Apakah Pemerintah Serius Mendorong Akuntabilitas Iklim Perusahaan di Indonesia?
Oleh: Jalal
Laporan IPCC Keenam punya pesan yang sangat jelas buat kita: Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ancaman ini bersifat eksistensial dan multidimensional. Kenaikan permukaan air laut, misalnya, tidak hanya mengancam menenggelamkan pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir padat penduduk seperti Pantai Utara Jawa, tetapi juga merusak infrastruktur vital dan mengancam sumber penghidupan jutaan nelayan dan petani tambak. Cuaca ekstrem yang semakin kerap terjadi, seperti banjir bandang dan kekeringan berkepanjangan, secara langsung mengganggu siklus tanam, memicu gagal panen, dan mengancam ketahanan pangan nasional.
Lebih jauh lagi, ekosistem terumbu karang dan hutan hujan tropis yang menjadi benteng keanekaragaman hayati dunia juga menghadapi risiko pemutihan dan degradasi yang tidak dapat diperbaiki. Sumber utama dari krisis yang semakin nyata ini adalah emisi gas rumah kaca (GRK) yang terus meningkat, dengan kontributor terbesar berasal dari sektor energi yang masih bergantung pada bahan bakar fosil, deforestasi dan degradasi lahan gambut, proses industri, serta pengelolaan limbah yang belum optimal.
Menghadapi kenyataan ini, upaya transisi menuju ekonomi rendah karbon jelas bukan lagi sebuah pilihan strategis, melainkan keharusan mutlak untuk menjamin keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan generasi mendatang. Untuk itu, diperlukan sebuah kerangka kebijakan yang kuat, komprehensif, dan mengikat untuk memandu serta memaksa seluruh pemangku kepentingan—dan menurut hemat saya—terutama sektor swasta sebagai motor utama ekonomi dan sumber emisi signifikan, untuk turut serta dalam upaya penurunan emisi GRK. Regulasi yang efektif tidak hanya berfungsi untuk menetapkan target, tetapi juga menciptakan ekosistem yang memungkinkan dan mendorong inovasi, investasi hijau, serta praktik bisnis yang bertanggung jawab secara iklim. Tanpa adanya kebijakan yang mengikat dan terukur, komitmen iklim Indonesia hanya akan menjadi wacana di panggung global tapi minim implementasi nasionalnya.
Perpres Itu Telah Tiba
Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Ada belasan WhatsApp Group yang saya ikuti langsung menyebarkan perpres itu sore tanggal 14 Oktober 2025. Regulasi ini dirancang untuk menjadi landasan hukum utama bagi implementasi berbagai instrumen kebijakan iklim di tanah air, menggantikan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 yang dinilai sudah tidak memadai untuk menjawab kompleksitas dan urgensi tantangan iklim saat ini. Siapapun yang mau mendorong perusahaan lebih bertanggung jawab atas dampak iklimnya, termasuk saya, sudah menunggu perpres ini sejak lama, dan kini masa penantian itu sudah berakhir.
Secara garis besar, Perpres ini mengatur dua pilar utama yang saling terkait: pengendalian emisi GRK secara nasional dan penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Pilar pertama, pengendalian emisi, dijabarkan melalui mekanisme yang lebih sistematis untuk mencapai target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC), yang merupakan komitmen Indonesia pada dunia internasional. Proses ini dimulai dari mandat inventarisasi emisi GRK secara berkala dan berjenjang, mulai dari tingkat nasional, sektoral (energi, kehutanan, dll.), provinsi, hingga ke level individu pelaku usaha. Berdasarkan data inventarisasi yang terkumpul, pemerintah kemudian menyusun baseline emisi—atau skenario emisi jika tanpa ada intervensi kebijakan—dan menetapkan target mitigasi yang terukur untuk setiap tingkatan. Perpres ini secara rinci menguraikan tahapan perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi aksi mitigasi di berbagai sektor kunci.
Pilar kedua adalah penyelenggaraan NEK, yang merupakan terobosan untuk menginternalisasi biaya eksternal dari emisi GRK dengan menciptakan mekanisme berbasis pasar. Tujuannya adalah memberikan nilai ekonomi pada setiap unit emisi GRK, sehingga polusi tidak lagi gratis. Instrumen NEK yang diatur mencakup empat hal utama: Perdagangan Karbon, Pembayaran Berbasis Kinerja, Pungutan Atas Karbon, dan kemungkinan instrumen lain di masa depan.
Perdagangan karbon sendiri dipecah menjadi dua skema utama. Pertama, Perdagangan Emisi (atau cap-and-trade), di mana pemerintah menetapkan batas atas emisi untuk sekelompok entitas, lalu entitas yang emisinya di bawah batas dapat menjual sisa kuotanya kepada entitas yang melebihi batas. Kedua, Offset Emisi, di mana sebuah entitas dapat ‘menebus dosa’ emisinya dengan membeli kredit karbon dari projek-projek yang terbukti berhasil mengurangi emisi di tempat lain, seperti projek energi terbarukan atau reforestasi. Untuk menjamin seluruh mekanisme ini berjalan secara transparan dan akuntabel, Perpres ini juga mengamanatkan adanya kerangka transparansi yang solid, meliputi sistem Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV) yang terstandardisasi, Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) sebagai pusat data aksi iklim, serta Sistem Registri Unit Karbon (SRUK) untuk mencatat kepemilikan dan transaksi unit karbon secara sah. Di samping itu, dibentuk pula sebuah komite pengarah lintas-kementerian untuk memberikan arahan kebijakan dan melakukan pengawasan.
Jelas, kehadiran Perpres 110/2025 patut diapresiasi karena meletakkan beberapa fondasi penting yang sebelumnya belum terlembagakan dengan baik. Kekuatan utamanya terletak pada upaya untuk menciptakan sebuah kerangka kerja yang lebih terstruktur dan terintegrasi untuk pengendalian emisi dan implementasi NEK secara nasional. Dengan mengamanatkan penyusunan baseline dan target emisi yang berjenjang dari tingkat nasional hingga provinsi, serta mewajibkan inventarisasi emisi bagi pelaku usaha, regulasi ini mendorong adanya garis akuntabilitas yang lebih jelas dan terukur dari atas ke bawah. Ini adalah perbaikan signifikan dari kebijakan sebelumnya yang cenderung terfragmentasi.
Lebih penting lagi, pengenalan berbagai instrumen NEK, terutama perdagangan karbon dan pungutan atas karbon, memberikan sinyal pasar yang jelas kepada seluruh pelaku ekonomi bahwa emisi GRK kini memiliki biaya. Prinsip polluters pay mulai dilembagakan. Sinyal harga ini berpotensi besar untuk mengubah kalkulasi bisnis, mendorong investasi dalam efisiensi energi, memacu inovasi teknologi rendah karbon, dan menjadikan energi terbarukan lebih kompetitif secara ekonomi. Kejelasan mengenai mekanisme perdagangan karbon, baik yang berlangsung di dalam negeri maupun yang terhubung dengan pasar internasional, termasuk pengakuan terhadap berbagai standar sertifikasi kredit karbon, juga memberikan kepastian hukum yang sangat dibutuhkan oleh para pelaku pasar dan investor global yang tertarik untuk menanamkan modalnya pada ekonomi hijau di Indonesia. Ini juga membuka pintu bagi aliran dana iklim internasional untuk mendukung projek-projek mitigasi di tanah air.
Masih Luasnya Ruang Perbaikan
Meskipun demikian, Perpres ini masih menyisakan sejumlah kekurangan signifikan dan ruang perbaikan yang luas, terutama dalam hal mendorong akuntabilitas iklim yang sesungguhnya dari perusahaan. Saya meminta sejumlah mesin Kecerdasan Buatan (AI) untuk menjadi devil’s advocate—menemukan ruang perbaikan serta kemungkinan penyelewengan—terhadap perpres baru ini, dan hasil agregasinya adalah sebagaimana tabel berikut ini.
Tabel 1. Ruang Perbaikan, Potensi Penyelewengan, dan Rekomendasi
Ruang Perbaikan | Potensi Penyelewengan | Rekomendasi |
1. Ketergantungan Tinggi pada Peraturan Turunan Banyak mandat krusial yang implementasinya diserahkan sepenuhnya kepada peraturan menteri, menciptakan ketidakpastian hukum. (Contoh: Pasal 62 ayat (2) tentang Tata Cara Perdagangan Emisi, Pasal 64 tentang Tata Cara Offset Emisi, dan Pasal 102 yang memberikan waktu 1 tahun untuk semua peraturan pelaksana). | Regulatory Capture dan Penundaan. Perusahaan atau asosiasi industri dapat melobi kementerian terkait untuk menunda penerbitan atau melemahkan substansi peraturan pelaksana (Peraturan Menteri), seperti menetapkan tarif pajak karbon yang terlalu rendah atau metodologi baseline yang longgar, sehingga implementasi kebijakan menjadi tidak efektif. | Pengawalan Publik dan Batas Waktu Tegas. Mendorong proses penyusunan peraturan turunan yang transparan, partisipatif, dan diawasi ketat oleh publik serta akademisi. Pemerintah perlu menetapkan dan mematuhi batas waktu yang tegas untuk penerbitan semua peraturan pelaksana agar tidak ada kekosongan hukum. |
2. Kriteria “Instalasi yang Diatur” Tidak Jelas Perpres tidak menetapkan kriteria kuantitatif untuk menentukan entitas mana yang wajib mengikuti perdagangan emisi, menyerahkan penetapannya kepada Menteri Terkait. (Lihat: Pasal 62 ayat (1) huruf a). | Pengecualian Emiter Besar. Tanpa kriteria kuantitatif yang jelas, ada risiko besar bahwa hanya sedikit perusahaan yang akan ditetapkan sebagai “Instalasi yang Diatur”. Perusahaan dengan koneksi politis kuat bisa melobi untuk dikecualikan dari kewajiban, sehingga skema perdagangan emisi hanya mencakup sebagian kecil dari total emisi nasional. | Menetapkan Ambang Batas Emisi yang Jelas. Mengamandemen Perpres atau mewajibkan dalam peraturan turunan untuk menetapkan ambang batas emisi GRK yang jelas dan non-diskresioner (contoh: fasilitas yang mengeluarkan di atas 25.000 ton CO2e per tahun) secara otomatis wajib mengikuti skema perdagangan emisi. |
3. Sanksi yang Lemah dan Tunggal Satu-satunya sanksi yang diatur secara eksplisit bagi entitas yang melampaui Batas Atas Emisi adalah kewajiban membayar pajak karbon, tanpa adanya sanksi administratif lain yang memberi efek jera. (Lihat: Pasal 63 ayat (3)). | Mentalitas “Membayar untuk Mendapat Izin Terus Melakukan Polusi”. Jika sanksi utama bagi pelanggar batas emisi hanyalah membayar pajak karbon, dan tarifnya lebih murah daripada biaya investasi teknologi bersih, perusahaan akan menganggapnya sebagai biaya operasional biasa. Ini tidak akan mendorong pengurangan emisi, melainkan hanya melegalkan polusi berlebih. | Menerapkan Sistem Sanksi Berlapis (Tiered Sanctions). Merancang sistem sanksi yang progresif, mulai dari denda finansial yang signifikan (misalnya, persentase dari pendapatan), kewajiban membeli unit karbon pengganti dengan kelipatan tertentu, pembekuan izin operasional, hingga pencabutan izin bagi pelanggar yang berulang kali tidak patuh. |
4. Pengawasan Publik yang Terbatas dalam Proses MRV Kerangka transparansi (MRV) tidak secara eksplisit mengatur mekanisme pengawasan oleh publik atau kewajiban keterbukaan data hasil verifikasi emisi perusahaan. (Lihat: Bab IV, Bagian Kedua, terutama Pasal 84 yang berfokus pada verifikator independen tanpa mandat transparansi publik). | Praktik Greenwashing. Tanpa adanya mekanisme verifikasi oleh pihak ketiga yang independen dan kredibel, perusahaan dapat dengan mudah memanipulasi data atau melaporkan informasi yang tidak akurat. Proses MRV berisiko menjadi sekadar formalitas administratif antara perusahaan dan pemerintah, bukan alat akuntabilitas yang sesungguhnya. | Mewajibkan Audit Independen dan Keterbukaan Data. Memformalkan peran auditor independen yang terakreditasi dalam proses verifikasi data emisi perusahaan. Selain itu, mewajibkan publikasi laporan MRV (yang telah disensor untuk data bisnis sensitif) agar masyarakat sipil, akademisi, dan media dapat melakukan pengawasan dan verifikasi tandingan. |
5. Penetapan Batas Atas Emisi yang Rentan Intervensi Perpres mendelegasikan penetapan Batas Atas Emisi kepada Menteri terkait tanpa memberikan kerangka atau prinsip yang mengikat (seperti berbasis sains) untuk penetapan tersebut. (Lihat: Pasal 62 ayat (1) huruf b). | Target yang Tidak Ambisius. Proses penetapan Batas Atas Emisi (cap) untuk setiap sektor dapat dipengaruhi oleh lobi industri untuk menetapkan batas yang terlalu tinggi, dekat dengan level business-as-usual. Akibatnya, perdagangan karbon hanya akan menjadi ajang jual-beli tanpa ada pengurangan emisi nyata yang terjadi. | Penetapan Batas Atas Berbasis Sains. Mewajibkan agar metodologi penetapan Batas Atas Emisi untuk setiap sektor didasarkan pada jalur dekarbonisasi yang saintifik, sejalan dengan target NDC Indonesia yang diperkuat agar benar-benar sesuai dengan komitmen Perjanjian Paris. Proses dan dasar penetapannya harus dipublikasikan secara transparan. |
Bagi saya, salah satu kelemahan paling mendasar adalah sifatnya yang masih sangat prosedural dan bergantung secara kritis pada peraturan-peraturan turunan di tingkat menteri. Banyak pasal krusial yang menjadi jantung dari efektivitas kebijakan ini—seperti tata cara detail Perdagangan Emisi, metodologi penetapan Batas Atas Emisi untuk setiap industri, besaran tarif dan mekanisme Pungutan Atas Karbon—implementasinya masih harus menunggu peraturan menteri terkait yang dijanjikan akan terbit dalam satu tahun. Walaupun memang demikian sifat regulatorinya, ketergantungan ini menciptakan periode ketidakpastian yang berisiko memerlambat implementasi efektif di lapangan dan dapat membuka celah bagi lobi industri untuk melemahkan substansi dari peraturan pelaksana tersebut.
Dari sisi akuntabilitas perusahaan, regulasi ini belum cukup kuat untuk memaksa perubahan perilaku secara menyeluruh. Mekanisme Perdagangan Emisi yang berbasis penetapan kuota, yang seharusnya menjadi instrumen paling ampuh, baru diwajibkan bagi “Instalasi yang Diatur”. Namun, kriteria untuk menetapkan siapa saja yang masuk ke dalam kategori ini tidak didefinisikan secara jelas dalam Perpres dan sepenuhnya diserahkan kepada diskresi menteri terkait. Hal ini membuka ruang bagi intervensi politis yang berpotensi melemahkan cakupan kebijakan, di mana hanya sebagian kecil dari total emiter besar yang mungkin akan diatur, sementara yang lain bebas beroperasi seperti biasa. Idealnya, harus ada ambang batas emisi (misalnya, di atas 25.000 ton CO2e per tahun) yang jelas dan berlaku umum sebagai kriteria otomatis untuk wajib ikut serta dalam skema ini.
Selanjutnya, sanksi bagi ketidakpatuhan masih tergolong lemah dan kurang memberikan efek jera. Pasal 63 hanya menyebutkan bahwa jika suatu entitas melampaui Batas Atas Emisi, ia wajib membayar pajak karbon. Ini bisa jadi tidak efektif jika tarif pajaknya terlalu rendah, sebagaimana kecenderungan yang selama ini sudah dinyatakan, sehingga perusahaan akan lebih memilih membayar denda daripada berinvestasi pada teknologi bersih. Tidak ada sanksi administratif atau penegakan hukum lain yang lebih tegas yang diatur secara eksplisit dalam Perpres ini untuk pelanggaran lainnya, seperti kegagalan melaporkan emisi secara akurat atau manipulasi data. Tanpa mekanisme penegakan yang kuat, kepatuhan cenderung bersifat sukarela.
Ruang perbaikan krusial lainnya adalah pada penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan. Meskipun ada penyebutan konsultasi publik, mekanisme pengawasan independen yang melibatkan publik, akademisi, dan NGO untuk memverifikasi laporan emisi perusahaan tidak diatur secara rinci. Hal ini berpotensi menjadikan proses MRV hanya sebagai formalitas administratif antara perusahaan dan pemerintah, tanpa ada verifikasi independen yang kredibel, sehingga rentan terhadap praktik greenwashing.
Oleh karena itu semua, bagi saya, perjalanan untuk mewujudkan akuntabilitas dampak iklim oleh perusahaan secara substantif di Indonesia masih panjang dan penuh tantangan. Perpres 110/2025 adalah sebuah langkah awal yang penting secara institusional, namun ia tidak boleh menjadi langkah terakhir. Ia adalah fondasi, bukan bangunan yang sudah jadi, dan fondasi itupun masih perlu diperbaiki di sana-sini. Sebagai bagian dari masyarakat global yang peduli akan masa depan Bumi dan bangsa Indonesia, kita memiliki peran krusial dan tanggung jawab untuk terus mengawal dan mendorong penguatan—bukan pelemahan—regulasi ini beserta penegakannya. Upaya advokasi harus difokuskan pada percepatan penerbitan peraturan turunan yang tidak hanya cepat, tetapi juga ambisius, sesuai petunjuk sains, dan tidak kompromistis terhadap kepentingan jangka pendek yang destruktif.
Kita semua—yang menginginkan Indonesia mencapai keberlanjutan—perlu mendesak pemerintah untuk menetapkan Batas Atas Emisi yang sejalan dengan target sains iklim global, memerluas cakupan industri yang wajib patuh berdasarkan data emisi yang transparan, serta merancang sistem sanksi berlapis yang memberikan efek jera, mulai dari denda finansial yang signifikan hingga pencabutan izin bagi pelanggar berulang. Di samping itu, kita juga perlu terus mendorong pengembangan dan implementasi instrumen non-pasar lainnya yang dapat melengkapi NEK, seperti pemberlakuan standar produk hijau yang ketat, kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memprioritaskan produk rendah karbon, serta kampanye penyadartahuan konsumen secara masif untuk membangun tekanan dari sisi permintaan.
Upaya kolektif dari berbagai elemen masyarakat ini sangatlah penting untuk memastikan bahwa transisi menuju ekonomi rendah karbon tidak hanya terjadi di atas kertas kebijakan, tetapi menjadi sebuah kenyataan transformatif yang membawa keadilan iklim dan manfaat berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.
–##–
Depok, 15 Oktober 2025
Leave A Comment