Oleh : T.H. Hari Sucahyo *
Sampah organik menjadi permasalahan yang terus berulang dalam kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, limbah ini begitu melimpah, berasal dari rumah tangga, restoran, pasar tradisional, hingga industri makanan. Namun, di sisi lain, pengelolaannya masih jauh dari ideal. Ironisnya, sampah organik yang seharusnya lebih mudah terurai justru sering berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), menumpuk tanpa solusi konkret.
Paradoks ini semakin diperparah oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan yang lemah, kurangnya kesadaran masyarakat, serta keterbatasan fasilitas pengolahan yang memadai, yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan limbah. Di kota-kota besar, produksi sampah organik mencapai angka yang mengkhawatirkan. Setiap hari, ribuan ton limbah makanan dan bahan organik lainnya dibuang begitu saja.
Rumah tangga menjadi penyumbang terbesar, diikuti oleh sektor bisnis seperti restoran dan pasar tradisional. Sering kali, makanan yang masih layak konsumsi pun terbuang karena sistem distribusi dan konsumsi yang tidak efisien. Padahal, jika dikelola dengan baik, sampah organik bisa menjadi sumber daya berharga seperti kompos atau biogas, yang pada akhirnya bisa mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan bahan bakar fosil.
Namun, kurangnya sistem pengelolaan terpadu membuat upaya ini sulit untuk dilakukan secara luas. Kebijakan terkait pengelolaan sampah organik di Indonesia telah ada, tetapi penerapannya masih jauh dari harapan. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi tentang pengelolaan sampah, termasuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Regulasi ini mengamanatkan pengurangan sampah di sumbernya, namun implementasinya masih menghadapi berbagai kendala. Banyak daerah belum memiliki sistem pengolahan sampah yang terintegrasi, ditambah lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan limbah. Akibatnya, sebagian besar sampah tetap berakhir di TPA dengan metode open dumping atau landfill yang tidak ramah lingkungan, mempercepat laju produksi gas metana yang berkontribusi terhadap pemanasan global.
Selain itu, kebijakan ini kerap terhambat oleh kepentingan bisnis tertentu yang lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek dibandingkan keberlanjutan lingkungan. Kurangnya fasilitas dan infrastruktur pengolahan sampah menjadi hambatan utama dalam menemukan solusi yang lebih efektif. Composting dan pengolahan sampah menjadi energi alternatif seperti biogas masih belum menjadi arus utama.
Teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung pengelolaan sampah organik sering kali masih terbatas pada skala kecil atau hanya dilakukan oleh komunitas tertentu. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung memang sudah memiliki beberapa program percontohan, tetapi skalanya belum cukup besar untuk memberikan dampak yang signifikan. Selain itu, investasi dalam teknologi pengolahan sampah masih dianggap tidak menguntungkan bagi sektor swasta, sehingga insentif untuk mengembangkan inovasi di bidang ini cenderung minim.
Masyarakat sebagai salah satu aktor utama dalam rantai pengelolaan sampah juga menghadapi tantangan tersendiri. Kesadaran tentang pentingnya memilah sampah masih rendah, terutama dalam pemisahan sampah organik dan anorganik. Hal ini terjadi karena berbagai alasan, mulai dari minimnya edukasi, kurangnya sosialisasi kebijakan, hingga anggapan bahwa usaha memilah sampah tidak memberikan dampak nyata jika sistem pengelolaan di tingkat kota tetap tidak memadai.
Bahkan, ketika ada individu atau kelompok yang berinisiatif memilah sampah, ketiadaan fasilitas daur ulang yang terintegrasi membuat usaha mereka terasa sia-sia. Kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya budaya konsumtif yang mendorong pola hidup serba instan dan menghasilkan lebih banyak limbah organik tanpa tanggung jawab terhadap dampaknya.
Di beberapa negara, pengelolaan sampah organik telah menjadi prioritas utama dengan berbagai inovasi yang diterapkan. Misalnya, di beberapa kota di Jepang dan Korea Selatan, pemerintah mewajibkan warga memilah sampah sejak dari rumah dan menerapkan sistem insentif bagi mereka yang patuh. Selain itu, regulasi yang ketat membuat pelanggaran terhadap aturan pengelolaan sampah dikenai denda tinggi, sehingga masyarakat lebih disiplin dalam menerapkan kebijakan ini.
Sementara di negara-negara Skandinavia, sampah organik banyak diolah menjadi energi listrik melalui teknologi bio digester. Hal ini menunjukkan bahwa dengan regulasi yang jelas, sistem yang efektif, serta dukungan teknologi yang memadai, pengelolaan sampah organik dapat menjadi peluang untuk menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan, bukan sekadar masalah yang terus berlarut-larut.
Di Indonesia sendiri, beberapa komunitas telah berupaya mencari solusi alternatif. Gerakan seperti bank sampah dan composting berbasis komunitas mulai banyak dikembangkan. Misalnya, ada beberapa komunitas yang mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos untuk digunakan kembali di pertanian perkotaan. Namun, tanpa dukungan penuh dari pemerintah dan kesadaran luas dari masyarakat, inisiatif ini tetap sulit berkembang dalam skala besar.
Diperlukan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk mempercepat adopsi teknologi dan metode yang lebih berkelanjutan dalam pengelolaan sampah organik. Kesadaran masyarakat harus dibangun melalui edukasi yang lebih masif dan berbasis pada pendekatan yang efektif. Kampanye memilah sampah seharusnya tidak hanya menjadi slogan, tetapi juga diterapkan dengan mekanisme yang jelas.
Program-program insentif seperti pengurangan pajak atau subsidi bagi mereka yang berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah bisa menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Selain itu, inovasi teknologi harus lebih banyak didorong agar pengolahan sampah organik tidak lagi menjadi sesuatu yang sulit dan mahal. Upaya membangun kebiasaan sejak dini melalui pendidikan di sekolah juga perlu dilakukan agar generasi mendatang lebih sadar akan pentingnya pengelolaan sampah.
Permasalahan sampah organik bukanlah isu yang dapat diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Diperlukan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, komunitas, dan individu untuk menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah membangun infrastruktur yang memadai, menerapkan kebijakan yang lebih ketat dan realistis, serta mengedukasi masyarakat agar lebih peduli terhadap limbah yang mereka hasilkan setiap hari.
Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, paradoks sampah organik bisa diubah menjadi peluang yang memberikan manfaat bagi lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara lebih luas. Jika tidak ada upaya serius untuk mengatasi permasalahan ini, kita hanya akan terus terjebak dalam siklus limbah yang merugikan semua pihak.
__________
* Peminat bidang Keutuhan Ciptaan dan Keanekaragaman Hayati
Penggagas Forum Grup Diskusi “BENIH”
Leave A Comment