Selama berpuluh-puluh tahun, para koruptor melakukan berbagai cara untuk meraup keuntungan dengan merusak lingkungan dan memicu krisis iklim. Hal ini disampaikan oleh MGvantsa Gverdtsiteli, PhD dan Roberto Martinez B. Kukutschka, PhD dari Transparency International (TI) dalam tulisan terbaru mereka berjudul “How corruption undermines global climate efforts”.

Para aktor jahat menggunakan korupsi dan pengaruh yang tidak semestinya untuk menghambat aksi iklim di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang.

Di negara maju, yang secara historis berkontribusi paling besar terhadap perubahan iklim, sektor industri yang berpengaruh, seperti industri bahan bakar fosil, sering menggunakan kekuatan politik mereka untuk memblokir kebijakan iklim yang ambisius dan merusak negosiasi iklim global, seperti di Konferensi Perubahan Iklim (Conference of Parties), untuk keuntungan mereka.

Pengaruh yang tidak semestinya dan konflik kepentingan ini, berhasil menghambat aksi iklim yang efektif. Caranya adalah dengan mempersulit untuk mengadopsi kebijakan dan langkah-langkah ambisius yang diperlukan untuk mengatasi krisis iklim.

Perusahaan bahan bakar fosil juga melakukan lobi dan menyebarkan hoax atau informasi yang salah untuk melindungi kepentingan bisnis mereka. Pada saat yang sama, tata kelola dan pengawasan yang lemah di banyak negara yang menerima pendanaan iklim – terutama di negara-negara berkembang – telah menyebabkan penyalahgunaan dana penting yang dialokasikan untuk membantu negara-negara tersebut bertransisi ke model ekonomi yang lebih berkelanjutan dan beradaptasi dengan ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Tantangan-tantangan ini menggarisbawahi perlunya dunia melakukan reformasi sistemik yang memprioritaskan transparansi, akuntabilitas, dan representasi yang adil dalam tata kelola iklim global.

Selama berpuluh-puluh tahun pula, ditemukan bukti bahwa ada sekelompok kecil ilmuwan yang berupaya membentuk opini publik dengan menyebarkan informasi yang salah terkait perubahan iklim. Mereka sebagian besar didanai oleh industri bahan bakar fosil. Mereka bekerja untuk menabur kebingungan dalam wacana publik dengan tujuan menjauhkan perubahan iklim dari agenda politik. Mereka menyebarkan informasi menyesatkan yang bertentangan dengan sains. Para aktor ini telah mempromosikan skeptisisme terhadap perubahan iklim dan strategi yang berpihak pada kepentingan industri bahan bakar fosil, dibanding strategi untuk kepentingan bersama.

Praktik korupsi selalu dikaitkan dengan kebijakan lingkungan yang lebih lemah dan kapasitas yang lebih rendah untuk melindungi lingkungan. Sogok, penipuan, dan suap memainkan peran penting yang memungkinkan eksploitasi ilegal hutan, perburuan satwa liar, dan eksploitasi perikanan, dengan melibatkan pejabat lokal yang korup, polisi, petugas perbatasan dan bea cukai, otoritas pelabuhan, badan perizinan, dan regulator dengan cara mengabaikan pelanggaran atau berpartisipasi aktif dalam kegiatan ilegal ini.

Pejabat tinggi pemerintah seperti presiden dan menteri, juga tokoh politik seperti anggota DPR juga sering memfasilitasi korupsi yang melibatkan impor ilegal kayu berharga dan satwa liar. Kejahatan lingkungan, yang mencakup kejahatan satwa liar, penebangan liar, penangkapan ikan ilegal, polusi/pencemaran lingkungan, dan penambangan ilegal, adalah kegiatan kejahatan terorganisir terbesar keempat, dengan kerugian tahunan dari jaringan kriminal ini diperkirakan mencapai €80-230 miliar (Rp.1360 triliun – Rp.3910 triliun).

Selain melemahkan kapasitas pemerintah untuk melindungi lingkungan, korupsi juga mengancam dampak dan efektivitas salah satu alat paling penting guna mendukung dan meningkatkan tata kelola iklim yaitu pendanaan iklim.

Pendanaan iklim adalah landasan dari aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dunia. Sayangnya, negara-negara yang paling membutuhkan dana ini –  yaitu mereka yang memiliki kemampuan paling rendah dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim – masih terus berjuang untuk memerangi korupsi. Antara tahun 2012 dan 2021, sepuluh negara penerima teratas pendanaan iklim mendapat skor di bawah rata-rata global Corruption Perceptions Index (CPI) yaitu 43.

Salah satunya adalah Indonesia yang – walau mengalami kenaikan skor 3 poin sejak 2023 – skor CPI Indonesia terbaru di tahun 2024 hanya mencapai 37/100. Negara adidaya yang saat ini telah keluar dari Persetujuan Paris yaitu Amerika Serikat mengalami penurunan skor indeks persepsi korupsi (CPI) sebesar 4 poin dari 69/100 di 2023 menjadi 65/100 di 2024.  Semakin tinggi skor CPI, kinerja negara dalam persepsi korupsi semakin baik.

Tahun 2025 akan menjadi tantangan berat bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia. Di bawah pemerintahan baru, baik Indonesia maupun Amerika Serikat mencatat berbagai kontroversi, mulai dari kebijakan dan pendanaan terkait perubahan iklim, peralihan ke energi terbarukan dan gaya hidup yang ramah lingkungan. Di bawah Trump, Amerika Serikat seakan membalikkan semua kebijakan yang diambil oleh administrasi sebelumnya. Selain keluar dari Persetujuan Paris (Paris Agreement) AS bahkan mengampanyekan kembali penggunaan plastik yang terbukti telah mencemari tanah, air dan udara.

Pemerintahan Prabowo melalui menteri dan utusan khususnya mulai mewacanakan kebijakan yang berpihak pada industri ekstraktif dan perkebunan skala masif seperti kelapa sawit. Pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) di bawah Persetujuan Paris dan transisi ke energi bersih juga masih menunggu komitmen dari pemerintah. Sementara kerja sama sawit antara Indonesia dan Malaysia perlu diwaspadai agar tidak memperparah deforestasi dan kehilangan keanekaragaman hayati.

Redaksi Hijauku.com