Menyelamatkan hutan mangrove yang tersisa penting guna melindungi alam dan kemanusiaan.

Kesimpulan ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “Securing the Future of Mangroves” yang dirilis oleh United Nations University – Institute for Water, Environment and Health (UNU-INWEH), Rabu (14/11).

Para peneliti menyatakan, pembangunan tambak atau fungsi-fungsi yang lain di lokasi hutan mangrove merusak manfaat ekonomi dari hutan mangrove pada masa datang.

Hutan mangrove sebagian besar terletak di wilayah tropis. Luas hutan mangrove hanya 1% dari luas seluruh wilayah hutan dunia. Sebanyak 70 spesies mangrove ditemukan di 123 wilayah dan negara tropis serta sub-tropis dengan luas total hanya 152,000 km2 – sedikit lebih besar dari wilayah Nepal.

Walau kecil, wilayah yang juga di sebut sebagai hutan pasang surut (forest of the tide) ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi alam dan kemanusiaan.

Hutan mangrove menjadi penjaga keanekaragaman hayati, melindungi wilayah pantai dari gelombang air laut dan tempat berkembang biak ikan di sepanjang garis pantai dan lepas pantai. Hutan mangrove juga lebih efektif dalam menyimpan karbon. Hijauku.com telah menurunkan laporan mengenai hal ini.

Namun, sejak 1980, dunia telah kehilangan sekitar seperlima hutan mangrove, sementara wilayah hutan mangrove yang tersisa banyak yang sudah mengalami kerusakan. Konversi hutan mangrove menjadi wilayah pembudidayaan ikan menjadi penyebabnya.

Sekitar 38% kerusakan disebabkan oleh alih guna hutan mangrove menjadi tambak udang, sementara 14% bersumber dari praktik budi daya ikan yang lain. Buruknya perencanaan pembangunan juga menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove. Polusi industri mencemari pantai, merusak hutan mangrove dan mengurangi jumlah ikan wilayah pesisir.

“Konversi besar-besaran tersebut berdampak negatif bagi lingkungan, menghancurkan sumber perikanan alami yang menjadi sumber pangan dan ekonomi jutaan penduduk dunia,” tutur Hanneke Van Lavieren, peneliti dari United Nations University yang menyusun laporan ini.

Kerusakan hutan mangrove juga dipicu oleh tumpahan minyak, deforestasi, eksploitasi perikanan dan buruknya pengelolaan kawasan pesisir pantai.

“Tingkat kerusakan hutan mangrove dunia, tiga hingga lima kali lebih cepat dari kerusakan hutan-hutan yang lain,” ujar Dr. Mark Spalding, Senior Marine Scientist di The Nature Conservancy (TNC) yang turut menyusun laporan ini.

Perubahan iklim, menurut para peneliti, juga akan memerparah kerusakan hutan mangrove. Sekitar 5 hingga 20% dari lahan basah (wetland) di wilayah pesisir akan hilang akibat kenaikan air laut pada 2080. Kerusakan terbesar akan terjadi di wilayah Asia Pasifik (lebih dari 20%) dan wilayah Amerika Tengah. Di wilayah Afrika Timur, kerusakan hutan mangrove mencapai 8% antara tahun 1980 dan 2005.

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) kerusakan hutan mangrove di Pakistan, Honduras, Kongo, Vietnam, Sierra Leone dan El Salvador, masing-masing mencapai lebih dari 40% dari tahun 1980 ke 2005. Sementara kerusakan di Australia, Bangladesh, Kuba, Suriname, dan Prancis pada periode yang sama kurang dari 1%.

“Tingkat kerusakan di atas tergantung dari kebijakan nasional dan perlindungan hukum terhadap hutan mangrove di masing-masing negara,” ujar Zafar Adeel, Direktur UNU-INWEH yang turut menyusun laporan ini.

Redaksi Hijauku.com