Asia Tenggara adalah rumah bagi masyarakat adat, the Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) menyebutkan 200 juta dari sekitar 370 juta Masyarakat Adat di dunia berada di Asia. Mereka adalah peradaban yang memiliki tradisi dan sistem pengetahuan yang telah lama dipegang teguh, yang mengutamakan hubungan dan rasa hormat mereka terhadap alam, lingkungan, dan semua makhluk hidup. Hal ini terbukti dalam praktik-praktik mereka, seperti sistem pangan tradisional dan pengelolaan sumber daya alam, yang telah diwariskan turun-temurun.

“Pengetahuan Masyarakat Adat (IKS) bukan hanya sekadar peninggalan sejarah. Tetapi sebuah alat yang dinamis dan praktis untuk beradaptasi (terhadap krisis iklim),” jelas Pirawan Wongnithisathaporn, Environment Program Officer the Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) dalam 2nd Southeast Asia Regional Forum 2025 on Indigenous Peoples’ Rights and Climate Change in a Digital Era di Bogor (10/8).

Meskipun demikian, Masyarakat Adat menghadapi tantangan berat – perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan kerusakan ekosistem serta keanekaragaman hayati. Darurat iklim telah menjadi kenyataan sehari-hari, yang tidak hanya membawa bencana fisik dan ekonomi, tetapi juga dampak negatif tak berwujud yang kini secara resmi diakui sebagai “kerugian dan kerusakan iklim”. Masyarakat Adat dan komunitas yang bergantung pada sumber daya alam menanggung beban terberat dari dampak ini, seperti kegagalan pertanian dan hilangnya mata pencaharian.

Dalam banyak kasus, Masyarakat Adat tidak diakui oleh pemerintah, dan hak-hak mereka dilanggar, terutama akibat perampasan tanah, persaingan sumber daya, dan penggusuran demi kepentingan perusahaan dan sektor swasta. Pemerintah seringkali menggunakan kepentingan ekonomi sebagai pembenaran untuk merampas hak atas tanah Masyarakat Adat, mengusir masyarakat dari rumah mereka, dan memblokir akses mereka ke wilayah adat. Aktivitas ekstraktif dan pertambangan, pembukaan lahan besar-besaran, dan perusakan hutan terjadi di banyak wilayah adat, mengancam kelangsungan hidup flora dan fauna lokal.

Meskipun perhatian internasional terfokus pada pendanaan iklim dan berbagai model pemasaran karbon, pertanyaan krusial tetap ada: akankah hal ini benar-benar menguntungkan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL)? Masih terdapat perdebatan sengit mengenai siapa yang diuntungkan dari model pendanaan iklim yang rumit, dan isu-isu yang ada terus menghalangi akses yang adil terhadap pendanaan bagi Masyarakat Adat.

Menambah lapisan kompleksitas lainnya, digitalisasi dan kecerdasan buatan (AI) dipromosikan sebagai solusi “hijau” untuk krisis iklim. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: sejauh mana “teknosolusionisme” ini mengaburkan konsumsi energi yang besar, ekstraksi sumber daya, dan potensi erosi pengawasan demokratis yang muncul seiring dengan peningkatan infrastruktur digital? Apakah kita hanya menukar satu rangkaian tantangan lingkungan dan sosial dengan tantangan lainnya di bawah arahan inovasi?

Bagi Masyarakat Adat, era digital merupakan berkah sekaligus kutukan. Meskipun digitalisasi dapat memberdayakan mereka untuk menegaskan kedaulatan data dan memperjuangkan hak-hak mereka, digitalisasi juga menghadapkan mereka pada risiko baru berupa pengawasan, eksklusi, dan eksploitasi sumber daya.

Terlalu sering, hak digital dan keadilan lingkungan diupayakan secara terpisah, padahal keduanya krusial untuk melindungi Masyarakat Adat dari bahaya. Fragmentasi ini membuat komunitas-komunitas ini rentan di berbagai bidang.

Forum Regional Asia Tenggara ke-2 2025: Krisis Iklim dan Era Digital

Isu-isu yang saling terkait ini menjadi dasar bagi Forum Regional Asia Tenggara ke-2, yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Pakta Masyarakat Adat Asia (AIPP), IT for Change, Adaptation Research Alliance & Stockholm Environment Institute, Tifa Foundation, dan Samdhana Institute.

Forum regional ini mempertemukan komunitas, organisasi, dan masyarakat sipil untuk membahas keprihatinan bersama ini pada 10-11 Agustus 2025, di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Sebelumnya pembukaan Regional Forum ini telah dilakukan bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) yang dilaksanakan di Guradog, 9 Agustus 2025 bersama AMAN.

Ruang ini ditujukan sebagai platform penjangkauan dan pertukaran pembelajaran yang akan menjadi kesempatan untuk mengkonsolidasikan berbagai percakapan yang saat ini sedang berlangsung di antara komunitas, jaringan, dan pemangku kepentingan masyarakat adat lainnya, seputar upaya untuk mengatasi tantangan dan keadaan darurat yang mereka alami. “Kami sangat bersyukur dengan adanya ruang seperti ini, memberi kesempatan untuk masyarakat adat dan komunitas lokal di daerah-daerah untuk berpartisipasi dan berbagi,” kata Romba’, masyarakat adat Toraja (Indonesia), yang juga beberapa kali disampaikan oleh partisipan lainnya dengan pesan yang sama.

Forum ini juga bertujuan untuk memperkuat pesan bahwa masyarakat adat dan pengetahuan lokal adalah kunci dan solusi bagi krisis iklim – hal ini harus diakui dan hak-hak mereka harus dihormati. Melalui forum regional ini, Penyelenggara berharap dapat lebih meningkatkan diskusi mengenai isu-isu digitalisasi, yaitu terkait Pengetahuan Masyarakat Adat (IKS), biopiracy, privasi dan kedaulatan data, keamanan dan perlindungan masyarakat adat, komunitas lokal, serta perempuan, pembela lingkungan, dan hak asasi manusia.

Diskusi ini menghasilkan “The Bogor Call to Action 2025” yang berisikan komitmen bersama dan rekomendasi sebagai tindak lanjut kegiatan. Dokumen ini merupakan penegasan bahwa pengakuan penuh hak-hak masyarakat adat dunia tetap menjadi jalan utama menuju ketahanan iklim dan keadilan digital kita.

Pada tahun 2019, AMAN dan Samdhana Institute, bersama dengan Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), dan Tebtebba, bersama-sama menyelenggarakan Forum Regional SEA ke-1 di Yogyakarta, Indonesia. Forum ini didukung oleh Stockholm Environment Institute-Asia, Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI), dan Forest Foundation Philippines (FFP).

Narahubung

Radhitya: +62 811-812-085
Anggit: +62 8118107270