Oleh: Swary Utami Dewi *
“Jika ada tikus yang nakal, jangan bakar lumbung padinya…,” batinku menyikapi kesinisan segelintir orang yang kerap menyuarakan nada miring tentang Perhutanan Sosial. Karena belum berhasil satu dua praktik di tingkat tapak, lalu ada pendapat yang meragukan Perhutanan Sosial secara keseluruhan.
“Jika rakyat miskin disediakan akses lahan, namun mereka tidak punya modal untuk tanam, lalu nanti akan jadi apa?”
“Yang ditanam malah tanaman tertentu, yang makin merusak.”
“Tunjukkan di mana Perhutanan Sosial yang berhasil.”
Dan sebagai. Dan sebagainya…
Tak apalah. Aku tahu dan sadar bahwa dalam setiap program selalu ada pro-kontra. Untuk itu, secara positif, aku berusaha melihat ini sebagai reminder untuk perbaikan Perhutanan Sosial.
Meski demikian, aku ingin mengingatkan lagi pentingnya Perhutanan Sosial bagi Indonesia. Paling tidak, ada tiga alasan mendasar.
Pertama, urusan Perhutanan Sosial ini adalah urusan urgent. Mengapa demikian? Yang diurus dalam Perhutanan Sosial ini adalah notabene masyarakat miskin yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Data sampai kini menunjukkan bahwa sepertiga masyarakat miskin di Indonesia bermukim di wilayah tersebut. Maka, Perhutanan Sosial berpotensi tinggi menyumbang pada pengentasan kemiskinan di negeri ini.
Kedua, Perhutanan Sosial, sebagai gerakan pemberdayaan dan penguatan masyarakat, boleh jadi “baru” digaungkan oleh masyarakat sipil semenjak 1990an. Lalu sesudah reformasi, pada awal 2000-an, Departemen Kehutanan (saat itu) membentuk Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS), diikuti keluarnya beberapa Peraturan Menteri Kehutanan terkait lainnya (Permenhut Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat).
Kemudian, semenjak 2015 dalam konteks “corrective action”, kebijakan Perhutanan Sosial makin mendapatkan momentum, pengakuan dan dukungan strategis dari Pemerintah. Meski demikian, perlu dipahami, berbagai praktik Perhutanan Sosial dalam masyarakat, sudah lama ada dan dijalankan oleh jutaan petani dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Praktik ini dilakukan secara lestari dan berkelanjutan, bahkan banyak yang sudah turun temurun bergenerasi. Praktik tersebut memiliki istilah lokal yang berbeda-beda.
Beberapa contohnya: karang kitri (Jawa Tengah dan Jawa TImur), talun (Jawa Barat), tembawang (Kalimantan Barat), simpunk (Kalimantan Timur), bahuma (Kalimantan Tengah), baumo (Jambi), talang (Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan), repong (Lampung), hutan kemenyan (Sumatera Utara), parak (Sumatera Barat) dan kobong (Maluku Utara).
Keragaman dan kekayaan praktik Perhutanan Sosial di berbagai tempat tersebut menunjukkan bahwa ia bukan ujuk-ujuk ada. Perhutanan Sosial merupakan bagian dari budaya, tradisi, martabat dan ciri dari Indonesia yang beragam.
Ketiga, dalam era yang kerap masih melihat ekonomi ekstraktif sebagai yang utama, Perhutanan Sosial menawarkan nuansa berbeda. Ia menawarkan praktik yang menggabungkan dimensi ekonomi, ekologi dan sosial. Inilah yang bisa jadi menjadi pendekatan baru dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat marjinal.
Ekonomi di sini betul berarti peningkatan kesejahteraan. Tapi dalam Perhutanan Sosial, bukan kesejahteraan manusia semata yang ditingkatkan. Sifat sejahtera ini adalah sejahtera yang berjalan beriringan dengan perbaikan kondisi dan keberlanjutan ekologi.
Lalu, jangan dilupakan unsur sosialnya. Dalam hal ini, sosial memiliki makna agar tidak hanya satu dua elit atau segelintir orang saja yang menjadi lebih baik, sejahtera dan terangkat martabatnya. Yang menjadi lebih baik itu harus seluruh anggota kelompok, masyarakat setempat, bahkan mereka yang ada di sekitar lokasi.
Tentu saja masih ada alasan-alasan terkait lainnya. Namun tiga itu saja cukuplah menjadi dasar untuk menunjukkan pentingnya Perhutanan Sosial di Indonesia. Jadi ketimbang selalu bersuara sumbang, lebih baik memberikan masukan kritis agar Perhutanan Sosial bisa menjadi makin baik dan kokoh.
–##–
* Swary Utami Dewi adalah Anggota TP3PS, Pendiri NARA dan KBCF, Climate Leader
Leave A Comment