Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui untuk pertama kalinya pada Jumat, 8 Oktober 2021, bahwa lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah hak asasi manusia. Keputusan ini muncul beberapa minggu sebelum pelaksanaan KTT perubahan iklim PBB COP26, pada awal November di Glasgow.

Melalui resolusi nomor 48/13, Dewan HAM PBB meminta seluruh negara di dunia untuk bekerja sama dengan mitra-mitra yang lain, untuk menerapkan hak yang baru diakui ini. Teks, yang diusulkan oleh Kosta Rika, Maladewa, Maroko, Slovenia dan Swiss, ini disahkan dengan 43 suara mendukung dan 4 abstain – dari Rusia, India, Cina, dan Jepang.

Pada saat yang sama, melalui resolusi kedua (48/14), Dewan HAM PBB juga menunjukkan perhatian mereka pada dampak perubahan iklim terhadap hak asasi manusia dengan membentuk divisi Special Rapporteur atau Pelapor Khusus yang bertugas untuk menyelidiki jika ada pelanggaran HAM terkait perubahan iklim dan melakukan intervensi jika diperlukan.

Langkah Berani

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, meminta negara-negara anggota untuk mengambil langkah berani untuk mewujudkan hak atas lingkungan yang sehat ini. Dengan keputusan ini menurut Bachelet, dunia “dengan jelas mengakui degradasi lingkungan dan perubahan iklim adalah bagian dari krisis hak asasi manusia yang saling terkait.”

“Saat ini, diperlukan tindakan berani untuk memastikan resolusi tentang hak atas lingkungan yang sehat ini berfungsi sebagai batu loncatan untuk mendorong kebijakan ekonomi, sosial dan lingkungan yang transformatif yang akan melindungi manusia dan alam,” tambahnya.

Pada awal sesi Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet telah menyampaikan bahwa perubahan iklim, polusi dan hilangnya alam/keanekaragaman hayati menjadi ancaman terbesar bagi hak asasi manusia di zaman ini. Dan resolusi baru ini mengakui kerusakan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan perusakan lingkungan pada jutaan orang di seluruh dunia.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 24% dari semua kematian global, atau sekitar 13,7 juta kematian per tahun, terkait dengan kerusakan lingkungan, yang diakibatkan berbagai macam risiko seperti polusi udara serta paparan polusi bahan-bahan kimia.

Perjuangan untuk menggolkan resolusi ini sudah dimulai sejak 1972 saat Konferensi Lingkungan PBB di Stockholm, Swedia, mendeklarasikan pentingnya lingkungan yang berkualitas bagi kesejahteraan manusia. Mereka menyeru Dewan HAM PBB dan Majelis Umum PBB untuk beraksi nyata mewujudkannya. Dan sejak 2008, Maladewa (Maldives) dan negara- negara kepulauan kecil lainnya, serta Pelapor Khusus PBB bidang HAM dan Lingkungan telah berkali-kali mengusulkan resolusi terkait perubahan iklim namun selalu gagal.

Redaksi Hijauku.com