Oleh: Jalal, Noviansyah Manap, Zainal Abidin

Dalam bukunya yang kini banyak diperbincangkan di seluruh dunia, Breakneck: China’s Quest to Engineer the Future, Dan Wang menyebut Tiongkok sebagai negeri engineer (insinyur) dan Amerika Serikat sebagai masyarakat lawyer (pengacara). Kiasan itu begitu pas, karena ia menangkap esensi pembangunan dua raksasa dunia. Tiongkok maju dengan logika insinyur: membangun dengan kecepatan gila, mengeksekusi rencana dengan presisi, dan terus mengutak-atik mesin pertumbuhan agar benar-benar optimal. Amerika Serikat bertahan dengan logika pengacara: berdebat habis-habisan, menegakkan preseden, dan memastikan bahwa konsensus hukum adalah fondasi negara.  Biar lambat, asal selamat.

Lalu, Indonesia ini negeri apa? Begitu pertanyaan kami. Insinyur jelas bukan, karena teknokrat di negeri ini hanya sesekali diberi panggung, itupun sering berakhir sekadar menjadi juru bicara projek mercusuar para politisi. Pengacara juga bukan, sebab tradisi hukum di sini terlalu ‘lentur’, mudah ditekuk-tekuk sesuai arah angin kekuasaan, atau mengikuti arus rupiah dan dolar.

Jika mau jujur, Indonesia pada posisinya sekarang, mungkin paling tepat disebut sebagai negeri broker (calo, makelar). Sebuah republik yang dipimpin, dikelola, bahkan dibayangkan dengan mentalitas perantara. Bukan perancang, bukan pembangun, melainkan negosiator yang mencari cuan dari setiap celah yang mungkin.

Profesi calo sendiri sejatinya adalah profesi yang sah dan bahkan bermanfaat. Dalam dunia perdagangan, calo berperan sebagai perantara antara penjual dan pembeli, membantu memertemukan kedua belah pihak, menegosiasikan harga, hingga mengatur pengiriman barang. Dalam banyak kasus, calo juga mengurus dokumen dan perizinan yang dibutuhkan agar transaksi berjalan lancar. Peran ini penting karena memermudah proses jual beli, yang melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan berbeda.

Namun, di negeri para calo, mereka yang seharusnya menjaga kepentingan publik—pejabat pemerintahan, anggota DPR, akademisi, pengacara, hakim, jaksa—ikut memainkan peran sebagai calo, bukan lagi untuk kepentingan bersama, melainkan demi keuntungan pribadi atau kelompok secara tidak sah. Maka yang menentukan bukanlah integritas profesi, melainkan kapan seseorang menemukan momentum untuk mengaktifkan ‘DNA’ calo demi keuntungan pribadi maupun kelompoknya.

Logika calo itu, menurut hemat kami, sangat kentara dalam cara bangsa ini memerlakukan pembangunan. Projek-projek besar tidak pernah benar-benar dilihat sebagai alat transformasi, melainkan sebagai barang dagangan. Jalan tol, bendungan, bandara, bahkan ibu kota negara baru—semua diukur bukan dari dampak jangka panjangnya, melainkan dari berapa persen komisi yang bisa dipetik di sepanjang jalan.

Lihat saja projek kereta cepat Jakarta–Bandung. Alih-alih menjadi simbol kebangkitan teknologi, ia justru menjadi etalase dari bagaimana negosiasi ulang, pembengkakan biaya, dan tarik-menarik kepentingan bisa menjadi lebih penting daripada efisiensi atau kebermanfaatan bagi publik. Projek itu selesai, memang, tapi di antara yang tersisa di benak rakyat adalah kecurigaan mark up ketimbang kisah modernisasi transportasi publik.  Tentu, para insinyur Tiongkok yang bekerja di situ tetap bekerja sebagaimana insinyur.  Tentu, para penumpang senang dengan hasilnya, dan jadi ‘hobi’ berkendara yang baru.  Tapi kita tahu ada pembicaraan-pembicaraan soal transparansi yang seakan haram diangkat ke permukaan.

Di negeri para calo, rencana jangka panjang hanyalah tulisan di brosur produk yang ditulis agar bisa ditawar. Indonesia tak kekurangan dokumen visi, misi, dan strategi. Ada RPJP, RPJM, dan berbagai dokumen bercetak mewah yang dipamerkan dan diperbincangkan di berbagai forum internasional. Namun semua itu cair seperti air hujan di jalanan Jakarta—beberapa waktu saja menggenang, lalu surut.

Yang benar-benar menentukan ‘arah’ pembangunan bukanlah garis tegas di dokumen-dokumen itu, melainkan kesepakatan jangka pendek di ruang-ruang rapat tertutup, atau di kafe-kafe tempat perjumpaan politisi dan pengusaha. Jika ada investor yang datang membawa proposal bisnis tertentu, maka strategi industri bisa belok mendadak demi akomodasi pada pengambil kebijakan. Jika seorang kepala daerah butuh panggung menjelang pilkada, anggaran pembangunan bisa dipoles ulang supaya cepat terlihat hasilnya—lalu bisa dibikin bahan kampanye. Dengan begitu, visi jangka panjang selalu tunduk pada logika “deal dulu, rencana sih bisa disesuaikan”.

Efisiensi, yang dalam negeri insinyur adalah tujuan utama, justru dianggap musuh bersama di negeri para calo. Coba bayangkan sebuah projek dijalankan dengan transparan, cepat, dan murah. Apa artinya? Ruang sempit sekali untuk komisi, tidak ada alasan untuk biaya tambahan, dan tidak ada kesempatan untuk memainkan tender. Karena itu, inefisiensi justru dipelihara. Lihat saja projek e-KTP yang tersandung kasus korupsi triliunan rupiah itu. Alih-alih menjadi basis data kependudukan modern, ia berubah menjadi ladang bancakan. Semakin rumit dan berliku prosedurnya, semakin panjang rantai perantaranya, semakin banyak pihak yang bisa kebagian ‘kue pembangunan’. Di negeri ini, efisiensi dianggap berbahaya—untuk tidak menyebutnya subversif, karena ia memutus jalur rente.

Dalam hal keberlanjutan, negeri para calo piawai bermain kata-kata. Hampir setiap pidato pejabat kini dihiasi istilah transisi energi, green economy, juga sustainable development goals. Tetapi begitu lampu konferensi padam, logika yang berlaku tetaplah logika rente. Panel surya dan kendaraan listrik hanya didorong sejauh ada insentif fiskal dan peluang rente dari impor komponen. Program restorasi gambut atau mangrove seringkali berjalan hanya selama ada dana hibah internasional. Begitu dana habis, projek pun selesai, seakan-akan keberlanjutan hanya urusan sebatas periode pencairan anggaran. Ibu Kota Nusantara bahkan diklaim sebagai kota hutan berkelanjutan, tanpa kita semua tahu neraca lingkungan dan rona awal di wilayah pembangunannya. Greenwashing di negeri para calo itu seakan jadi norma, yang sebetulnya adalah salah satu cara untuk menutup-nutupi pesta rente.

Sifat calo ini melahirkan wajah pembangunan yang khas. Kapasitas teknis bukan ukuran utama, karena kelihaian melobi jadi begitu kentara. Seorang pejabat yang pandai negosiasi kursi lebih dihargai daripada teknokrat yang paham desain kebijakan. Hukum sengaja dibiarkan abu-abu kehitaman agar bisa dinegosiasikan, bukan ditegakkan secara konsisten. Stabilitas politik dijaga bukan melalui meritokrasi, melainkan dengan membagi kursi dan projek agar semua pihak kebagian jatah. Inovasi struktural seperti reformasi agraria atau industrialisasi hanya sebatas slogan, karena di meja para calo yang terpenting adalah siapa dapat apa, bukan apa yang benar-benar dibutuhkan bangsa.

Konsekuensinya mudah ditebak. Pembangunan jadi semacam tari poco-poco: ada projek besar yang bikin headline, tapi manfaatnya selalu setengah matang, ada langkah majunya, tapi jumlah langkah mundur kira-kira persis sama. Kesenjangan struktural menganga, karena akses ke kue pembangunan hanya terbuka bagi yang dekat dengan lingkaran gaul percaloan. Daya saing global pun stagnan, dan beberapa kali malah turun secara perlahan, karena energi bangsa habis untuk tawar-menawar internal ketimbang berinovasi. Bahkan mimpi besar “Indonesia Emas 2045” pun terancam menjadi sekadar etalase, sebab di balik layar, perhitungan tetap kembali ke soal berapa persen yang bisa dikantongi.  Indonesia Emas?  Mungkin lebih tepat Indonesia gemas, cemas, lalu lemas.

Namun, harus diakui, negeri para calo ini punya daya tahan yang unik. Justru karena mereka mahir berkompromi, bangsa ini bisa tetap berjalan meski penuh kontradiksi. Semua pihak mendapat sedikit bagian, tidak ada yang benar-benar kalah.  Dan karenanya bisa terus berjalan, walau tertatih kalau dilihat dari tujuan jangka panjang yang seharusnya dicapai.

Pertanyaan kemudian: apakah bangsa ini cukup puas hanya menjadi pasar kompromi? Apakah cukup puas dengan pembangunan yang lebih banyak menjadi katalog projek ketimbang agenda transformasi?

Indonesia mungkin tidak ditakdirkan selamanya menjadi negeri para calo. Potensi kita sebetulnya besar.  Rakyat Indonesia sungguh kreatif, sumberdaya alam tertentu masih melimpah dan bisa dioptimalkan pemanfaatannya secara berkelanjutan, posisi geopolitik kita strategis.

Tetapi untuk keluar dari mentalitas calo, kita butuh keberanian memutus rantai rente. Institusi harus diperkuat agar hukum tak lagi bisa dinegosiasikan. Perencanaan harus dijalankan oleh teknokrat yang paham arah pembangunan, setelah mendengarkan masukan masyarakat dengan saksama—bukan malah tunduk pada pengaruh politisi yang pandai melobi atau bohir mereka yang menyuap demi kebijakan, projek, dan izin yang sesuai dengan kepentingan menebalkan kocek mereka. Keberlanjutan, restorasi, dan regenerasi harus benar-benar dijadikan kompas, bukan cuma terpampang di poster seminar.

Dan Wang tidak menulis tentang Indonesia. Tapi dengan logika yang dia perkenalkan dalam Breakneck, jelaslah bahwa bangsa bisa dibaca dari DNA pembangunannya. Tiongkok negeri insinyur, Amerika negeri pengacara, dan Indonesia—untuk saat ini—masihlah negeri para calo.  DNA-nya, sama dengan DNA lain: ATCG.  Tetapi di sini ATCG berarti Aku Taunya Cuan Guedeeee.

Kami bertiga sungguh berharap semoga label itu hanya sementara. Sebab bangsa ini sesungguhnya pantas jadi negeri perancang, bukan sekadar negeri perantara; negeri yang membangun masa depan, bukan negeri yang sekadar menghitung komisi.

Jakarta, 26 September 2025