Oleh: Prima Sagita, Iwanuddin, Hastuty, Lestari Pitaloka *

Siang itu seperti biasa, speedboat kami melaju kencang menuju Desa Darawa ditemani matahari yang luar biasa terik, seakan satu jengkal dari kepala. Hamparan kebun rumput laut yang luas di sepanjang jalan seakan menari-nari mengikuti arah gelombang. Tiga ekor burung bangau putih sibuk mencari makan dan sesekali terbang rendah menjangkau perairan. Ah … pemandangan menuju Desa Darawa memang tak pernah mengecewakan.

Darawa merupakan salah satu dari gugusan pulau-pulau kecil yang berpenghuni di Kabupaten Wakatobi. Desa ini dihuni 221 kepala keluarga dengan mata pencaharian utama adalah sebagai nelayan dan petani rumput laut. Sebagai petani rumput laut tentunya kondisi kelestarian sumber daya alam bahari menjadi faktor utama yang tidak boleh luput dari perhatian masyarakat.

Secara tradisional, masyarakat setempat telah memiliki sistem perlindungan dan pengaturan pengelolaan wilayah laut yang disebut Betaa Namo Nu Sara”. Adanya pengaturan bahari tersebut membuktikan bahwa bagi masyarakat Desa Darawa menjaga laut sama pentingnya dengan menjaga kebun bagi masyarakat di daratan.

Konsep pengaturan wilayah laut sebenarnya memang telah diterapkan di banyak tempat di Indonesia berupa perintah larangan untuk mengambil hasil laut maupun hasil pertanian sebelum waktu yang ditentukan untuk menjaga hasil-hasil potensi tertentu, Namun berbeda dengan tempat-tempat lain di Indonesia masyarakat Desa Darawa memilih untuk melakukan larang tangkap sebelum masa panen terhadap gurita.

Pemilihan gurita ini berdasarkan kesepakatan bersama, karena perkembangan gurita yang bisa terlihat dalam waktu dekat (3 bulan) masa panen, serta gurita merupakan salah satu mata pencarian utama masyarakat di Desa Darawa.

Pemilihan waktu untuk masa panen gurita di Desa Darawa dalam setahun adalah dua kali masa panen, dengan metode yang dilakukan berupa 3 (tiga) bulan larangan penangkapan pada bulan Juni – Agustus dan dibuka pada bulan September, kemudian 3 (tiga) bulan berikutnya dibebaskan untuk proses penangkapan.

Selama masa senggang penutupan lokasi pelrlindungan ini biasanya masyarakat akan melakukan aktifitas budidaya rumput laut, mulai dari penyediaan, pengikatan bibit hingga penyemaian bibit rumput laut.

Luasan wilayah yang menjadi areal buka tutup penangkapan gurita mencapai 130 hektar yang terdiri dari 2 (dua lokasi) yaitu di perairan sebelah utara Pulau Darawa dengan luasan 89 hektar dan di ujung timur seluas 41 hektar.

Pengawasan lokasi Betaa Namo Nu Sara tentunya tidak dilakukan saat penutupan saja, namun dilakukan sepanjang tahun untuk memantau perilaku nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Awalnya pengawasan lokasi ini dilakukan secara bergantian oleh anggota kelompok. Pengawasan dilakukan bersamaan dengan masyarakat yang melakukan perawatan bubidaya rumput laut mereka.

Membuat kesepakatan dengan masyarakat di luar Desa Darawa merupakan salah satu tantangan terbesar dalam pengawasan lokasi, tentunya bukan perkara mudah untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat terkait penutupan sebagian lokasi perairan yang telah digunakan untuk mencari dan menangkap sehari-hari mereka.

Pada saat musim tanam dan musim panen, merupakan waktu yang tersibuk bagi petani rumput laut sehingga kadang jarang memiliki waktu untuk memantau lokasi perlindungan, sehingga tidak jarang mereka kecolongan nelayan dari desa lain memancing.

Salah satu inisiator terbentuknya daerah perlindungan ini pernah bercerita sulitnya menangani nelayan luar “Sa turun sendiri ke Sampela sampai Sombano itu pigi larang, sampai saya tidak malu pergi kekantor desanya juga, setengah mati mi saya, tapi itu mi orang bajo kita bilang sekali tidak cukup mereka datang lagi curi-curi

Untuk memperkuat areal perlindungan gurita oleh masyarakat Darawa melalui “Betaa Namo Nu Sara”, yang terletak pada Zona Pemanfatan Lokal Taman Nasional Wakatobi, maka tahun 2019 terbentuklah perjanjian kerjasama kemitraan konservasi dalam rangka pemberian akses pemanfaatan antara Balai Taman Nasional Wakatobi dan Kelompok Dewara, salah satu pengelola daerah perlindungan gurita. Hingga saat ini, penghasilan tertinggi yang diperoleh masyarakat Darawa di bidang perikanaan tangkap adalah dari penjualan gurita.

Pada tahun 2020, berdasarkan diskusi bersama kaum perempuan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lokal, kami mulai membentuk areal perlindungan khusus untuk kaum perempuan seluas 22 hektar dengan lokasi yang lebih dekat jaraknya ke pemukiman dan lebih dangkal.

Daerah perlindungan khusus kaum perempuan Dewara ini sudah mulai aktif dilakukan buka tutup waktu panen dan hasil yang diperoleh juga tidak jauh lebih sedikit dari yang dihasilkan di lokasi lainnya. Selain memiliki lokasi sendiri, ibu-ibu pun aktif membangun usaha untuk menambah pundi-pundi mereka.

Salah satu produk olahan rumput laut yang dikembangkan adalah pembuatan keripik dan dodol. Hasilnya saat ini memang belum maksimal, namun sudah memberikan penghasilan ekstra dan tentunya memberikan semangat mereka untuk terus berkarya.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan ekosistem dari kerusakan dan kepunahan akibat pemanfaatan yang berlebihan dan tidak terkontrol. “Kegiatan Betaa Namo Nu Sara” merupakan salah satu cara untuk menekan laju kerusakan ekosistem sekitar kawasan konservasi dengan menitikberatkan kepada kesejahteraan masyarakat.

–##–

* Artikel ini ditulis bersama oleh: Prima Sagita (Penyuluh Kehutanan Pertama BTNW); Iwanuddin (Kepala SPTN Wilayah 3 Tomia – Binongko BTNW); Hastuty (PEH BTNW) dan Lesatri Pitaloka (Analis Konservasi Kawasan BTNW)