Oleh: Mabda Haerunnisa Fajrilla Sidiq *
Terlepas dari euforia gelombang aktivisme pemuda di penghujung bulan September, agenda lingkungan masih cenderung dinomorduakan. Entah karena tenggelam dengan hiruk pikuk kontestasi politik, semangat gerakan lingkungan pemuda pada tingkat global tidak tampak kentara dalam beragam gerakan pemuda di Indonesia. Demonstrasi School Strike for Climate (Bolos Sekolah untuk Iklim) di Indonesia pun tidak bersifat kontinu.
School Strike for Climate menjadi simbol dari kebangkitan aktivisme pemuda global, yang dipunggawai oleh Greta Thunberg sejak Agustus 2018. Gerakan tersebut berhasil menggugah pemuda di lebih dari 100 negara untuk menuntut tindakan yang lebih nyata dari pemerintah di masing-masing negara dalam mengatasi pemanasan global. FridaysforFuture, sebagai laman yang mengorganisasi jaringan aktivisme tersebut pada tingkat global, mencatat bahwa 2.276 demonstrasi telah dilangsungkan di bawah rangkaian School Strike for Climate.
Di Indonesia, dilaporkan bahwa per Oktober 2019, 193 demonstrasi yang berlangsung sebagai rangkaian dari School Strike for Climate telah dilangsungkan di 56 kota. Meskipun 19 demonstrasi yang tersebar di berbagai kota masih kerap dilangsungkan per minggu sejak bulan Oktober 2019, jumlah rangkaian demonstrasi masih terbilang minim, terutama apabila dibandingkan dengan masifnya gerakan tersebut di negara lain. Sebagai contoh, di bulan Oktober 2019, sekitar 170 demonstrasi rutin dilangsungkan per minggu di India. Kemudian, hampir 300 demonstrasi mingguan dilangsungkan di Amerika Serikat.
Sementara itu, 19 demonstrasi mingguan semata tampak tidak sepadan dengan urgensi untuk mendorong tindakan pemerintah di bidang lingkungan. Pasalnya, penyelesaian masalah lingkungan masih belum masuk ke dalam agenda prioritas pemerintah.
Absennya masalah lingkungan dari pidato Presiden Joko Widodo dalam pelantikannya (20/10) menunjukkan bahwa pemerintah masih belum memberikan perhatian yang sesuai dengan kompleksitas permasalahan lingkungan di Indonesia.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Pulau Sumatera dan Kalimantan masih rutin menyambangi, terutama di tahun 2019. Upaya pemerintah untuk menindak perusahaan nakal maupun peladang lokal yang membakar lahan pun belum diiringi solusi alternatif yang berkelanjutan.
Masalah lingkungan telah masuk ke dalam tuntutan yang disuarakan oleh berbagai gerakan aktivisme pemuda Indonesia di luar rangkaian School Strike for Climate. Sebagai contoh, di penghujung bulan September, rangkaian aksis mahasiswa yang berlangsung di bawah tagar #ReformasidiKorupsi turut membawa tuntutan pemberhentian pembakaran hutan dan pemidanaan korporasi yang bersalah.
Namun, minimnya kontinuitas gerakan mahasiswa pun turut diikuti oleh tidak adanya aksi lanjutan yang dapat mendorong tindakan serius pemerintah di bidang lingkungan.
Meskipun kontinuitas gerakan aktivisme pemuda, terutama mahasiswa, masih patut dievaluasi, kemauan pemuda untuk bergerak sepatutnya menghadirkan optimisme baru terhadap advokasi lingkungan. Pemuda harus segera menyadari bahwa generasi muda memiliki kepentingan yang besar dalam menindaklanjuti pemanasan global.
Momentum School Strike for Climate dan semangat massa dalam gerakan #ReformasidiKorupsi harus terus dimanfaatkan untuk mendorong aksi nyata di bidang lingkungan yang dinahkodai oleh generasi muda. Gembosnya agenda lingkungan dalam aktivisme pemuda Indonesia diharapkan hanya bersifat sementara.
–##–
* Mabda Haerunnisa Fajrilla Sidiq adalah mahasiswa tingkat akhir Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan juga asisten manajer dari Jurnal Global: Jurnal Internasional Politik.
Leave A Comment