Dari Fondasi Metodologis Menuju Rencana Aksi Transformatif
Oleh: Jalal
Penyerahan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia ke UNFCCC bakal menandai sebuah momen krusial, tidak hanya dalam perjalanan komitmen iklim Indonesia, tetapi juga dalam perannya sebagai salah satu negara berkembang terbesar dan paling vital di panggung global. Dokumen SNDC 2025 ini, yang merupakan hasil sintesis dari berbagai analisis mendalam. Ia memancarkan keseriusan dalam transparansi, metodologi, dan integrasi kebijakan, dan karenanya patut diapresiasi secara tulus. Fondasi yang telah dibangun—dari dokumen yang baru saja disebarluaskan ke publik di minggu lalu—bisa dinyatakan cukup kokoh.
Namun, dokumen itu seharusnya bukan cuma fondasi, melainkan juga cetak biru untuk membangun di atasnya. Dan, seperti halnya cetak biru apapun, nilainya terletak pada kemampuannya untuk memandu pembangunan dengan kokoh, fungsional dan dapat diandalkan. Menurut saya, dokumen ini telah berhasil mendefinisikan ‘apa’ dan ‘mengapa’ secara lebih baik—walau bukan berarti telah sempurna—dibandingkan dokumen sebelumnya. Tantangan kolektif kita berikutnya jelas adalah memertajam ‘bagaimana’ dan ‘oleh siapa’. Dalam dua hal dua belakangan itu, catatan perbaikan agaknya masih perlu banyak disampaikan.
Beberapa Kemajuan
Hal pertama dan utama yang harus diakui adalah kemajuan fundamental dalam arsitektur teknis dokumen ini. Langkah paling transformatif adalah pergeseran dari target berbasis persentase yang ambigu terhadap skenario Business-as-Usual (BAU) menuju penetapan target emisi absolut. Ini adalah sebuah langkah maju yang fundamental. Dengan begitu, ia mengakhiri perdebatan panjang tentang moving baseline yang seringkali mengaburkan ambisi yang sebenarnya. Dengan target absolut dan penetapan tahun dasar 2019—ini adalah langkah cerdas yang selaras dengan tuntutan Global Stocktake (GST) pertama dan standar pelaporan global—Indonesia kini menyajikan komitmennya dalam bahasa universal transparansi. Dunia kini dapat melihat, mengukur, dan memverifikasi kemajuan Indonesia dengan akuntabilitas yang jauh lebih tinggi. Ini adalah fondasi dari kredibilitas yang perlu diapresiasi.
Kekuatan ini lalu diperluas dengan cakupan inventarisasi emisi yang lebih komprehensif. Inklusi gas rumah kaca seperti HFC, serta pengakuan atas emisi dari sub-sektor hulu minyak dan gas, menunjukkan pemahaman yang lebih dalam dan jujur terhadap profil emisi kita. Lebih lanjut, pengakuan eksplisit terhadap potensi Blue Carbon dari ekosistem mangrove dan lamun, serta serapan karbon dari Harvested Wood Products (HWP), membuka jalan bagi Indonesia untuk memonetisasi dan mengelola kekayaan alamnya yang unik secara lebih berkelanjutan.
Kematangan SNDC tidak hanya terletak pada aspek-aspek teknis. Secara strategis, dokumen ini berhasil melakukan apa yang gagal dilakukan oleh banyak negara, yaitu mengarusutamakan agenda iklim ke dalam jantung perencanaan pembangunan nasional. Keselarasan yang ditenun secara cermat dengan RPJMN 2025–2029, RPJPN 2025–2045, LTS-LCCR 2050, dan bahkan Asta Cita, adalah sebuah sinyal kuat. Ini mengomunikasikan bahwa aksi iklim bukan lagi agenda sektoral atau beban lingkungan yang terpisah, melainkan telah menjadi bagian integral dari strategi Indonesia untuk mencapai kemakmuran, ketahanan, dan keadilan sosial. Penguatan pilar adaptasi sebagai elemen yang setara dengan mitigasi, serta artikulasi bab khusus mengenai Transisi yang Berkeadilan (Just Transition), mengukuhkan pemahaman holistik ini. Indonesia secara tepat mengakui bahwa dekarbonisasi adalah sebuah transformasi sosial-ekonomi yang harus dikelola secara adil dan inklusif.
Masih Perlu Perbaikan
Meskipun fondasi itu terbilang kokoh, sebuah analisis yang jujur dan konstruktif harus berani menyoroti area-area di mana fondasi tersebut belum sepenuhnya menopang sebuah rencana implementasi yang kokoh. Sebagai cetak biru, beberapa bagian juga masih belum tergambar secara detail bila dibandingkan bagian yang lain. Di sinilah letak peluang perbaikan terbesar kita. Kesenjangan paling kentara terletak pada ambisi di sektor energi. Ada semacam diskoneksi antara kecanggihan metodologi SNDC dengan moderasi target di sektor yang menjadi kontributor emisi terbesar ini. Projeksi emisi sektor energi yang masih terus meningkat signifikan hingga 2030-an, ditambah target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang oleh banyak pihak dianggap konservatif (27-33% pada 2035), masih mengirimkan sinyal yang ambigu ke pasar dan investor.
Target emission peak nasional pada 2030 serta peak sektor energi bahkan lebih lambat lagi, jelas tidak selaras dengan tuntutan sains jauh di bawah 2°C atau bahkan mendekati 1.5°C yang menyerukan puncak emisi global terjadi sebelum 2025. Yang lebih mengkhawatirkan adalah risiko ‘terkunci’ dalam infrastruktur fosil (carbon lock-in) akibat tidak adanya peta jalan pensiun dini (coal phase-out) PLTU yang jelas, agresif, dan benar-benar terikat waktu. Sektor energi adalah elephant in the room yang sepatutnya kita hadapi dengan ambisi yang setara dengan kecanggihan metodologi kita.
Kelemahan strategis kedua adalah ketergantungan yang sangat tinggi pada keberhasilan sektor Forest and Land Use (FOLU). Target FOLU Net Sink di tahun 2030 adalah pilar utama yang menopang seluruh arsitektur mitigasi Indonesia. Ini adalah komitmen yang visioner. Namun, menempatkan beban sebesar itu pada satu sektor sangatlah berisiko. Keberhasilan FOLU sangat rentan terhadap faktor-faktor non-permanen seperti kebakaran hutan dan lahan gambut, tantangan implementasi restorasi gambut skala besar, dan dinamika tata kelola lahan. Ketergantungan berlebih ini berpotensi mengalihkan fokus dan urgensi dari tugas dekarbonisasi di sektor energi, industri, dan transportasi. Kita perlu memastikan bahwa FOLU adalah bagian dari solusi, bukan satu-satunya solusi yang menutupi kelambanan di sektor lain.
Ironisnya, kelemahan lain justru terungkap dari kejujuran dokumen sosialisasi itu sendiri, yakni pengakuan adanya kesenjangan data fundamental. SNDC 2025 secara terbuka menyatakan bahwa ia belum mencakup emisi dari dua area krusial: pertanian dan perkebunan skala korporat (terutama sawit dan pulp & paper), serta sektor kelautan di luar ekosistem mangrove. Ini bukan sekadar celah data teknis; melainkan celah akuntabilitas yang signifikan, kalau bukan malah bisa dinyatakan keterlaluan. Tanpa mengukur emisi dari salah satu penggerak ekonomi dan sumber emisi historis terbesar, gambaran profil emisi nasional kita jelas jauh dari lengkap. Integritas SNDC menuntut kita untuk tidak menghindari, melainkan secara transparan berkomitmen untuk menutup kesenjangan ini.
Selanjutnya, mari kita bicara tentang pembiayaan. Dokumen ini mengidentifikasi kebutuhan dana yang sangat besar, mencapai USD472,6 miliar. Namun, strategi untuk mencapainya masih mengandung kerentanan. Mengategorikan seluruh skenario ambisius (LCCP-L dan LCCP-H) sebagai conditional atau bersyarat pada dukungan internasional, tanpa menyajikan skenario unconditional yang kuat dan kredibel, menempatkan kedaulatan iklim Indonesia dalam posisi yang rawan. Apa rencana kita jika dukungan tersebut tidak terwujud sesuai harapan? Dunia tidak hanya menunggu untuk melihat berapa banyak yang kita butuhkan, tetapi juga seberapa serius kita membangun pilar pendanaan domestik yang kuat. Strategi mobilisasi sumberdaya domestik—baik publik maupun swasta—jelas perlu dirinci secara lebih tajam dan operasional.
Kesenjangan ini membawa kita pada tantangan implementasi, yaitu soal tata kelola. SNDC 2025, dalam bentuknya saat ini, masih terasa sebagai dokumen yang Jakarta-sentris. Ia bersifat makro dan strategis, namun gagal memberikan mandat, pembagian peran, atau mekanisme akuntabilitas yang eksplisit kepada para aktor utama di lapangan: pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) serta sektor swasta. Padahal, deforestasi terjadi di level tapak, transisi energi berdampak pada komunitas lokal, dan adaptasi adalah urusan desa. Tanpa desentralisasi komitmen yang jelas, SNDC berisiko menjadi dokumen indah di tingkat nasional yang tidak terimplementasikan secara efektif di tingkat lokal.
Terakhir, pilar-pilar seperti adaptasi dan transisi berkeadilan, meski sudah tepat diangkat, masih lemah dalam aspek operasional. Keduanya masih terasa sebagai kerangka konseptual, namun belum menjadi rencana aksi yang terukur. Bab Adaptasi masih berupa daftar program, tanpa target kuantitatif yang jelas, seperti ‘menurunkan jumlah populasi rentan banjir rob sebesar X%’ atau ‘meningkatkan Y juta hektare lahan yang berbasis pertanian cerdas iklim’. Demikian pula, Transisi yang Berkeadilan masih terasa sebatas prinsip, tanpa peta jalan operasional, alokasi anggaran, atau skema konkret untuk reskilling puluhan ribu pekerja tambang batubara serta mekanisme benefit sharing yang adil bagi masyarakat adat penjaga hutan.
Sejumput Rekomendasi
Mengakui kesenjangan ini bukanlah untuk mengecilkan pencapaian, melainkan untuk membuka ruang perbaikan yang akan mentransformasi dokumen ini. Fondasi yang kokoh memungkinkan kita untuk memiliki bangunan yang lebih besar dan lebih tinggi. Untuk itu, pertama-tama, kita harus memertajam ambisi sektor energi. Ini berarti memasukkan komitmen eksplisit dan terikat waktu untuk coal phase-out ke dalam dokumen, serta meningkatkan target EBT dengan angka kapasitas teknis yang spesifik (misalnya, X Gigawatt tenaga surya pada 2035) agar sinyal bagi dunia usaha menjadi jelas dan bankable bagi investor.
Kedua, kita jelas perlu memerkuat tata kelola melalui desentralisasi. SNDC final harus menyertakan komitmen untuk mewajibkan pemerintah daerah menyusun Rencana Aksi Iklim Daerah yang terukur dan terintegrasi dengan SRN. Ini perlu didukung oleh badan koordinasi tingkat tinggi yang benar-benar memiliki otoritas untuk memecah silo kementerian dan memastikan akuntabilitas implementasinya di daerah.
Ketiga, pilar pendanaan harus dioperasionalkan. Ini berarti beralih dari sekadar pernyataan ‘membutuhkan’ menjadi rencana detail untuk ‘memersiapkan’. Dokumen SNDC harus mencakup peta jalan yang jelas untuk mobilisasi pendanaan domestik, termasuk skenario pajak karbon yang progresif dan reformasi subsidi fosil—yang sepantasnya mewujud sejak bertahun-tahun lampau. Yang tidak kalah penting, ia seharusnya memiliki lampiran berupa pipeline projek prioritas yang bankable dan siap ditawarkan. Ini adalah cara kita menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bukan hanya meminta dana, tetapi siap menyerap investasi.
Keempat, kita perlu menjadikan komitmen sosial Indonesia benar-benar nyata. Perdalam bab Adaptasi menjadi kerangka kerja dengan target-target kuantitatif yang spesifik. Detailkan juga bab soal Transisi yang Berkeadilan dari sekadar konsep menjadi komitmen terukur, dengan menjanjikan penyusunan peta jalan transisi yang berkeadilan yang lengkap dengan program reskilling dan dana transisi yang konkret.
Kelima, kita harus bergeser dari kelemahan data ke komitmen transparansi. Pindahkan pengakuan atas kesenjangan data (terkait di antaranya perkebunan skala besar dan kelautan) ke dalam dokumen utama SNDC, dan ikat dengan komitmen terikat waktu untuk menutup kesenjangan tersebut, misalnya dengan pernyataan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen mengintegrasikan data emisi korporasi perkebunan sebelum siklus pelaporan BTR berikutnya pada 2028.
Saya telah meminta bantuan beberapa mesin AI untuk menemukan kekuatan, ruang perbaikan, dan rekomendasi yang bisa diberikan kepada berdasarkan dokumen-dokumen yang ada, dan hasilnya—yang mungkin sudah masuk atau belum ke dalam analisis yang saya lakukan sendiri—dalam bentuk tabel ringkasan adalah sebagai berikut:
| Aspek | Kekuatan | Kesenjangan dan Risiko | Rekomendasi |
| Metodologi & Target | Peralihan ke base-year 2019 dan target absolut meningkatkan transparansi. | Target 2030 belum selaras jalur 1,5°C; belum ada target interim. | Tambahkan Enhanced Ambition Pathway dengan target puncak emisi ≤2027 dan tabel perbandingan berbasis IPCC. |
| Sektor Energi | Ada rencana sektoral dan bauran EBT 27–33% (2035). | Bauran terlalu rendah; risiko terkunci batubara. | Buat coal-phase-down roadmap; percepat pensiun PLTU; tetapkan target EBT 40 GW PV, 10 GW angin, 5 GW penyimpanan pada 2035. |
| FOLU & Blue Carbon | Komitmen Net Sink 2030 kuat. | Risiko kebakaran, deforestasi, dan masalah tenurial. | Tetapkan indikator tahunan; buat buffer konservatif; kembangkan MRV blue carbon dan results-based finance. |
| MRV & SRN/SRUK | Ada kerangka registri karbon nasional. | Prosedur teknis dan verifikasi independen belum lengkap. | Percepat regulasi turunan; akreditasi verifikator; wajib audit pihak ketiga; publikasikan data MRV secara terbuka. |
| Pembiayaan / MoI | Estimasi kebutuhan investasi transparan. | Ketergantungan tinggi pada pendanaan luar negeri. | Buat rencana pembiayaan terperinci; tetapkan target domestik 30%; bangun fasilitas blended finance dan carbon pricing roadmap. |
| Adaptasi & L&D | Integrasi adaptasi melalui SIDIK dan ProKlim. | Masih deskriptif dan kurang indikator outcome dan impact. | Tetapkan target adaptasi kuantitatif; buat National Adaptation Plan Roadmap dengan indikator outcome dan impact. |
| Governance & Subnasional | Selaras dengan RPJMN dan LTS. | Peran pemda belum eksplisit. | Wajibkan pembuatan Rencana Aksi Iklim Daerah yang mendetail; alokasikan 30% pembiayaan melalui APBD; bentuk Dewan Pengawas Independen. |
| Just Transition & Sosial | Bab transisi adil dan gender sudah ada. | Belum disertai roadmap dan skema perlindungan sosial. | Buat Just Transition Roadmap; program reskilling 100 ribu pekerja; dana transisi berkeadilan; FPIC wajib. |
| Data & Modelling | Pengakuan atas celah data positif. | Banyak subsektor belum terukur; model belum integratif. | Bentuk Gugus Tugas Data Iklim; bangun national modelling platform lintas sektor. |
| IPPU & Limbah | Sektor sudah disertakan. | Target teknis belum kuat. | Tetapkan standar efisiensi; percepat HFC phase-down; perluas EPR dan green procurement. |
| Transparansi & Akuntabilitas | Integrasi SRN dengan sistem pelaporan lain. | Publikasi data belum rutin dan audit eksternal belum jelas. | Buat public dashboard, laporan tahunan independen, dan wajibkan Climate Budget Tagging di semua kementerian dan instansi di daerah. |
| Agenda Penyempurnaan | Pengakuan atas keterbatasan. | Belum ada peta perbaikan eksplisit. | Tambahkan agenda penyempurnaan berkesinambungan dengan milestone dan pembaruan tiap enam bulan. |
*****
Sebagai kesimpulan, SNDC Indonesia 2025 adalah sebuah keberhasilan metodologis yang telah meletakkan kerangka transparansi kelas dunia. Ini adalah sebuah hasil yang patut dibanggakan. Namun, bagi saya, ujian sesungguhnya bagi sebuah komitmen iklim bukanlah keindahan kerangkanya, melainkan kejelasannya untuk memandu implementasi.
Dengan mengadopsi penguatan ini—memertajam ambisi transisi energi, memberi mandat pada pemerintah daerah, mengoperasionalkan pendanaan domestik, dan membuat target adaptasi serta keadilan menjadi terukur—Indonesia memiliki peluang emas untuk tampil baik di COP30 kelak. Tetapi untuk itu kita masih perlu mengubah SNDC ini dari sebuah pernyataan niat yang kuat menjadi sebuah rencana aksi yang kredibel dan transformatif. Ini tidak saja menjadi jalan bagi Indonesia untuk memenuhi kewajibannya sebagai warga global, melainkan juga mengambil posisi yang layak sebagai pemimpin iklim sejati di panggung global. Kita perlu menunjukkan kepada dunia bagaimana sebuah negara kepulauan besar mampu menavigasi transisi yang kompleks menuju masa depan yang adil, makmur, dan berkelanjutan.
Depok, 27 Oktober 2025
Leave A Comment