Singapura, 12 September 2018 – WWF mengeluarkan laporan tahunan yang menyatakan bahwa bank-bank terbesar di kawasan ASEAN semakin sadar akan dampak bisnisnya terhadap lingkungan dan masyarakat, namun kesadaran itu lambat ditransformasikan menjadi tindakan, padahal potensinya besar untuk mengatasi perubahan iklim dan membiayai sistem ketahanan pangan, energi dan infrastruktur yang berkelanjutan.

Kawasan ASEAN sangat rentan terhadap perubahan iklim yang bisa memperburuk ketahanan pangan dan air. Semakin lambat bertransformasi, bank-bank akan kehilangan kesempatan ikut mendorong pembangunan berkelanjutan dan mitigasi risiko perubahan iklim yang dapat mempengaruhi arus neraca mereka.

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa sektor perbankan ASEAN tidak menginformasikan cara mengelola risiko perubahan iklim sesuai rekomendasi Taskforce for Climate-related Financial Disclosure(TCFD)—sebuah satuan tugas yang digagas oleh negara G-20. Dari 34 bank yang diriset, hanya empat yang memiliki pengawasan terhadap risiko dan peluang perubahan iklim dalam jajaran manajemen seniornya. Selain itu, tidak ada bank yang mengungkapkan untuk meninjau ulang portofolionya atau mengungkapkan apakah portofolio mereka sejalan dengan Paris Agreement atau Sustainable Development Goals (SDGs).

“Isu keberlanjutan merupakan tantangan nyata bagi sektor keuangan, karenanya pemerintah telah mengeluarkan aturan keuangan berkelanjutan di tahun 2017. Sudah seharusnya para lembaga jasa keuangan bertindak serius dan mendemonstrasikan komitmen melalui pengungkapan dan transparansi dalam strategi, kebijakan serta implementasinya,” ucap Rizkiasari Yudawinata, Manajer Keuangan Berkelanjutan, WWF-Indonesia.

Empat bank Indonesia yang dinilai dalam laporan ini, yakni BCA, Bank Mandiri, BNI dan BRI yang tergabung dalam First Movers on Sustainable Banking, telah menunjukkan kepemipinannya melalui perbaikan kebijakan dan prosedur Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola (LST). Sebagai contoh, BNI dan BRI telah mengungkapkan resume kebijakan pembiayaan sawit dan BNI telah membangun struktur organisasi yang mengakomodir fungsi dan tugas keuangan berkelanjutan.

Hanya lima bank yang mengakui adanya resiko deforestasi sebagai penyumbang utama perubahan iklim dalam aktivitas klien mereka dan hanya dua risiko ketersediaan air yang diakui.

Peter Ferket, Kepala Investasi Robeco yang mengelola aset sebesar EUR 167 miliar menyampaikan ekspektasinya, “Kami mendahulukan keberlanjutan dalam sektor minyak sawit melalui perusahaan, juga dialog konstruktif dengan bank-bank di ASEAN yang membiayai industri ini. Strategi ini memungkinkan kita mencapai solusi bersama untuk menghentikan laju kehilangan hutan, mencegah eksploitasi pekerja dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan di ASEAN.”

“Lembaga jasa keuangan dapat bergabung untuk mulai menerapkan keuangan berkelanjutan dan mendapatkan berbagai akses manfaat termasuk peningkatan kapasitas guna mendukung penerapan keuangan berkelanjutan efektif secara operasional,” tambah Rizkiasari.

Untuk memenuhi sebuah komitmen iklim dan keberlanjutan, para bank harus mengambil tindakan kongkrit. Mereka harus mengembangkan dan mengungkapkan kebijakan dan prosedur LST yang terperinci, termasuk kriteria berbasis sains spesifik untuk risiko kunci LST. Misalnya, bank menerapkan kebijakan ‘tidak membuka hutan’ untuk komoditas berbasis lahan dan infrastruktur.

# # #

Catatan untuk editor:

Di Indonesia, delapan bank telah menggagas dibentuknya inisiatif keuangan berkelanjutan Indonesia yang bertujuan untuk meningkatan norma pasar yang proporsional dan mengambil peluang bank guna mendukung target perubahan iklim dan SDGs. Inisiatif ini dibentuk pada 31 Mei 2018, diharapkan dapat menjadi katalis perbaikan praktik perbankan dan LJK untuk keuangan berkelanjutan di Indonesia.

Tentang Laporan Perbankan Berkelanjutan di ASEAN:

Akses laporan lengkap dalam Bahasa Inggris di sini. Laporan Ini adalah versi pembaruan dari Laporan WWF tahun 2017 “Perbankan Berkelanjutan di ASEAN: Mengenai ASEAN FLAWS”, hasil kerjasama dengan National University of Singapore (NUS), Sekolah Bisnis untuk Tata Kelola, Lembaga dan Organisasi.

Laporan ini menyandingkan informasi dari 34 bank di enam negara ASEAN terhadap indikator tentang tata kelola perusahaan yang sehat dan pilar-pilar integrasi LST yang kuat. Laporan ini didukung oleh platform interaktif online (www.susba.org) yang memungkinkan penggunanya untuk membandingkan bank dan indikator yang dipilih berdasarkan preferensi mereka. Untuk keperluan penilaian, riset ini menggunakan beberapa laporan dari bank (yang tersedia dalam bahasa Inggris), seperti Laporan tahunan, laporan keberlanjutan, atau laporan CSR 2017 yang dirilis sebelum tanggal 3 Juli 2018, juga informasi yang dipasang di situs web perusahaan.

Temuan dalam laporan:

Bank-bank di kawasan ASEAN tidak menginformasikan cara mereka mengelola risiko perubahan iklim sejalan rekomendasi dari Taskforce for Climate-related Financial Disclosure (TCFD)—sebuah satuan tugas yang digagas oleh negara G-20. Bahkan, dari 34 bank yang diriset, hanya empat yang mengungkapkan bahwa jajaran manajemen seniornya memiliki pengawasan terhadap risiko dan peluang perubahan iklim, sesuai rekomendasi utama dari TCFD. Hasil temuan lainnya, tidak ada bank yang mengungkapkan untuk meninjau portofolionya terhadap risiko iklim atau mengungkapkan apakah portofolio mereka sejalan dengan Paris Agreement atau Sustainable Development Goals (SDG’s).

Kendati ada faktor penggerak, laporan ini menemukan bahwa banyak kebijakan LST bank masih lemah dan tidak diungkapkan, sehingga menimbulkan kekhawatiran. Beberapa bank di Singapura, Malaysia dan Thailand telah menunjukkan kemajuan dalam integrasi LST, namun pengungkapan persyaratan spesifik terkait LST masih terbatas. Sebanyak 19 bank mengungkapkan bahwa mereka memiliki kerangka kerja standar untuk penilaian resiko LST tetapi hanya tujuh yang mengungkapkan bahwa mereka memiliki kebijakan khusus untuk sektor-sektor dengan risiko LST tinggi. Bahkan kemudian, pengungkapan kebijakan itu sendiri terbatas, dengan hanya tiga bank yang menginformasikan satu atau dua dari kebijakan utama mereka. Bank-bank di Kawasan ASEAN harus menentukan posisi dalam memanfaatkan peluang menuju masa depan pembangunan rendah karbon dan berkelanjutan.

Bank-bank di Kawasan ASEAN mengarisbawahi peluang dalam menanggapi perubahan iklim dan kebutuhan untuk pembangunan berkelanjutan, hal ini diketahui dari adanya 22 bank yang telah mengembangkan produk keuangan hijau seperti obligasi hijau dan pinjaman yang terkait dengan keberlanjutan. Namun, produk-produk niche ini tidak hanya cukup untuk investasi besar yang diperlukan dalam memenuhi Perjanjian Paris dan SDGs pada tahun 2030. Untuk dapat memanfaatkan peluang ini dengan tepat, bank harus menetapkan target berbasis sains untuk menyelaraskan portofolionya ke dunia yang memiliki keterbatasan sumber daya dan karbon. Laporan ini juga menemukan bahwa bank-bank di Kawasan ASEAN belum melakukan hal tersebut, dan kemungkinan kehilangan peluang, sementara mereka terus rentan terpapar transisi yang akan datang dan risiko fisik dari perubahan iklim.

Bank memainkan peran penting dalam membiayai transisi ke sistem pangan, energi dan transportasi yang berkelanjutan dan harus menjadi bagian dari solusi. Investor yang bertanggung jawab, sebagai pengurus modal, perlu memastikan bahwa bank-bank dalam portofolio mereka pun membuat kemajuan tepat waktu dalam hal ini, dan terlibat secara aktif untuk mendukung transisi dimaksud. Saat kawasan ASEAN mengalami pertumbuhan tangguh dan berkelanjutan, bank harus mempercepat laju melakukan pengintegrasian LST, termasuk iklim, deforestasi dan risiko air ke dalam strategi bisnis intinya.

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi:

  • Julien Anseau | Global Media Manager, WWF International | Email: janseau@wwfint.org | +65 9060 1957
  • Rizkiasari Joedawinata | Sustainable Finance Manager, WWF Indonesia | Email: rjoedawinata@wwf.id |+62 811 234 4343