dengan Protokol Kyoto.

Konferensi perubahan iklim, COP17 di Durban, Afrika Selatan bulan lalu juga gagal memetapkan target mengikat baru, sehingga semakin memerparah prospek perubahan iklim dan cuaca ekstrem.

Dunia kini bergantung pada kita semua, warga dunia, pada setiap individu, pribadi, untuk mengubah gaya hidup yang lebih sehat dan ramah lingkungan, untuk menekan emisi dan kenaikan suhu bumi, untuk menekan efek negatif perubahan iklim dan cuaca ekstrem.

Ayo bersama-sama beraksi dan berkolaborasi menyelamatkan bumi, mulai hari ini, mulai dari diri sendiri.

Redaksi Hijauku.com