Garis Batas Tipis antara Ambisi dan Delusi
Oleh: Jalal
Pidato Presiden Trump di Sidang Umum PBB tanggal 23 September 2025 bakal dikenang dalam buku-buku sejarah sebagai sebuah deklarasi paling tegas terkait filosofi America First dalam hubungan internasional. Pidato ini dilontarkan dengan latar belakang dunia yang sedang bergulat dengan konflik besar di Ukraina dan Palestina, serta pengakuan terhadap kedaulatan negara Palestina yang disampaikan oleh para sekutu tradisional Amerika Serikat. Dengan gaya konfrontatif yang khas [baca: pandir], Trump tidak hanya memuji pencapaian domestiknya—yang hampir seluruhnya palsu—tetapi juga secara tajam mengkritik institusi multilateral seperti PBB, sekutu Eropa, dan kerangka kerja global mengenai migrasi dan perubahan iklim.
Pidato itu jelas bukan laporan tentang kebijakan yang biasa, melainkan sebuah pertunjukan visi dunianya yang, buat kebanyakan pengamat, distopis. Di benak Trump, dunia sekarang adalah sebuah arena di mana negara-negara berdaulat yang kuat bersaing demi kepentingan nasional mereka, tidak terbebani oleh apa yang ia anggap sebagai ‘idealisme globalis’ yang gagal dan mahal—alih-alih manfaat kolektif untuk seluruh warga dunia.
Pagi ini, ketika mata saya baru membuka, beberapa WAG yang saya ikuti dipenuhi dengan kiriman berita soal pidato Trump itu. Tiga jurnalis mengirimkan pertanyaan dan meminta komentar saya. Tak yakin punya waktu untuk mendengarkan pidatonya secara lengkap—sekitar 1 jam—saya memasukkan tautan pidato tersebut ke NotebookLM, lalu meminta masing-masing lima kutipan yang paling menggambarkan pandangan Trump soal hubungan internasional dan tentang keberlanjutan. Komentar saya berikut akan menguraikan masing-masing lima kutipan tersebut lalu mengevaluasi implikasinya terhadap tatanan global dan agenda keberlanjutan.
Hubungan Internasional: Unilateral dan Transaksional
Lima tema berikut menyoroti pendekatan transaksional, nasionalistis, dan sering kali unilateral Trump terhadap diplomasi dan keamanan global.
Pertama, penolakan multilateralisme dan kritik terhadap PBB sebagai proksi multilateralisme. Trump secara terbuka memertanyakan relevansi dan efektivitas PBB, secara langsung di hadapan badan yang ia kritik itu. Ia menyatakan “That being the case, what is the purpose of the United Nations? The UN has such tremendous potential… but it’s not even coming close to living up to that potential… all they seem to do is write a really strongly worded letter… It’s empty words and empty words don’t solve war.”
Kritik ini merangkum skeptisismenya yang mendalam terhadap lembaga-lembaga multilateral. Trump sejak awal memosisikan PBB sebagai birokrasi yang tidak efektif dan boros, yang gagal dalam misi utamanya untuk menjaga perdamaian. Sebaliknya, ia menyoroti pencapaian pribadinya dalam menengahi perdamaian, dengan mengklaim telah mengakhiri tujuh perang dalam tujuh bulan tanpa bantuan PBB. Pendekatan ini secara mendasar menantang tatanan liberal pasca-Perang Dunia II, yang dibangun di atas fondasi kerjasama dan institusi kolektif. Dengan meremehkan PBB di hadapan para anggotanya, Trump menegaskan kembali keyakinannya bahwa tindakan unilateral oleh negara-negara kuat, khususnya Amerika Serikat, lebih efektif daripada diplomasi kolektif.
Kedua, diplomasi transaksional dan penggunaan ancaman ekonomi. Pendekatan Trump terhadap sekutu dan musuh sama-sama bersifat transaksional, menggunakan pengaruh ekonomi AS sebagai alat utama kebijakan luar negeri, seperti yang dia nyatakan dalam kalimat “In the event that Russia is not ready to make a deal to end the war, then the United States is fully prepared to impose a very strong round of powerful tariffs, which would stop the bloodshed, I believe, very quickly.”
Trump secara konsisten memandang hubungan internasional melalui lensa untung-rugi ekonomi—sebagaimana layaknya pengusaha kapitalistik yang merupakan identitasnya sejak awal. Dalam kasus Rusia, ia menawarkan tarif sebagai solusi untuk mengakhiri perang di Ukraina. Namun, ia memersyaratkan tindakan ini pada kepatuhan sekutu Eropa untuk berhenti membeli energi Rusia. Hal ini menunjukkan model kebijakan luar negerinya, di mana aliansi tidaklah didasarkan pada nilai-nilai bersama tetapi pada kontribusi finansial dan keselarasan kepentingan ekonomi. Ia juga menyoroti ‘keberhasilannya’ dalam menekan anggota NATO untuk meningkatkan pengeluaran pertahanan dari 2% menjadi 5% dari PDB, membingkainya sebagai kesepakatan yang lebih baik untuk Amerika—tentu dari sudut pandang produsen senjata. Pendekatan ini jelas mengasingkan persekutuan tradisional yang terbiasa dengan hubungan yang lebih kolaboratif dan berbasis nilai.
Ketiga, prioritas kedaulatan nasional—terutama AS—di atas segalanya. Tema kedaulatan mungkin adalah inti terpenting dari pidato Trump, terutama dalam konteks kebijakan perbatasan dan imigrasi. Kutipan: “We have reasserted that America belongs to the American people, and I encourage all countries to take their own stand in defense of their citizens as well… every sovereign nation must have the right to control their own borders,” mewakili pendirian tersebut.
Trump menggambarkan migrasi tidak terkendali sebagai ancaman eksistensial terhadap kedaulatan, budaya, dan keamanan nasional, tidak hanya untuk AS tetapi juga untuk Eropa. Ia mengkritik PBB karena “mendanai serangan terhadap negara-negara Barat dan perbatasan mereka”, yang tentu saja sama sekali tidak benar. Visi ini secara langsung bertentangan secara diametrikal dengan kerangka hukum internasional tentang pengungsi dan pencari suaka. Dengan menyatakan bahwa negara-negara dipaksa harus melindungi komunitas mereka dari “orang-orang yang belum pernah mereka lihat sebelumnya, dengan adat, agama, dengan segalanya yang berbeda”, ia mempromosikan visi etno-nasionalisme—atau lebih tepatnya supremasi kulit putih—yang menolak gagasan masyarakat multikultural yang didukung oleh banyak negara liberal-demokratis.
Keempat, projeksi kekuatan militer sebagai alat diplomasi utama. Trump tidak segan-segan menyoroti superioritas militer AS dan kesediaannya untuk menggunakannya secara sepihak untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri. Dia bilang “Three months ago, in Operation Midnight Hammer, seven American B-2 bombers dropped… bombs on Iran’s key nuclear facilities, totally obliterating everything. No other country on earth could have done what we did.”
Deskripsi yang gamblang tentang serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran ini berfungsi sebagai demonstrasi kekuatan AS dan penolakannya terhadap jalur diplomasi tradisional terkait non-proliferasi. Ia secara eksplisit menuduh Iran mendalangi terorisme dengan menyatakan bahwa “dunia tidak akan pernah mengizinkan memiliki senjata paling berbahaya bagi sponsor teror nomor satu di dunia”. Setelah serangan itu, ia mengklaim telah “segera menengahi berakhirnya perang 12 hari” antara Israel dan Iran. Pendekatan ini—penggunaan kekuatan militer yang luar biasa diikuti oleh mediasi pribadi—mencerminkan keyakinannya pada penciptaan ‘perdamaian’ melalui kekuatan militer. Tentu saja, pendekatan ini meningkatkan risiko eskalasi konflik dan mengabaikan perjanjian internasional yang dirancang untuk mengelola ancaman semacam itu secara damai. Iran tak punya fasilitas pengolahan nuklir menjadi bom, seperti yang sudah dinyatakan oleh para peninjau internasional, dan sponsor terorisme nomor satu, seperti yang sudah banyak diungkap oleh pengamat terorisme global, adalah AS dengan Israel sebagai tangan kanannya.
Kelima, pendekatan personal terhadap konflik global. Trump berulang kali menekankan hubungan pribadinya dengan para pemimpin dunia sebagai kunci untuk menyelesaikan konflik, menyiratkan bahwa diplomasinya lebih unggul daripada proses institusional. Hal itu misalnya bisa dideteksi melalui kalimat “I thought that would be [stopping the war in Ukraine] the easiest because of my relationship with President Putin, which had always been a good one.”
Kepercayaan Trump pada hubungan personalnya, baik dengan sekutu seperti Perdana Menteri Netanyahu maupun musuh seperti Presiden Putin, adalah ciri khas diplomasinya—dan sudah menjadi bahan tertawaan di dalam negeri AS dan di antara pemimpin dunia. Ia menyajikan penyelesaian konflik bukan sebagai hasil dari negosiasi yang rumit atau tekanan internasional, tetapi sebagai produk dari pemahaman pribadinya dan kemampuan tawar-menawarnya yang kerap ia gambarkan sebagaimana ancaman pimpinan mafia. Meskipun pendekatan ini terkadang dapat memecah kebuntuan diplomatik, pendekatan ini juga sangat tidak dapat diprediksi dan dapat merusak aliansi dan struktur diplomatik jangka panjang yang memberikan stabilitas pada hubungan internasional. Hasilnya juga tak ada yang efektif, kecuali di benak Trump sendiri. Hal ini membuat kebijakan luar negeri sangat bergantung pada kepribadian pemimpin, bukan pada kepentingan nasional yang konsisten serta komitmen pada perjanjian yang dibuat.
Penolakan Mentah-mentah atas Keberlanjutan
Selain tentang hubungan internasional, Trump menggunakan panggungnya untuk menyerang ide dan praktik keberlanjutan. Lima tema berikut menunjukkan penolakan Trump terhadap konsensus ilmiah dan kerangka kerja global tentang isu-isu keberlanjutan.
Pertama, penolakan terhadap ilmu iklim dan kebijakan energi hijau. Trump secara agresif menyerang dasar-dasar kebijakan iklim, menyebutnya sebagai penipuan yang merusak ekonomi. Dia bilang “It’s the greatest con job ever perpetrated on the world, in my opinion. Climate change… If you don’t get away from this green scam, your country is going to fail”. Sebagai seorang scammer sepanjang hidupnya, yang telah dihukum oleh pengadilan berkali-kali dengan denda yang sangat besar, kalimat tersebut agaknya adalah ironi paling dahsyat yang disampaikan sepanjang pidatonya.
Jelas Trump tidak hanya memertanyakan kebijakan iklim. Ia menolak seluruh premisnya. Ia mencap peringatan PBB tentang perubahan iklim sebagai prediksi yang salah dari yang ia sebut sebagai “orang-orang bodoh” dan karenanya ia menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris yang disebutnya palsu. Penolakan total ini memiliki implikasi besar bagi upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Dengan memromosikan narasi bahwa kebijakan hijau adalah skema untuk merusak ekonomi negara-negara maju, ia menciptakan perpecahan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan, sebuah dikotomi yang coba diatasi oleh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Trump, tentu saja, tak percaya pada manfaat SDGs sama sekali.
Kedua, promosi secara agresif ‘keunggulan’ bahan bakar fosil. Sejalan dengan penolakannya terhadap energi hijau, Trump mengadvokasi ekspansi tanpa hambatan terhadap produksi dan konsumsi bahan bakar fosil. Dia bilang “We’re getting rid of the falsely named renewables. By the way. They’re a joke. They don’t work… We have an expression drill, baby drill… I call it clean, beautiful coal.”
Trump memuji bahan bakar fosil sebagai landasan kemakmuran dan kekuatan nasional AS. Ia mengkritik energi terbarukan seperti tenaga angin sebagai “menyedihkan,” “mahal,” dan tidak dapat diandalkan—yang bertentangan dengan data di AS sendiri. Ia secara aktif memromosikan minyak, gas, dan apa yang ia sebut “batu bara yang bersih dan indah”—yang sudah ia nyatakan berulang kali di berbagai kesempatan sambil menggerakkan tangannya seperti menyikat—lalu menawarkan untuk mengekspor pasokan energi AS ke negara lain. Kebijakan ini secara langsung bertentangan dengan sains soal carbon budget dan urgensi transisi energi global yang sangat penting untuk mencapai target iklim. Dengan mengabaikan biaya eksternalitas dari bahan bakar fosil—seperti polusi udara dan dampak iklim yang dalam perkiraan tertentu sudah melampaui USD200 per tonnya—ia memrioritaskan keuntungan ekonomi jangka pendek di atas keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi jangka panjang.
Ketiga, keberlanjutan sosial yang terancam oleh migrasi. Trump mengaitkan migrasi secara langsung dengan runtuhnya keberlanjutan sosial—dalam pengertian etno-nasionalisme, tentunya—dan keamanan di negara-negara Barat. Hal itu misalnya tercermin dalam kalimat “Both the immigration and their suicidal energy ideas will be the death of Western Europe if something is not done immediately. They cannot. This cannot be sustained.”
Dalam pandangan Trump, ‘keberlanjutan’ adalah juga tentang pelestarian kohesi sosial dan budaya berdasarkan ide supremasi kulit putih yang dia anut. Ia berpendapat bahwa migrasi massal itu tidaklah berkelanjutan karena membebani jaring pengaman sosial, meningkatkan kejahatan, dan mengikis identitas nasional—yang lagi-lagi bakal dengan mudah disangkal lewat data dari AS sendiri. Dengan mengutip statistik yang sumir tentang kejahatan di Eropa, ia melukiskan gambaran di mana kebijakan perbatasan terbuka mengarah langsung pada kehancuran sosial. Argumen ini mengubah perdebatan dari manajemen migrasi yang manusiawi menjadi masalah keamanan nasional yang eksistensial, serta mengabaikan kontribusi positif yang telah dan terus akan diberikan oleh imigran terhadap masyarakat dan ekonomi. Ekstremis sayap kanan di AS dan Eropa tentu bakal senang dengan pernyataan tersebut, dan akan menggunakannya untuk kepentingan meningkatkan pengaruh mereka.
Keempat, kerangka regulasi lingkungan sebagai hambatan ekonomi. Trump jelas memandang peraturan lingkungan bukan sebagai bentuk perlindungan tetapi sebagai penghalang yang tidak perlu bagi pertumbuhan ekonomi. Kutipan “We’ve implemented… the largest regulation cuts in American history, making this once and again the best country on earth to do business” sangat menegaskan pendirian tersebut.
Bagi Trump, deregulasi adalah komponen kunci untuk melejitkan potensi ekonomi Amerika. Ia menyalahkan apa yang dia sebut sebagai ‘aturan gila’ yang diberlakukan oleh negara-negara maju karena menyebabkan redistribusi manufaktur ke ‘negara-negara pencemar yang melanggar aturan’—dia menyebut Asia sebagai benua yang bertanggung jawab pada penciptaan sampah di laut, tanpa mengapresiasi kemajuan-kemajuan di benua ini dalam menurunkan emisi dan beragam bentuk polusi. ‘Filosofi’ yang dianut Trump ini menempatkan perlindungan lingkungan dalam pertentangan langsung dengan daya saing ekonomi. Pendekatan ini mengabaikan konsep bahwa peraturan yang dirancang dengan baik dapat mendorong inovasi, menciptakan jutaan pekerjaan hijau, dan menghasilkan manfaat kesehatan dan lingkungan jangka panjang, yang pada akhirnya mendukung kondisi ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
Kelima, nasionalisme sumberdaya dan skeptisisme terhadap ketergantungan global. Visi keberlanjutan Trump berakar pada kemandirian nasional, terutama dalam hal energi dan sumberdaya. Dia misalnya menyatakan “The primary effect of these brutal green energy policies has not been to help the environment, but to redistribute manufacturing and industrial activity from developed countries… to polluting countries.”
Trump menolak gagasan bahwa negara-negara industri maju harus menanggung beban transisi energi global, yang ia lihat sebagai pengorbanan yang merugikan diri sendiri. Sebaliknya, ia menganjurkan nasionalisme sumberdaya, di mana Amerika Serikat memanfaatkan cadangan energi fosilnya yang melimpah untuk mencapai dominasi energi dan keamanan ekonomi. Sikap ini menolak prinsip common but differentiated responsibilities, yang merupakan landasan banyak perjanjian lingkungan internasional. Ia menolak pendekatan globalis di mana negara-negara bekerja sama untuk mengatasi masalah bersama, dan sebaliknya, ia memromosikan dunia di mana setiap negara memaksimalkan segala sesuatu untuk keuntungannya sendiri, tanpa peduli dampaknya pada negara-negara lain, apalagi pada generasi mendatang.
Dunia Tanpa Norma
Pidato Presiden Trump di Sidang Umum PBB, sekali lagi, menegaskan visi dunianya yang sangat nasionalistis dan transaksional. Dari perspektif hubungan internasional, ia menolak multilateralisme demi tindakan unilateral yang didukung oleh kekuatan militer dan ekonomi AS. Ia memandang aliansi sebagai kemitraan pragmatis, bukan sebagai komitmen terhadap nilai-nilai bersama, sehingga segala sesuatu menjadi sangat rapuh. Dari sudut pandang keberlanjutan, ia secara fundamental menolak konsensus global tentang perubahan iklim, memromosikan bahan bakar fosil yang membahayakan masa depan dunia, dan menimpakan krisis sosial pada migrasi.
Pidato tersebut juga menggarisbawahi pergeseran radikal dari norma-norma diplomatik dan lingkungan pasca-Perang Dunia II. Pidato ini mengusulkan sebuah tatanan dunia di mana negara-bangsa yang berdaulat adalah aktor utama, yang tanpa penyesalan mengejar kepentingan mereka masing-masing dalam arena global yang berkompetisi dalam hukum rimba. Bagi para pendukungnya, para oligarkh di AS, ini adalah resep—betapapun delusionalnya—untuk memulihkan kekuatan dan kemakmuran nasional. Bagi para kritikusnya, ini adalah cetak biru yang paling kentara dalam mengikis institusi global, merusak aliansi, dan meninggalkan tanggung jawab kolektif untuk mengatasi tantangan paling mendesak di planet ini. Pidato ini, dengan demikian, adalah tantangan yang brutal terhadap tatanan dunia seperti yang kita kenal—dan sudah seharusnya dijawab dengan lantang oleh siapapun yang menginginkan tata dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Bandung, 24 September 2025
Leave A Comment