Rabu 31 Januari 2024 – Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Perpres Carbon Capture and Storage (Perpres CCS) baru saja disahkan Selasa, 30 Januari 2024.

Penyusunan Perpres ini telah menjadi perhatian banyak kalangan, mengingat CCS kerap dianggap memegang peranan strategis dalam transisi energi. Namun, tingginya risiko lingkungan, termasuk pembelajaran dari negara lain, terus menjadi perhatian.

Bahkan Perpres ini mengakui adanya kemungkinan dampak CCS pada kerusakan lingkungan, bahaya terhadap manusia, hingga, kontaminasi air tanah.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berpendapat bahwa mendorong CCS tanpa peta jalan yang jelas terkait pemensiunan energi fosil, khususnya PLTU batu bara, justru mengaburkan masa depan transisi energi Indonesia.

Penggunaan CCS yang akan difokuskan pada kegiatan hulu minyak dan gas bumi, juga akan berpotensi membuka keran penggunaan minyak dan gas bumi sebagai alternatif batu bara, yang mempersempit ruang bagi pengembangan energi terbarukan serta bertentangan dengan semangat transisi menuju energi bersih dan berkeadilan.

“Saat ini Indonesia masih belum memiliki peta jalan yang jelas terkait pemensiunan PLTU batubara. Pun, regulasi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.

Adanya Perpres ini dikhawatirkan akan mengaburkan masa depan transisi energi kita karena akan memperpanjang umur bahan bakar fosil, termasuk melalui penggunaan gas yang bukan merupakan jawaban dari transisi energi”, pungkas Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL.

Disamping itu, terdapat hal-hal yang patut untuk dikritisi dalam Perpres CCS: Pertama, Penerapan CCS belum memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Prinsip ini mengharuskan pembuktian bahwa CCS memiliki dampak yang sangat minim terhadap kesehatan, keselamatan manusia, dan lingkungan hidup untuk dapat beroperasi. Sayangnya, prinsip kehati-hatian ini masih minim dipertimbangkan dalam penyelenggaraan CCS, seperti pada saat penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon yang belum mempertimbangkan risiko lingkungan, kesehatan, dan keamanan. Padahal, CCS memiliki risiko lingkungan dan sosial yang tinggi serta berlangsung dalam jangka panjang.

Kedua, penyelenggaraan CCS minim partisipasi publik. Partisipasi masyarakat baru dimulai dan terbatas pada proses persetujuan lingkungan, dimana sudah terlampau terlambat bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dan mengajukan keberatan. Mengingat risiko yang tinggi dari penggunaan CCS, masyarakat seharusnya berhak untuk memperoleh informasi dan terlibat aktif sejak awal proses penyelenggaraan CCS, bahkan sejak penyiapan dan penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon.

Ketiga, Penerapan CCS masih belum memiliki langkah strategis untuk pemulihan lingkungan jika risiko lingkungan terjadi. Walaupun regulasi ini telah mewajibkan Kontraktor dan Pemegang Izin Operasi Penyimpanan untuk melakukan monitoring dalam jangka waktu 10 tahun pasca penutupan CCS, patut digarisbawahi bahwa risiko dan bahaya lingkungan tetap dapat terjadi di luar jangka waktu tersebut. Sayangnya, mekanisme pertanggungjawaban apabila risiko ini terjadi di luar jangka waktu tersebut tidak dijelaskan. Termasuk bagaimana tanggung jawab dan strategi untuk memulihkan karbon yang lepas jika kebocoran terjadi. Justru, regulasi ini memuat kerancuan pertanggung jawaban atas pelepasan karbon seperti dalam hal terjadi kebocoran selama pengangkutan karbon lintas negara, di mana kebocoran tersebut tidak tercatat dalam inventarisasi gas rumah kaca Indonesia. “Perpres ini memang mengatur adanya penempatan dana jaminan pelaksanaan operasi penyimpanan karbon, jaminan pasca operasi, serta dana jaminan monitoring. Namun jika dicermati, dana jaminan tersebut diperuntukan untuk perbaikan kejadian selama operasi, biaya untuk penutupan kegiatan CCS dan monitoring dalam jangka waktu 10 tahun pasca penutupan CCS. Hal ini tentunya belum cukup, karena risiko CCS ini berlangsung dalam jangka waktu yang sangat jangka panjang. Kami juga mempertanyakan, jika risiko ini terjadi di luar waktu tersebut, mekanisme pertanggungjawaban dan pemulihan seperti apa yang akan dibangun?.” ujar Syaharani, Peneliti ICEL.

Keempat, pengembangan CCS juga menimbulkan kekhawatiran yang signifikan terhadap perlindungan generasi yang akan datang. Dengan berbagai insentif yang diberikan regulasi ini kepada pengembangan CCS dan minimnya kerangka pengaman, pengembangan CCS justru akan mengalihkan pertanggungjawaban atas kerusakan jangka panjang yang timbul dari operasi maupun dampak iklim karena keberlanjutan penggunaan energi fosil kepada generasi yang akan datang. Pengalihan tanggung jawab ini dilakukan dengan pembebanan penurunan emisi yang terlampau besar dan pemulihan yang masif di masa mendatang. “Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip keadilan antar generasi sebagaimana diakui dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjamin keberlanjutan kondisi dan sumber daya lingkungan untuk dimanfaatkan oleh generasi yang akan datang.” pungkas Syaharani. —

Narahubung:

Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL, anindagrita@icel.or.id Syaharani, Peneliti ICEL, syaharani@icel.or.id ICEL (+62 813‑8277‑7068) 2