Oleh: Wahyu Eka Styawan*
Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Karena kita tahu bahwa negara ini terletak di wilayah rawan bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Apalagi hampir sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dataran rendah, tentu hal ini membuatnya sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut. Tidak hanya itu perubahan iklim juga memengaruhi pertanian, kehutanan, dan perikanan Indonesia, yang merupakan sumber penghidupan utama bagi banyak orang Indonesia. Perubahan ini berpotensi menyebabkan kekurangan pangan dan air, serta gangguan ekonomi dan sosial.
Salah satu yang dapat dilihat dari ganasnya perubahan iklim di Indonesia adalah intensitas bencana yang semakin sering, WALHI sendiri mencatat di Pulau Jawa sendiri ada sekitar 1839 kejadian bencana iklim atau 51,8 persen dari total 3545 kejadian bencana nasional. Rekaman bencana ini dapat dibaca dalam buku hasil riset dari Koalisi Maleh Dadi Segoro, seperti Banjir Sudah Naik Seleher, lalu Maleh dadi Segoro; Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak dan terakhir Laporan Investigasi Banjir Jawa Tengah Akhir 2022 – Awal 2023: Pemerintah “Hanya Lihat-Lihat.” Semua laporan itu menjabarkan betapa ngerinya dampak perubahan iklim yang disebabkan salah urus tata ruang, aneka ekstraksi ekosistem dan rendahnya political will pemerintah.
Perubahan Iklim Membuat Perkotaan Rentan
Rekaman-rekaman Koalisi Maleh Dadi Segoro hampir sebagian besar melihat pada wilayah urban Semarang dan penyangganya seperti Demak. Tentu, hal ini membuktikan jika perubahan iklim dapat berdampak signifikan bagi penduduk perkotaan. Tidak hanya banjir yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan merusak infrastruktur, sebagaimana catatan riset. Tetapi, perubahan iklim yang sangat terasa dampaknya pada penduduk ialah naiknya suhu wilayah. Hal tersebut dapat menyebabkan tekanan panas dan penyakit yang berhubungan dengan panas, lalu peningkatan frekuensi peristiwa cuaca ekstrem seperti gelombang panas dan kekeringan.
Kita tahu sendiri jika wilayah perkotaan memiliki kecenderungan menjadi lebih panas, di mana lingkungan buatan dan kurangnya ruang hijau dapat memperkuat efek panas. Selain itu, polusi udara yang menyebabkan kualitas udara yang buruk, seringkali lebih buruk di daerah perkotaan, dapat diperparah oleh perubahan iklim. Hal tersebut juga berdampak signifikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan penduduk perkotaan, terutama mereka yang sudah rentan karena kemiskinan atau faktor kesehatan sosial lainnya, seperti yang diceritakan oleh Girard dan Nocca (2020) dalam penelitiannya berjudul “Climate Change and Health Impacts in Urban Areas: Towards Hybrid Evaluation Tools for New Governance.”
Psikologis Anak Muda Perkotaan Terganggu
Dampak yang paling terasa dari perubahan iklim, khususnya di wilayah perkotaan adalah persoalan psikologis. Karena salah satu dampak perubahan iklim dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, gangguan post traumatic stress disorder (PTSD), dan kesulitan emosional dan psikologis lainnya, seperti yang disampaikan dalam artikel “Psychological Impacts of Global Climate Change” yang ditulis oleh Doherty (2011).
Penjelasannya logisnya yakni, banyak dari kita terutama yang tinggal di perkotaan mungkin merasa khawatir tentang dampak potensial dari peristiwa cuaca ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan fenomena terkait iklim lainnya di rumah, komunitas, dan orang yang mereka cintai. Mereka mungkin juga merasakan ketidakberdayaan dan keputusasaan saat menyaksikan kehancuran alam dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Selain itu, hampir dari sebagian dari kita mungkin mengalami kecemasan karena mereka mempertimbangkan potensi konsekuensi jangka panjang dari perubahan iklim, seperti kekurangan makanan dan air, meningkatnya persaingan untuk sumber daya, dan migrasi paksa. Perubahan iklim juga dapat memperburuk ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang ada, yang selanjutnya dapat berkontribusi pada perasaan cemas dan stres.
Persoalan di atas paling tidak hampir rata dirasakan oleh anak muda di Perkotaan. Sebab akhir-akhir ini kecemasan akan perubahan iklim menjadi perhatian yang berkembang di kalangan anak muda, karena mereka menghadapi kenyataan dunia yang berubah dengan cepat dan konsekuensi potensial dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Apa yang dirasakan anak muda ini dapat dilihat dalam riset berjudul “Young people’s climate anxiety revealed in landmark survey” yang ditulis oleh Thompson (2021).
Bagi anak muda, kecemasan ini dapat berwujud dalam berbagai bentuk, termasuk perasaan takut, putus asa, dan tidak berdaya. Banyak anak muda mungkin juga merasa bahwa mereka tidak didengarkan atau kekhawatiran mereka tidak dianggap serius oleh generasi yang lebih tua. Penting bagi orang dewasa dan pemimpin untuk mendengarkan keprihatinan kaum muda dan bekerja sama untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
Anak Muda Perlu Bertindak
Sebagai penutup, melihat persoalan demikian, memang seharusnya ada beberapa aksi yang dapat diambil oleh anak muda. Salah satunya yakni belajar atau mencari informasi tentang perubahan iklim dan potensi dampaknya. Memahami ilmu di balik perubahan iklim dapat membantu mengurangi perasaan takut dan tidak berdaya. Anak muda juga perlu untuk berlatih perawatan diri dan menjaga kesehatan mental mereka. Aliran berita yang terus-menerus tentang iklim bisa membuat kewalahan, jadi penting untuk meluangkan waktu untuk perawatan diri dan relaksasi.
Karena itu, kita perlu mencari solusi dan secara aktif bekerja menuju masa depan yang berkelanjutan. Alih-alih merasa terbebani oleh skala masalah, fokuslah pada apa yang bisa dilakukan dan secara aktif bekerja menuju solusi. Penting untuk dicatat bahwa persoalan ini bukan hanya tanggung jawab kaum muda tetapi berlaku untuk semua orang, terutama untuk mengambil tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagai sebuah aksi.
–##–
* Wahyu Eka Styawan adalah Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur
[…] post Perubahan Iklim, Rentannya Kota dan Kecemasan Anak Muda appeared first on Situs Hijau […]