Hingga saat ini, janji aksi iklim oleh pemerintah – bahkan jika tercapai sepenuhnya – masih jauh dari target untuk mencapai “net zero emissions” di 2050. Pencapaian target ini penting guna membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5° C. Hal ini terungkap dalam laporan baru International Energy Agency (IEA) berjudul “Net Zero by 2050: a Roadmap for the Global Energy Sector” yang dirilis hari ini, Selasa, 18 Mei 2020.
“Net zero” atau “net zero emissions” adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Laporan IEA memaparkan secara detil bagaimana cara dunia bertransisi ke sistem energi bersih guna mencapai target “net zero emissions” pada 2050.
Hal ini bisa dilakukan sambil memastikan pasokan energi yang stabil dan terjangkau untuk semua, pasokan energi yang tetap memungkinkan pertumbuhan ekonomi dunia. Tidak hanya memaparkan strategi yang optimistis, IEA juga mengkaji ketidakpastian di sektor energi, termasuk peran bioenergi, teknologi penangkapan karbon, dan perubahan perilaku dalam mencapai target “net zero emissions”.
Pemodelan energi IEA menjabarkan lebih dari 400 “peta jalan” guna memandu dunia mencapai target “net zero emissions” pada 2050. Peta-peta jalan tersebut harus diterapkan dalam waktu dekat, dikombinasikan dengan pemanfaatan semua teknologi energi bersih dan efisien yang ada saat ini secara masif, seiring dengan upaya mempercepat inovasi global.
Peta-peta jalan tersebut diantaranya adalah: mulai hari ini, dunia harus berhenti berinvestasi di proyek pasokan bahan bakar fosil baru. Hal ini berarti tidak ada lagi investasi di ladang minyak atau gas alam baru, termasuk investasi di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Pada tahun 2035, tidak ada lagi penjualan mobil penumpang berbahan bakar fosil. Dunia juga harus menambah kapasitas energi surya hingga 630 Gw (gigawatt) dan tenaga angin mencapai 390 Gw pada tahun 2030.
Melalui strategi-strategi tersebut, IEA memprediksi, sektor kelistrikan global akan mencapai target “net zero emissions” pada 2040 atau lebih cepat satu dekade.
Peran Efisiensi Energi
Dorongan untuk meningkatkan efisiensi energi juga merupakan bagian penting dari upaya mencapai target “net zero emissions” ini. Rata-rata efisiensi energi global harus naik menjadi 4% per tahun hingga 2030 – sekitar tiga kali lipat di atas rata-rata efisiensi energi dunia selama 20 tahun terakhir.
Dari sinilah perubahan perilaku menuju gaya hidup hemat energi sangat berperan. Semua orang bisa turut beraksi dalam menghemat energi.
Sebagian besar aksi pengurangan emisi CO2 global saat ini hingga tahun 2030, menurut IEA akan menggunakan teknologi yang ada sekarang. Namun pada tahun 2050, hampir 50% pengurangan emisi akan berasal dari teknologi yang saat ini masih pada tahap demonstrasi atau prototipe. Hal ini menggarisbawahi peran penting inovasi terus berkembang.
IEA menuntut pemerintah untuk segera meningkatkan dan memprioritaskan kembali penelitian dan pengembangan teknologi energi bersih sebagai inti dari kebijakan energi dan kebijakan mengatasi perubahan iklim. Teknologi baterai, energi hidrogen, serta teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon adalah teknologi yang paling berpeluang untuk maju.
Semua upaya transisi di atas, menurut IEA bisa dilakukan seiring upaya dunia menyediakan energi bersih bagi sekitar 785 juta orang yang tidak memiliki akses listrik dan 2,6 miliar orang yang masih memasak menggunakan energi kotor. Biayanya mencapai $40 miliar per tahun, hanya sekitar 1% dari rata-rata investasi tahunan di sektor energi. Aksi ini juga mampu menurunkan polusi udara dalam ruangan, mencegah 2,5 juta kematian dini setiap tahun.
Menurut analisis IEA dan IMF, total investasi energi tahunan akan melonjak menjadi $5 triliun pada tahun 2030 guna mencapai target “net zero emissions”. Pengeluaran swasta dan pemerintah juga akan meningkat seiring upaya mereka menciptakan jutaan pekerjaan di bidang energi bersih, termasuk di bidang efisiensi energi, di industri teknik, manufaktur, dan konstruksi. Dampaknya, menurut IEA, Produk Domestik Bruto dunia akan naik 4% pada tahun 2030 dibanding tren saat ini.
Pada 2050, dunia energi menurut IEA juga akan terlihat sangat berbeda. Permintaan energi global akan turun 8% walau harus melayani ekonomi yang dua kali lipat lebih besar dengan populasi 2 miliar lebih banyak. Hampir 90% pembangkit listrik berasal dari sumber terbarukan, dengan tenaga angin dan panel surya memasok hampir 70%. Sebagian besar sisanya berasal dari tenaga nuklir.
Sementara itu, pasokan bahan bakar fosil akan anjlok dari 80% saat ini menjadi sedikit di atas 20%. Bahan bakar fosil tidak lagi akan digunakan di sektor energi, namun lebih banyak dipakai untuk memproduksi barang-barang yang sarat karbon seperti plastik. Sisanya dimanfaatkan di fasilitas yang memiliki teknologi penangkap karbon dan sektor-sektor lain di mana pilihan teknologi rendah emisi masih langka.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment