Indonesia bisa meraup pemasukan miliaran dollar jika pemerintah mau melestarikan hutan-hutan penting di Nusantara. Hal ini terungkap dari berita Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis Rabu (28/9). Angka ini tiga kali lipat lebih banyak dibanding jika pemerintah mengorbankan hutan untuk perkebunan sawit.

Dengan menerapkan program pengurangan karbon PBB, pemerintah juga bisa mengamankan pasokan air dan melindungi orangutan yang saat ini terancam punah.

Dibawah Konvensi Kerjasama PBB untuk Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), pemerintah di seluruh dunia saat ini tengah menegosiasikan mekanisme pembayaran ke negara berkembang atas upaya mereka mengurangi emisi melalui pencegahan penggundulan dan perusakan hutan serta aktifitas lainnya (REDD+).

Secara keseluruhan, kerusakan hutan akibat pembukaan lahan pertanian, padang rumput, pembangunan infrastuktur, industri kayu dan kebakaran, bertanggung jawab atas 18% emisi gas rumah kaca dunia. Angka ini lebih tinggi dari tingkat emisi gas rumah kaca seluruh moda transportasi dunia dan nomor dua setelah sektor energi.

Wilayah hutan gambut di sepanjang pantai Sumatera yang menjadi habitat bagi 6.600 orangutan Sumatera yang masih tersisa, bernilai lebih dari US$22.000 per hektar dengan harga penilaian karbon saat ini.

Jumlah itu jauh lebih besar dibanding jika hutan dibabat untuk perkebunan sawit yang hanya US$7.400 per hektar. Demikian hasil laporan Program Lingkungan PBB (UNEP), dalam Program Kemitraan Penyelamatan Monyet Besar (Great Apes Survival Partnership, GRASP), yang dikeluarkan Rabu lalu (28 September 2011) yang menuntut partisipasi Indonesia.

Direktur Eksekutif UNEP, Achim Steiner mencatat, telah terjadi penurunan debit air hingga 50% di hampir 80% sungai di Aceh dan Sumatera Utara akibat penggundulan hutan. Kondisi ini berdampak serius bagi pertanian dan keamanan pangan penduduk sekitar, termasuk terhadap produksi padi dan kesehatan masyarakat.

Laporan UNEP ini juga merekomendasikan wilayah baru untuk program REDD+, yang bisa memberi beragam manfaat baik untuk penyimpanan karbon, konservasi habitat orangutan, dan perlindungan ekosistem. Untuk perluasan lahan perkebunan sawit, pemerintah bisa mengalokasikan lahan yang saat ini kurang bernilai dan menghindari konsesi lahan pertanian dengan lahan kehutanan yang bernilai tinggi.

Wilayah hutan gambut Sumatera adalah salah satu wilayah penyimpan karbon yang paling efisien di antara ekosistem-ekosistem lain di bumi. Setiap tahun dalam dua dekade terakhir, 380.000 hektar hutan di Sumatera musnah karena pembalakan liar. Nilai karbon yang hilang per tahun diperkirakan mencapai lebih dari US$1 milliar.

Hampir separuh hutan Sumatera telah musnah antara tahun 1985 hingga 2007 dan dalam satu dekade terakhir. Sebanyak 80% penggundulan hutan di lahan gambut disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan lebih dari 20% sisanya disebabkan oleh permasalahan lain seperti untuk produksi kopi dan kemiri (candlenut).

Saat ini kurang dari 6.600 orangutan Sumatera yang masih hidup di dalam liar. Angka ini turun dari 85.000 pada tahun 1900 atau berkurang sebesar 92%. Jika angka penurunan ini terus berlanjut, orangutan Sumatera akan menjadi kera besar pertama yang masih hidup yang akan musnah di alam liar. Populasi orangutan lokal di beberapa wilayah Sumatera diperkirakan akan musnah mulai tahun 2015.

Redaksi Hijauku.com