JAKARTA, 7 November 2025 — Perdagangan karbon akan menjadi salah satu topik paling ramai dibicarakan di Konferensi Perubahan Iklim (COP30) yang berlangsung 10-21 November 2025 mendatang di kota Belem, Brazil. Di Paviliun Indonesia, yang resmi dibuka pada hari pertama pembukaan konferensi, isu pendanaan dan perdagangan karbon menjadi tema utama. Bahkan Pemerintah menyiapkan forum khusus untuk mempertemukan calon penjual dan calon pembeli kredit karbon. 

Narasi yang diusung pun terdengar menjanjikan: menyelamatkan hutan sekaligus mendapatkan pemasukan lewat jual beli karbon. Namun, perdagangan karbon tidak otomatis berarti penurunan emisi. Artinya, pemanasan bumi yang terjadi akibat meningkatnya emisi tidak teratasi. 

Perdagangan karbon merupakan salah satu aksi mitigasi yang tercantum dalam Paris Agreement—perjanjian untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius dibandingkan masa pra industri. Jika batas kenaikan suhu terlewati, para ilmuwan memperingatkan akan terjadi kekacauan ekosistem global: 8% spesies di bumi terancam punah, es di kutub mencair yang memicu kenaikan muka air laut, dan intensitas cuaca ekstrem seperti gelombang panas, kekeringan panjang, serta banjir bandang akan meningkat drastis.

“Narasi yang paling terang-benderang hari ini adalah: jual karbon, selamatkan hutan, dan dapat duit. Padahal sektor energi —terutama PLTU batubara— masih menjadi penyumbang emisi terbesar,” ujar Torry Kuswardono,  Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), dalam Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet secara daring, Jumat (7/11/2025). 

Menurut Torry, fokus kebijakan iklim Indonesia masih berat sebelah: sektor energi yang menjadi sumber emisi utama justru belum tersentuh secara serius, sementara hutan dijadikan “komoditas” untuk menarik investasi dan pencitraan di forum global.

Pencapaian target iklim 1,5 derajat celcius bisa dilakukan dengan kerjasama sukarela melalui mekanisme pasar (salah satunya perdagangan karbon) dan non pasar. Salah satu mekanisme non pasar adalah proyek Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Kalimantan Timur. 

“Jika berhasil menurunkan emisi sebesar 122 juta ton CO2, akan ada result based payment dari Bank Dunia sebesar US$ 110 juta,” kata Riko Wahyudi, peneliti Research Center for Climate Change Universitas Indonesia. Insentif ini diberikan karena Indonesia berhasil menurunkan emisi Emisi yang ditekan dicatat sebagai pencapaian target iklim Indonesia Namun, jika menggunakan mekanisme perdagangan karbon, emisi tidak dicatat sebagai pencapaian target, karena emisi yang dicegah “ditukar” dengan emisi yang dijual. 

Dalam perdagangan karbon ada dua istilah yang sering tumpang tindih: offset dan perdagangan karbon berdasarkan ambang batas (cap and trade). Offset karbon adalah mekanisme kompensasi. Misalnya, sebuah perusahaan penerbangan tidak bisa menurunkan emisinya langsung. Maka ia membeli “kredit karbon” dari proyek yang menanam hutan atau melestarikan gambut. Kredit itu dihitung berdasarkan berapa banyak karbon yang bisa diserap proyek tersebut. Dengan membeli offset, perusahaan seolah “menebus” emisi yang dihasilkannya.

Sementara perdagangan karbon berdasarkan batas (cap and trade) lebih bersifat wajib. Pemerintah menetapkan batas atas emisi (cap) untuk sektor tertentu — misalnya pembangkit listrik. Jika satu PLTU mampu menekan emisi di bawah batas itu, kelebihannya bisa dijual ke PLTU lain yang kelebihan emisi. 

Dalam praktiknya, pasar karbon di Indonesia lebih banyak berbasis offset. Sektor hutan dan lahan menjadi ujung tombak karena mudah “dijual” sebagai penyerap karbon. Menurut Torry Kuswardono, hal ini ironis. “Pemerintah bilang kita akan selamatkan 12 juta hektare hutan lewat pasar karbon. Tapi di sisi lain, kita masih kehilangan hutan karena deforestasi yang disengajakan lewat proyek-proyek raksasa seperti PSN,” ujar Torry yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Pikul.

Bagi Torry, ini menunjukkan inkonsistensi kebijakan. “Hutan dijadikan komoditas. Padahal IPCC sudah bilang: hutan tidak bisa diandalkan sebagai reset emisi terus menerus. Kalau terlalu kering, bisa terbakar. Kalau terlalu basah, karbonnya larut dan hilang. Jadi stok karbon itu bisa lenyap dalam satu musim kering ekstrem.”

Ia menambahkan, proses penyerapan karbon tidak instan. “Tidak bisa diasumsikan bahwa setiap ton CO₂ yang kita lepas hari ini langsung diserap hutan besok pagi. Ada delay time. Selama jeda itu, gas rumah kaca tetap menumpuk di atmosfer.” 

Problem terbesar dari pasar karbon, kata Torry, justru terletak pada integritas datanya. Banyak proyek offset terbukti melebih-lebihkan dampak mereka. “Studi internasional menunjukkan, over-crediting bisa mencapai 30 hingga 100 persen. Artinya klaim penurunan emisi dua kali lipat dari yang sebenarnya terjadi,” jelasnya.

Investigasi The Guardian (2023–2024) menemukan bahwa sekitar 90 persen kredit REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) tidak mewakili pengurangan emisi nyata. “Direkturnya sampai mundur, metodologi diperbaiki. Tapi ini menunjukkan bahwa sistemnya rapuh,” ujar Torry.

Selain itu, pasar karbon membuka peluang moral hazard. Ketika harga kredit karbon murah, perusahaan lebih memilih membeli kredit daripada benar-benar berinvestasi dalam teknologi bersih. “Daripada ganti mesin atau beralih energi, yaudah beli offset saja,” katanya. Akibatnya, fase transisi energi dan dekarbonisasi justru makin lambat. 

Padahal, kalau tujuan akhirnya adalah menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, “kita harus turunkan emisi di sumbernya,” kata Riko. “Kalau sektor energi tidak disentuh, semua ini hanya menunda krisis.”

Masalah lain adalah tata kelola. Sistem pengukuran dan verifikasi emisi (MRV: Measurement, Reporting, Verification) di Indonesia belum transparan. Data antar lembaga sering tidak sinkron, sementara mekanisme akuntabilitas publik masih minim.

“Bahkan baseline emisi di sektor kehutanan masih jadi perdebatan,” kata Riko. “Kalau baseline-nya saja belum solid, bagaimana kita mau menjual kredit karbon ke luar negeri?” Kondisi ini rentan menimbulkan double accounting, di mana satu penurunan emisi diklaim dua kali, oleh proyek dan oleh negara. 

Selain aspek teknis, pasar karbon juga punya dampak sosial. Proyek offset di wilayah hutan sering bersinggungan dengan masyarakat adat dan petani lokal. Banyak kasus di mana komunitas kehilangan akses ke lahan tradisional karena diklaim sebagai area proyek karbon. “Kalau tidak diatur dengan baik, pasar karbon bisa jadi bentuk baru kolonialisme ekologis,” kata Torry. “Hutan kita dijaga bukan untuk rakyatnya, tapi untuk kompensasi polusi negara lain.”

Di tingkat global, sistem perdagangan karbon (Emission Trading System / ETS) telah lebih matang di kawasan seperti Uni Eropa. Tapi sistem itu dibangun di atas infrastruktur data yang kuat dan mekanisme sanksi yang tegas. Pelaku usaha yang melanggar batas emisi harus membayar mahal.

Indonesia meski telah memiliki pasar karbon, masih jauh dari tahap itu. “Masih banyak regulasi turunan yang belum ada. Cap (batas) juga belum ditentukan sehingga perdagangan karbon dalam negeri belum terjadi,” katanya. Menurut Riko, sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi emisi harus ketat, agar perdagangan karbon tidak menjadi celah bisnis semata.***

Tentang JustCOP
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) adalah jaringan masyarakat sipil yang memperjuangkan tata kelola iklim berbasis hak dan demokratis, dengan menempatkan komunitas terdampak sebagai aktor utama perubahan.

Kontak Media: justcop@ariseindonesia.com