Oleh: Jalal
Sektor pertambangan di Indonesia selalu menjadi pusat perhatian—bukan hanya ketika tambang (dan smelter) nikel di sekujur Sulawesi dan Maluku Utara menunjukkan banyak praktik yang mengkhawatirkan, atau ketika penambangan nikel di Raja Ampat menimbulkan kegaduhan. Sebagai negara kaya sumberdaya mineral dan batubara, Indonesia agaknya sedang berada di persimpangan jalan antara memaksimalkan keuntungan ekonomi dan memenuhi komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, serta tata kelola yang baik.
Dinamika ini tercermin jelas dalam evolusi regulasi pertambangan kita, utamanya mulai dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, berlanjut ke Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, hingga yang terbaru, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025. Memahami pergeseran ekspektasi dalam ketiga regulasi ini adalah kunci untuk memetakan dan mengarahkan masa depan pertambangan Indonesia yang bertanggung jawab.
Evolusi Ekspektasi
Sebagai seorang aktivis dalam keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan yang banyak bekerja dengan industri ekstraktif, saya telah mencermati perjalanan legislasi ini, dan menemukan beberapa kecenderungan menarik pada masing-masing aspek keberlanjutan.
Aspek lingkungan yang diatur dalam regulasi minerba menunjukkan sebuah peningkatan yang bertahap. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah meletakkan dasar penting dengan memperkenalkan konsep reklamasi dan paska tambang, serta mewajibkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) pada tahap studi kelayakan. Ini adalah pengakuan awal bahwa kegiatan penambangan harus diimbangi dengan upaya pemulihan lingkungan.
Lompatan agak signifikan terjadi pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Undang-undang ini memperkuat kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan, bahkan lebih jauh lagi, secara eksplisit mengatur penyediaan dan penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau paska tambang di Pasal 100. Yang menarik, Pemerintah Pusat kini memiliki kewenangan untuk menunjuk pihak ketiga jika pemegang izin lalai dalam melaksanakan kewajiban ini. Ini menunjukkan bahwa ekspektasi terhadap komitmen finansial dan akuntabilitas lingkungan semakin tegas.
Terakhir, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025, meski tidak mengubah pasal-pasal lingkungan secara drastis, tetap menggarisbawahi pentingnya pembangunan yang “berwawasan lingkungan” dalam konteks hilirisasi. Konsistensi dalam menjaga prinsip ini menunjukkan bahwa aspek lingkungan semakin terinternalisasi dalam tujuan pembangunan sektor minerba.
Kecenderungan ekspektasi lingkungan secara keseluruhan adalah membaik. Pemerintah agaknya semakin memahami pentingnya mitigasi dampak juga rehabilitasi. Pergeseran dari sekadar wacana menjadi kerangka yang lebih terstruktur dengan mekanisme pendanaan yang jelas adalah langkah maju, meskipun, tentu saja, implementasi di lapangan tetap menjadi kunci keberhasilannya.
Terkait aspek sosial, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 pertama kali memperkenalkan konsep “Pemberdayaan Masyarakat” dan mengakui hak masyarakat terdampak langsung untuk mendapatkan kompensasi (Pasal 145). Ini adalah fondasi penting untuk mengakomodasi dimensi sosial. Kemudian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 muncul dengan pengakuan bahwa “perlindungan terhadap masyarakat terdampak” masih menjadi kendala (Pertimbangan huruf b). Untuk mengatasi ini, kewenangan penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat dikonsolidasikan di Pemerintah Pusat. Tujuannya adalah menciptakan program yang lebih seragam dan efektif secara nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025, tujuan “mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan” ditegaskan kembali dalam bagian “Menimbang”. Ini konsisten dengan tujuan konstitusional, namun dibandingkan versi UU sebelumnya, tidak ada pasal baru yang secara eksplisit memperkuat hak-hak sosial atau mekanisme partisipasi masyarakat secara signifikan.
Kecenderungan ekspektasi sosial adalah membaik, namun ini perlu dinyatakan dengan penuh kehati-hatian. Niat baik untuk memberdayakan dan melindungi masyarakat memang ada. Namun, sentralisasi kewenangan memiliki dua sisi mata uang: potensi standardisasi program di satu sisi, dan risiko berkurangnya respons memadai terhadap kebutuhan lokal yang spesifik di sisi lain. Mengingat UU ini tidak mengatur mekanisme partisipasi dan penyelesaian keluhan dengan ketat, saya jauh lebih mengkhawatirkan sisi risikonya dibandingkan antusias dengan potensinya.
Aspek tata kelola UU Minerba sarat dengan kesan re-sentralisasi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menerapkan model tata kelola yang relatif desentralistik, membagi kewenangan perizinan dan pengawasan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan menjunjung asas partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas. Namun kemudian terjadi perubahan drastis pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, yang secara fundamental mengubah arsitektur tata kelola menjadi sangat sentralistik. Seluruh kewenangan perizinan berusaha, pembinaan, dan pengawasan kini sepenuhnya berada di tangan Pemerintah Pusat (Pasal 170G).
Rasionalisasinya adalah untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan, mempercepat perizinan, dan meningkatkan efisiensi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025, sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja, melakukan perbaikan prosedural dan legalitas dengan struktur sentralisasi kewenangan dari UU 2020 tetap dipertahankan. Kalau kita percaya pada berbagai kebaikan desentralisasi kekuasaan kecenderungan ekspektasi tata kelola adalah memburuk, namun bisa juga dinyatakan berpotensi membaik dalam efisiensi administrasi. Sentralisasi memang dapat mengurangi birokrasi dan inkonsistensi. Namun, ia berisiko mengikis partisipasi dan akuntabilitas lokal, yang krusial untuk memastikan projek-projek pertambangan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.
Komitmen kuat terhadap hilirisasi adalah tema terpenting dalam aspek ekonomi. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sudah menargetkan “nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional” dan mewajibkan pengolahan dan pemurnian (Pasal 102). Komitmen ini diperkuat secara signifikan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Undang-undang ini memperjelas definisi “Pengolahan” dan “Pemurnian”, bahkan memberikan fleksibilitas transisi penjualan mineral mentah dengan bea keluar sebagai insentif bagi pembangunan fasilitas hilirisasi. Ini menunjukkan keseriusan untuk meningkatkan nilai tambah produk pertambangan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 lebih lanjut menegaskan hilirisasi sebagai “penggerak pertumbuhan perekonomian nasional” yang memerlukan kepastian pasokan bahan baku secara “efektif, efisien, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.” Ini adalah penegasan kembali yang kuat terhadap strategi hilirisasi sebagai kunci pertumbuhan ekonomi. Kecenderungan ekspektasi ketiga UU ini dalam aspek ekonomi adalah membaik. Ada komitmen yang jelas dan semakin kuat terhadap hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah. Ini adalah visi strategis yang tepat untuk beralih dari sekadar pengekspor bahan mentah menjadi produsen bernilai tambah. Hanya saja, strategi hilirisasi nasional yang berada di luar cakupan UU, beserta implementasinya, akan benar-benar menentukan sukses/gagalnya hilirisasi itu.
Masih Luasnya Ruang Perbaikan
Meskipun terdapat berbagai kemajuan, perjalanan menuju pertambangan yang sepenuhnya bertanggung jawab, apalagi berkelanjutan, saya rasa masih sangat panjang. Lantaran terbiasa menggunakan berbagai standar, kerangka, dan panduan internasional untuk membantu peningkatan kinerja perusahaan pertambangan, saya menemukan masih banyaknya ruang perbaikan krusial dari apa yang sudah dicapai oleh evolusi UU Minerba itu. Setidaknya ada delapan ruang yang langsung terpikirkan.
Pertama, tentang penegakan hukum lingkungan yang tegas dan konsisten. Peraturan saja tidak cukup tanpa penegakan yang kuat. Pemerintah perlu menginvestasikan lebih banyak dalam pelatihan dan sumberdaya bagi inspektur tambang, aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, KLHK), dan hakim khusus lingkungan. Sanksi harus proporsional dengan kerusakan yang ditimbulkan, bersifat progresif, dan memberikan efek jera, termasuk kemungkinan pencabutan izin dan tuntutan pidana yang serius untuk kejahatan lingkungan berat. Penekanan harus juga pada restorasi penuh kerusakan yang telah terjadi. Ini semua, secara lintasan bisa ditemukan pada berbagai pasal di ketiga versi UU Minerba, tapi detailnya masih sangat jauh dari ekspektasi beragam standar, kerangka, dan panduan internasional.
Kedua, pengelolaan air dan keanekaragaman hayati yang komprehensif. Isu air dan keanekaragaman hayati selalu menempati posisi kanan-atas pada matriks risiko di industri pertambangan, tetapi ketiga versi UU Minerba masih saja belum kuat dalam urusan ini. Aturan pelaksana perlu lebih spesifik dan ketat mengenai manajemen siklus air di area pertambangan, termasuk daur ulang air limbah dan standar baku mutu yang lebih tinggi. Untuk keanekaragaman hayati, pedoman yang rinci tentang penilaian dampak dan mitigasi harus mewajibkan pendekatan no net loss atau bahkan net positive impact di area ekologis kritis (seperti Habitat Kritis dan Area Bernilai Konservasi Tinggi), sesuai praktik terbaik global.
Ketiga, integrasi isu perubahan iklim. Sektor pertambangan adalah penghasil emisi GRK signifikan, namun UU Minerba hampir benar-benar bisu dalam isu ini. Regulasi harus mewajibkan perusahaan untuk melaporkan emisi GRK, menetapkan target pengurangan yang ambisius, mengintegrasikan risiko serta peluang terkait iklim dalam perencanaan operasional mereka, dan benar-benar diwajibkan untuk menurunkan emisinya sesuai dengan petunjuk sains. Selain itu, dalam konteks hilirisasi mineral kritis untuk energi terbarukan, penting untuk memastikan bahwa pasokan mineral ini juga berasal dari praktik penambangan yang bertanggung jawab, termasuk urusan rendah karbon.
Keempat, soal penegakan HAM dan FPIC secara penuh. Regulasi seharusnya secara eksplisit mengintegrasikan UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP), juga mekanisme Free, Prior, Informed Consent (FPIC) harus menjadi prasyarat mutlak untuk semua projek baru atau perluasan di wilayah masyarakat lokal dan adat. Ini bukan hanya masalah keadilan, tetapi juga untuk memastikan dukungan masyarakat atas projek (social license to operate) yang baik, dan sesuai IFC Performance Standards PS 7 dan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana yang merinci bagaimana perusahaan tambang menegakkan HAM, juga prosedur FPIC yang ketat dan terverifikasi bukan sekadar konsultasi.
Kelima, mekanisme penyelesaian keluhan (grievance redress mechanism) yang kuat dan aksesibel. Pemerintah harus mewajibkan setiap pemegang izin pertambangan untuk memiliki mekanisme penyelesaian keluhan operasional yang efektif, independen, mudah diakses, dan responsif bagi masyarakat terdampak. Di luar itu, dapat disarankan juga agar ada pembentukan komite penyelesaian keluhan independen di tingkat nasional atau regional, dengan partisipasi multipihak. Ini sangat penting untuk memediasi sengketa secara adil dan cepat, mengurangi ketergantungan pada jalur hukum yang panjang dan mahal.
Keenam, perencanaan paska tambang dan transisi ekonomi yang inklusif. Rencana Penutupan Tambang (RPT) harus lebih dari sekadar pemulihan fisik lahan, lalu menjadikan bagian sosial-ekonomi sebagai seadanya saja. RPT seharusnya menjadi cetak biru bagi diversifikasi ekonomi di wilayah paska tambang, melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasinya, juga dibuat sejak awal. Bukan menjelang akhir masa tambang. Pembentukan dana khusus untuk mendukung transisi ekonomi yang adil dan program pelatihan ulang bagi pekerja lokal sangat esensial untuk memastikan kesejahteraan berkelanjutan setelah tambang berhenti beroperasi. Ini adalah inti dari konsep Just Transition yang seharusnya menjadi norma. Sayangnya, UU Minerba versi mutakhir sekalipun belum mengadopsinya.
Ketujuh, transparansi total ala EITI. Indonesia adalah penandatangan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Ini berarti Indonesia perlu membuka secara transparan tidak hanya pembayaran fiskal dari perusahaan ke pemerintah, tetapi juga kontrak pertambangan secara lengkap, data produksi, dan yang krusial, informasi tentang siapa sebenarnya pemilik dan pengendali perusahaan alias beneficial ownership (BO). Keterbukaan ini adalah benteng utama melawan korupsi dan memastikan akuntabilitas.
Terakhir, soal pelaporan keberlanjutan. Perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia banyak di antaranya yang menjadi pelopor dalam pemanfaatan standar pelaporan keberlanjutan seperti yang diterbitkan oleh Global Reporting Initiative (GRI). Standar-standar lainnya—seperti Sustainability Accounting Standards Board (SASB), Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), Task Force on Nature-related Financial Disclosures (TNFD), dan International Financial Reporting Standards (IFRS) S1 dan S2—terus bermunculan, dan menguatkan kebutuhan untuk transparansi atas dampak keberlanjutan (inside-out) dan dampak finansial (outside-in) atas isu-isu yang material. Hanya dengan menguatkan transparansi pula perusahaan-perusahaan tambang bisa memiliki hubungan yang konstruktif dengan seluruh pemangku kepentingannya, termasuk masyarakat sipil dan investor serta bank. UU Minerba agaknya belum menyadari sepenuhnya kepentingan ini, sehingga sangat senyap dalam urusan pelaporan keberlanjutan.
Evolusi regulasi Minerba menunjukkan bahwa Indonesia sedang berusaha untuk beradaptasi dengan beragam tantangan keberlanjutan. Kenyataan ini tak bisa saya abaikan. Namun, transisi menuju praktik pertambangan yang benar-benar bertanggung jawab membutuhkan lebih dari sekadar amandemen undang-undang dengan sifat inkremental seperti yang ditunjukkan hingga sekarang. Ini memerlukan komitmen kuat dari Pemerintah untuk menegakkan aturan, kolaborasi aktif dengan perusahaan yang bertanggung jawab, keterlibatan aktif masyarakat sipil, dan adopsi standar global sebagai tolok ukurnya.
Hilirisasi—yang terus digadang-gadang oleh pemerintah—memang krusial untuk nilai tambah ekonomi, tetapi ia tidak boleh dicapai dengan mengabaikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Justru, hilirisasi yang bertanggung jawab akan memerkuat daya saing produk Indonesia di pasar global yang semakin menuntut kinerja ESG dan keberlanjutan secara umum. Kalau itu disadari, jelas pekerjaan rumah kita semua adalah memastikan seluruh kebijakan dan regulasi pemerintah masih perlu terus diarahkan untuk mengetatkan persyaratan tanggung jawab sosial dan keberlanjutan di industri ini.
–##–
Leave A Comment