Oleh: Jalal

The twentieth century was the century of social democracy. The twenty first century will be that of ecological, democratic, and participatory socialism.”  Begitu keyakinan Thomas Piketty yang ditulis sebagai pembuka dalam kitab terbarunya, Equality is a Struggle: Bulletin from the Frontline, 2021 – 2025.  Ini adalah bunga rampai pemikiran Piketty—mungkin ekonom paling terkenal untuk generasi sekarang—yang ditulisnya sebagai kolom di La Monde.  Ia merentang mulai dari Time for Social Justice (16 Februari 2021) hingga Democracy  vs. Oligarchy, the Fight of the Century (21 Januari 2025), yang ia berikan pengantar panjang dan sangat bertenaga—dari mana kalimat yang saya cuplik itu berasal—berjudul Toward Ecological Socialism.

Tadinya saya ingin menahan diri, tidak membeli buku itu dulu, lantaran teringat bahwa masih ada empat judul buku yang saya pesan secara daring.  Tetapi sampul belakang buku itu berisi testimoni Ha-Joon Chang, Alex Edmans, dan Mariana Mazzucato—tiga pakar yang seluruh pemikaran mereka sangat saya kagumi.  Chang bilang buku ini “… ambitious but realistic.” Edmans bilang buku ini “A powerful case for rethinking capitalism through the lens of sustainability and inclusion…. grounded in data and evidence.” Dan Mazzucato menekankan betapa buku ini “…captures the relationship between equity and the design of our political economic system.”  Kalau kemudian pertahanan diri saya rontok, itu adalah ‘salah’ mereka.

Begitu kalimat pertama yang mustahil dilupakan itu terbaca, saya menyingkir dari keramaian.  Duduk dan mulai membaca pengantarnya.  Tak butuh waktu lebih dari 15 menit untuk menyelesaikannya, tetapi membuat benak saya sedemikian tertambatnya dengan projek ambisius yang ditawarkan Piketty ini.  Hingga memutuskan untuk menuliskan artikel ini, saya belum habis membaca buku itu.  Saya sangat tertarik dengan bab-bab tertentu, dan membaca bab-bab itu dengan hati-hati hingga selesai.  Kebanyakan bab masih saya baca secara cepat.  Tetapi, saya memang tak (belum?) ingin menuliskan resensi atas bunga rampai ini, karena yang terbayang malah refleksi antara apa yang ditawarkan oleh Piketty versus apa yang selama ini saya kerjakan: memerbaiki kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dalam sistem yang kapitalistik.

Dalam dua dekade terakhir, krisis iklim menjadi salah satu tema paling mendesak dalam wacana global. Negara-negara, perusahaan multinasional, lembaga keuangan, dan organisasi internasional seakan berlomba-lomba menawarkan solusi untuk mencegah kenaikan suhu bumi melampaui ambang ‘aman’ dari bencana katastrofik. Namun di tengah hiruk pikuk keberlanjutan, agaknya muncul dua jalur pemikiran yang kerap dipandang kontras. Yang pertama, dengan suara yang jauh lebih keras, adalah kapitalisme hijau, yakni upaya memanfaatkan sistem yang kapitalistik untuk diarahkan menuju keberlanjutan terutama melalui inovasi teknologi ramah lingkungan, insentif pasar, dan mekanisme keuangan berkelanjutan. Yang kedua, masih jauh lebih lirih, adalah sosialisme ekologis yang di antaranya ditawarkan Piketty ini—sebuah proposal yang lebih radikal untuk mengatasi krisis ekologis dengan menghubungkannya secara langsung dengan persoalan ketimpangan sosial-ekonomi yang telah lama melekat dalam kapitalisme.

Kapitalisme hijau, paradigma dominan di mana saya bekerja, menempatkan pasar sebagai aktor utama dalam keberlanjutan. Logika dasarnya sederhana: jika polusi dan emisi diberi harga, maka mekanisme pasar akan mengarahkan pelaku ekonomi menuju pilihan yang lebih bersih. Perdagangan karbon, pajak atau cukai karbon, dan obligasi hijau (green bonds) adalah di antara instrumen-instrumen kuncinya. Perusahaan didorong untuk berinvestasi dalam efisiensi energi, energi terbarukan, dan bermacam teknologi yang lebih ramah lingkungan karena dianggap sejalan dengan kepentingan bisnis (business case) jangka panjang. Di sisi lain, konsumen didorong untuk memilih produk ramah lingkungan sebagai bentuk partisipasi dalam menyelamatkan Bumi.  Dan, dalam kerangka ini, peran negara lebih banyak sebagai fasilitator: menciptakan regulasi minimum, memberi subsidi pada inovasi teknologi hijau, atau menyiapkan pasar karbon.

Pendekatan ini, sekilas, tampak rasional. Ia menghindari konfrontasi langsung dengan struktur kekuasaan ekonomi yang ada, sehingga relatif lebih mudah diterima oleh siapapun—namun terutama oleh elite ekonomi global dan nasional.  Namun, sesungguhnya kapitalisme hijau menyimpan kelemahan mendasar. Ia cenderung mengabaikan fakta bahwa beban ekologis tidak didistribusikan secara merata. Pajak karbon terhadap listrik atau bahan bakar fosil, misalnya, sering kali bersifat regresif karena keluarga miskin mengeluarkan proporsi lebih besar dari pendapatan mereka untuk kebutuhan energi dibandingkan kelas atas. Sementara itu, jejak karbon kaum elite dunia jauh lebih besar—70% emisi dihasilkan oleh 10% orang terkaya versus 5% emisi berasal dari 50% termiskin, seperti yang dikutip datanya oleh Piketty.  Ini jelas tidak disentuh secara proporsional oleh instrumen pasar. Dengan kata lain, kapitalisme hijau berisiko memerburuk ketimpangan sosial sambil melestarikan logika akumulasi modal yang menjadi penyebab krisis ekologis itu sendiri.

Berbeda dengan itu, Piketty memandang krisis iklim sebagai gejala dari persoalan yang lebih dalam: konsentrasi kekayaan dan kekuasaan dalam kapitalisme global. Dalam kitab-kitab Capital in the Twenty-First Century (2013)dan Capital and Ideology (2019), ia membuktikan bahwa mekanisme pasar bebas cenderung menciptakan jurang yang terus menganga antara pemilik modal dan pekerja. Akumulasi kekayaan tidak hanya menghasilkan ketidakadilan ekonomi, tetapi juga memerkuat elite yang memiliki kepentingan melanggengkan status quo, termasuk pola produksi berbasis fosil yang menguntungkan mereka. Bagi Piketty, mustahil menyelesaikan krisis ekologis tanpa sekaligus mengatasi ketimpangan struktural. Dari sinilah lahir gagasan sosialisme ekologisnya yang kemudian menjadi lebih benderang dalam kitab-kitab berikutnya, A Brief History of Equality (2021); Nature, Culture, and Equality (2024); dan (mungkin) puncaknya pada Equality is a Struggle (2025).

Sosialisme ekologis versi Piketty berpijak pada tiga prinsip utama: redistribusi progresif, demokratisasi ekonomi, dan internasionalisme ekologis. Redistribusi progresif berarti kekayaan dan emisi karbon kelas atas dunia harus dikenai pajak jauh lebih besar, sementara hasilnya digunakan untuk membiayai kesehatan, pendidikan, transisi energi, pembangunan transportasi publik, dan kompensasi bagi kelompok miskin. Demokratisasi ekonomi mengandaikan perubahan struktur perusahaan, di mana pekerja dan masyarakat memiliki suara nyata dalam pengambilan keputusan strategis, termasuk pertimbangan mengenai dampak ekologis dari produksi dan konsumsi. Sedangkan internasionalisme ekologis menuntut negara-negara kaya untuk menanggung porsi lebih besar dalam pembiayaan transisi global, karena secara historis merekalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.

Perbedaan antara kapitalisme hijau dan sosialisme ekologis Piketty menjadi jelas ketika kita membandingkan peran negara dan pasar. Kapitalisme hijau masih berorientasi pada penyelamatan kapitalisme itu sendiri, dengan pasar sebagai instrumen utama. Negara hanya berfungsi menciptakan kerangka kebijakan yang ramah bagi investasi hijau. Sebaliknya, Piketty menekankan bahwa negara harus memegang peran sentral sebagai motor investasi publik hijau dan pelaksana kebijakan redistributif. Bagi Piketty, transisi energi tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, karena pasar justru merupakan bagian dari masalah.

Pandangan tentang keadilan sosial juga menegaskan perbedaan itu. Kapitalisme hijau sering mengklaim bahwa semua pihak harus berkontribusi secara proporsional terhadap pengurangan emisi, tetapi dalam praktiknya hal ini dapat berarti masyarakat miskin menanggung beban lebih besar. Piketty menolak prinsip kesetaraan semu semacam itu. Ia berargumen bahwa keadilan sosial adalah syarat mutlak keberhasilan transisi ekologis. Jika masyarakat miskin hanya melihat kebijakan hijau sebagai tambahan beban hidup, maka resistensi politik akan semakin kuat. Sebaliknya, bila transisi hijau dirancang secara progresif sehingga memberi manfaat langsung kepada kelompok bawah, maka dukungan publik akan meningkat.

Dalam dimensi global, kapitalisme hijau cenderung mengandalkan mekanisme kompetisi atau kerjasama antarnegara yang setengah hati.  Perusahaan dari negara-negara kaya bisa membeli kredit karbon dari negara-negara miskin, seolah-olah hal itu menyelesaikan masalah. padahal, praktik semacam ini sering berakibat pada penundaan perubahan struktural yang hakiki di negara-negara maju, sementara negara berkembang tetap menjadi lokasi pengorbanan ekologis. Piketty menawarkan alternatif dengan menekankan tanggung jawab historis negara kaya. Baginya, keadilan iklim harus mengakui bahwa negara-negara maju telah memeroleh akumulasi kapital selama berabad-abad dengan membakar bahan bakar fosil. Oleh karena itu—alih-alih ‘menendang tangga’ seperti kata Chang—mereka berkewajiban untuk memberikan dukungan finansial dan teknologi yang lebih besar kepada negara-negara miskin dalam menghadapi krisis iklim.

Sosialisme ekologis Piketty juga berbeda dalam hal partisipasi masyarakat. Kapitalisme hijau lebih menekankan pada peran individu sebagai konsumen yang dapat memilih produk hijau atau menekan perusahaan melalui preferensi pasar. Sosialisme ekologis menuntut sesuatu yang lebih mendasar: partisipasi politik kolektif. Pekerja harus memiliki hak suara dalam menentukan arah perusahaan—seperti di Jerman yang mewajibkan wakil pekerja duduk di dewan komisaris. Warga negara harus dilibatkan dalam perumusan kebijakan transisi menuju ekonomi rendah karbon. Dengan demikian, transformasi ekologis bukanlah projek elite yang teknokratis, melainkan benar-benar menjadi gerakan emansipasi rakyat.

Kritik terhadap kapitalisme hijau semakin relevan jika kita melihat realitas praktiknya. Banyak perusahaan multinasional mengumumkan target net zero sambil tetap meningkatkan investasinya dalam konsumsi atau bahkan produksi bahan bakar fosil. Lembaga keuangan meluncurkan green bonds yang kerap dikritik lantaran lebih berfungsi sebagai instrumen reputasi, bukan instrumen perubahan fundamental.  Nilai dan peringkat ESG sering kali dipakai untuk mengilusi publik, meskipun perusahaan dengan skor tinggi tetap memiliki rekam jejak buruk dalam hal hak pekerja atau rantai pasoknya tetap terlibat dalam deforestasi. Semua ini memerlihatkan bahwa kapitalisme hijau mudah sekali tergelincir menjadi greenwashing, sekadar menutupi wajah lama kapitalisme dengan kosmetik bernuansa hijau.

Sementara itu, sosialisme ekologis Piketty juga bukannya tanpa kritik.  Ia kerap dianggap terlalu utopis. Pajak kekayaan global progresif, misalnya, memerlukan koordinasi internasional yang tampak mustahil di era rivalitas geopolitik. Demokratisasi perusahaan juga dianggap sulit diterapkan tanpa mengurangi efisiensi. Namun, bagi saya, meskipun terdapat hambatan politik dan kekhawatiran atas inefisiensi, gagasan Piketty tetap memiliki kekuatan normatif yang penting.  Ia mengingatkan kita bahwa krisis iklim bukan hanya soal teknologi atau mekanisme pasar, melainkan soal distribusi kekayaan, kekuasaan, dan kesempatan hidup.  Dan, ada banyak mekanisme strategis bahkan praktis juga yang sudah ia sampaikan untuk memerjuangkannya—yang disadari sepenuhnya memang tak mudah, seperti halnya judul buku yang ia pilih.

Dengan membandingkan kedua pendekatan tersebut—lihat tabel yang saya buat dengan bantuan ChatGPT untuk meringkas tulisan ini—kita bisa melihat dua horizon normatif yang berbeda. Kapitalisme hijau bercita-cita memertahankan kapitalisme dengan wajah baru yang lebih ramah lingkungan, namun tetap mengabaikan akar-akar ketimpangan. Sosialisme ekologis Piketty, sebaliknya, membayangkan sebuah masyarakat egaliter, partisipatif, dan berkelanjutan, di mana keadilan sosial dan ekologis berjalan bergandengan tangan. Jalan yang ditawarkan Piketty memang lebih sulit, penuh hambatan politik, dan membutuhkan keberanian kolektif. Namun, hanya dengan jalan semacam itu krisis iklim dapat ditangani secara adil dan berjangka panjang.

Tabel. Perbandingan Kapitalisme Hijau vs Sosialisme Ekologis Piketty

Dimensi Kapitalisme Hijau Sosialisme Ekologis (Thomas Piketty)
Tujuan Utama Mengurangi emisi karbon dan degradasi lingkungan tanpa mengubah struktur kepemilikan dan distribusi kekayaan yang ada. Mengatasi krisis ekologis sekaligus ketimpangan sosial-ekonomi melalui redistribusi dan demokratisasi ekonomi.
Pandangan terhadap Pasar Pasar dianggap sebagai mekanisme utama: solusi berbasis harga. Pasar tetap ada, tetapi harus diatur secara demokratis dan progresif melalui pajak, regulasi, serta partisipasi masyarakat.
Peran Negara Terbatas pada menciptakan insentif pasar, subsidi teknologi hijau, dan regulasi minimum. Sangat sentral: negara memimpin investasi publik hijau, redistribusi kekayaan, dan demokratisasi perusahaan.
Keadilan Sosial Tidak selalu menjadi prioritas; transisi bisa bersifat regresif (misalnya pajak karbon tanpa kompensasi). Keadilan sosial adalah inti: kebijakan ekologis dirancang progresif agar yang kaya menanggung beban lebih besar, dan kelompok miskin menerima manfaat langsung.
Pajak dan Redistribusi Fokus pada pajak karbon atau mekanisme perdagangan emisi, kadang tanpa dimensi redistributif yang kuat. Pajak progresif atas kekayaan dan karbon; hasilnya digunakan untuk mendanai transisi hijau, adaptasi iklim, dan kompensasi bagi masyarakat miskin.
Kepemilikan Modal & Perusahaan Tidak dipersoalkan: kepemilikan tetap terkonsentrasi pada investor dan korporasi besar. Demokratisasi kepemilikan: pekerja dan masyarakat memiliki suara dalam pengambilan keputusan perusahaan, termasuk terkait dampak ekologis.
Pendekatan terhadap Inovasi Teknologi Sangat optimis: teknologi hijau (energi terbarukan, mobil listrik) dianggap solusi utama. Mendukung teknologi hijau, tetapi menekankan bahwa distribusi kekayaan dan kekuasaan lebih menentukan keberhasilan transisi.
Dimensi Global Cenderung mengikuti logika kompetisi antarnegara; negara kaya dapat membeli kredit karbon dari negara miskin. Menuntut internasionalisme ekologis: negara kaya wajib menanggung beban lebih besar karena kontribusi historis terhadap emisi.
Keterlibatan Masyarakat Terbatas pada peran sebagai konsumen “hijau” (memilih produk ramah lingkungan). Partisipasi politik langsung: masyarakat dan pekerja menentukan prioritas transisi energi dan distribusi biaya/manfaat.
Relasi dengan Kapitalisme Berusaha menyelamatkan kapitalisme dengan wajah hijau; mempertahankan logika akumulasi modal. Mengkritisi kapitalisme itu sendiri; ingin mengubah logika akumulasi menuju distribusi adil dan keberlanjutan.
Contoh Instrumen Carbon trading, green bonds, ESG rating, pajak karbon standar. Pajak kekayaan global progresif, pajak karbon redistributif, dividen karbon, co-management perusahaan, investasi publik hijau.
Risiko dan Kritik Rentan menjadi greenwashing, tidak menyentuh akar ketimpangan. Tantangan politik besar, sulit dicapai tanpa konsensus internasional, risiko birokrasi tinggi.
Horizon Normatif Ekonomi tetap kapitalis dengan adaptasi hijau. Projek emansipasi sosial dan ekologis: masyarakat egaliter, partisipatif, dan berkelanjutan.

Kita semua hidup pada masa di mana waktu yang tersedia semakin sempit untuk mencegah keruntuhan ekologis. Pilihan antara kapitalisme hijau dan sosialisme ekologis sesungguhnya bukanlah sekadar perdebatan akademis, melainkan pertanyaan eksistensial: apakah kita ingin memertahankan sistem yang telah menciptakan krisis, atau berani merumuskan tatanan baru yang lebih adil? Piketty, dengan sosialisme ekologisnya, memberi arah pemikiran yang mungkin terasa radikal, tetapi justru radikalisme inilah yang dibutuhkan di tengah urgensi zaman. Kapitalisme hijau bisa menjadi cara kita membeli tambahan waktu—ini alasan saya mengapa bekerja di paradigma ini—tetapi tanpa transformasi struktural, pada akhirnya ia akan gagal menahan laju kehancuran.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memelajari sosialisme ekologis ala Piketty juga versi-versi lainnya yang lebih radikal dengan saksama. Gagasan ini bukan hanya kritik terhadap kapitalisme hijau, tetapi juga undangan untuk membayangkan dan mewujudkan dunia di mana keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis saling menopang. Dengan menimbang serius gagasan ini sebagai panduan, kita membuka peluang bagi perbaikan dunia yang melampaui inkrementalisme sebagaimana yang dijanjikan kapitalisme hijau, melainkan perubahan nyata menuju masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan lestari.

Depok, 27 September 2025