Air melimpah di bumi. Namun hanya 2,5% air di bumi yang bisa dikonsumsi. Sebanyak 97,5% adalah air asin yang berdiam di lautan. Dari 2,5% air tawar tersebut, banyak sumber air yang sudah tercemar atau mengering. Situ, rawa, paya menghilang menjadi pemukiman atau bangunan. Lahan basah yang masih ada, seperti danau, sungai terus dicemari oleh manusia, menjadi tempat pembuangan sampah. Sehingga saat cuaca dan iklim semakin ekstrem, penduduk dunia juga semakin sulit mendapatkan air bersih.

Pemicunya adalah ulah manusia sendiri. Manusia terus menghasilkan polusi gas rumah kaca pemicu krisis perubahan iklim dan pemanasan global. Perilaku manusia yang jorok masih terus berlanjut, terutama di Indonesia, apapun jenjang pendidikannya. Jarang kita melihat badan air yang bersih terjaga. Air permukaan selalu kotor oleh sampah dan limbah industri maupun rumah tangga.

Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) berjudul “State of Global Water Resources” yang diterbitkan di Jenewa, hari ini, 29 November 2022 memaparkan efek perubahan iklim, lingkungan, dan masyarakat terhadap sumber daya air di bumi.

Salah satu dampak dari krisis iklim adalah kekeringan yang makin ekstrem. Juga semakin ekstremnya cuaca seperti hujan yang berkepanjangan – yang apabila digabung dengan lagi-lagi perilaku manusia yang tidak peduli, jorok membuang sampah, tidak becus merawat dan justru merusak lingkungan, menebang hutan sembarangan – akan memicu bencana seperti banjir, tanah longsor dan sebagainya.

Saat kekeringan tentu saja air bersih semakin langka.  Sementara saat banjir, masyarakat susah memperoleh air bersih walau air melimpah menenggelamkan jiwa dan harta benda. Air banjir yang mengelilingi kita tentu tak bisa dikonsumsi karena bercampur dengan kotoran, limbah dan sampah. Juga saat terjadi gempa, masyarakat semakin merana jika infrastruktur air bersih rusak sementara persediaan air di permukaan seperti di situ, rawa dan paya sudah banyak yang hilang, mengering dan tercemar akibat limbah manusia. Bahkan lautan dan seisinya pun dicemari oleh limbah dan sampah manusia!

Manusia yang tidak pernah mengalami bencana dan kekurangan air bersih seringkali jumawa melupakan atau mengabaikan masalah ini. Padahal, saat mereka menghadapi masalah air yang kecil saja – seperti saat mesin air mereka mati – mereka kesulitan untuk bisa bersuci. Kehidupan mereka akan jungkir balik, air untuk minum dan memasak, ibadah tidak tersedia, namun manusia terus lupa, terus merusak bumi dan seisinya demi kepentingan sesaat.

Kembali ke laporan WMO, laporan ini memberikan gambaran tentang ketersediaan air tawar (fresh water) di bumi, mengenai aliran sungai, risiko terjadinya banjir besar dan kekeringan. Gambaran tentang kondisi penyimpanan air tawar, peran penting “cryosphere” (salju dan es) sebagai cadangan air dan potensi masalahnya.

Bumi semakin kering

Menurut laporan “State of Global Water Resources”, kondisi wilayah bumi yang luas, lebih kering dari biasanya pada tahun 2021 – tahun di mana pola curah hujan dipengaruhi oleh perubahan iklim dan peristiwa La Niña. Data hidrologi selama 30 tahun terakhir menunjukkan, wilayah yang memiliki debit aliran sungai di bawah rata-rata, jumlahnya dua kali lebih banyak dibanding wilayah dengan debit aliran sungai di atas rata-rata.

“Dampak perubahan iklim sering dirasakan dengan melihat kondisi air – kekeringan semakin parah dan semakin sering, banjir menjadi lebih ekstrem, curah hujan musiman menjadi lebih tidak menentu, dan pencairan gletser semakin cepat – dengan dampak berjenjang kepada ekonomi, ekosistem, dan semua aspek kehidupan kita sehari-hari,” ujar Prof. Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO.

“Laporan State of Global Water Resources bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan dan memberikan gambaran ringkas tentang ketersediaan air di berbagai belahan dunia. Laporan ini bisa memandu aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta kampanye Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan akses universal terhadap sistem peringatan dini bahaya seperti banjir dan kekeringan,” tutur Prof. Taalas.

Laporan WMO mencatat, saat ini, 3,6 miliar orang mengalami kekurangan air setidaknya sebulan dalam setahun. Jumlah ini diperkirakan akan naik menjadi lebih dari 5 miliar pada tahun 2050. Antara 2001 dan 2018, UN-Water melaporkan, 74% dari semua bencana alam di dunia adalah bencana terkait dengan air (hidrometeorologi).

Konferensi perubahan iklim PBB baru-baru ini, COP27, mendesak pemerintah untuk lebih mengintegrasikan air ke dalam upaya adaptasi perubahan iklim dan masalah air untuk pertama kalinya dirujuk dalam dokumen hasil COP sebagai bukti besarnya masalah yang dihadapi.

Wilayah-wilayah yang terus mengalami kekeringan termasuk wilayah Rio de la Plata di Amerika Selatan, yang sudah mengalami kekeringan sejak 2019. Wilayah lainnya adalah Amazon Selatan dan Tenggara, dan cekungan di Amerika Utara termasuk lembah sungai Colorado, Missouri dan Mississippi.

Di Afrika, sungai-sungai seperti Niger, Volta, Nil, dan Kongo debitnya terus berkurang di 2021 dibanding debit normal. Demikian pula, sungai-sungai di beberapa bagian Rusia, Siberia Barat dan di Asia Tengah yang tahun ini memiliki debit yang lebih rendah dari rata-rata.

Sementara itu, wilayah dengan debit sungai di atas normal ada di beberapa cekungan Amerika Utara, Amazon Utara dan Afrika Selatan (Zambezi dan Oranye), serta Cina (lembah sungai Amur) dan India utara. Setidaknya sepertiga wilayah yang dianalisis memiliki data rata-rata dalam 30 tahun terakhir.

Wilayah di Ethiopia, Kenya dan Somalia telah mengalami curah hujan di bawah rata-rata yang menyebabkan kekeringan regional selama beberapa tahun berturut-turut. Selain kekurangan air ekstrem, limpahan air ekstrem yang memicu banjir besar – yang mencabut ribuan jiwa – juga dilaporkan terjadi di China (Provinsi Henan), India utara, Eropa barat, dan negara-negara yang terkena dampak siklon tropis, seperti Mozambik, Filipina, Pakistan, termasuk di negeri kita tercinta Indonesia.

Kondisi simpanan air

Saatnya membahas kondisi penyimpanan semua air di permukaan tanah dan di bawah permukaan. Laporan WMO menyebutkan, pada tahun 2021, penyimpanan air terestrial diklasifikasikan berada dalam kondisi di bawah normal (dibandingkan dengan rata-rata yang dihitung dari 2002-2020) di pantai Barat AS, di bagian tengah Amerika Selatan dan Patagonia, Afrika Utara dan Madagaskar, Asia Tengah dan Timur Tengah, Pakistan dan India Utara.

Sementara penyimpanan air terestrial di atas normal ada di bagian tengah Afrika, bagian utara Amerika Selatan, khususnya cekungan Amazon, dan bagian utara Cina.

Dalam jangka panjang, laporan WMO menunjukkan, ada beberapa wilayah dengan tren penyimpanan air terestrial negatif yaitu di cekungan Rio São Francisco di Brasil, Patagonia, hulu Sungai Gangga dan Indus, serta AS barat daya. Sebaliknya, Wilayah Great Lakes menunjukkan anomali positif, seperti halnya cekungan Niger, Celah Afrika Timur, dan cekungan Amazon Utara.

Secara keseluruhan, tren negatif lebih mendominasi dibanding tren positif. Tren negatif penyimpanan air ini diperburuk oleh – lagi-lagi perilaku manusia – yang menyedot air tanah secara berlebihan untuk irigasi dan pertanian.

Mencairnya salju dan es juga berdampak signifikan terhadap penyimpanan air di beberapa wilayah termasuk Alaska, Patagonia dan Himalaya. Cryosphere (gletser, lapisan salju, lapisan es, termasuk permafrost) adalah tempat penyimpanan atau reservoir air tawar alami terbesar di dunia. Gunung sering disebut “menara air alami” karena dari gunung lah sebenarnya air sungai dan pasokan air tawar bagi kita, sekitar 1,9 miliar manusia di bumi, berasal.

Masalah mencairnya es ini juga terjadi Indonesia. Menurut daya BMKG, akibat kenaikan suhu bumi, ketebalan es di puncak Jaya Wijaya di Papua yang pada tahun 2020 mencapai 31,49 meter akan hilang sepenuhnya di tahun 2025, 3 tahun lagi. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada ketersediaan air untuk masyarakat Papua dan kelestarian lingkungan sekitar.

Perubahan kondisi sumber daya air di “cryosphere” berdampak pada ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, integritas dan kondisi ekosistem, serta pada pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat. Perubahan kondisi tersebut juga bisa memicu bahaya seperti banjir dari sungai dan banjir bandang akibat ledakan danau gletser.

Dengan kenaikan suhu bumi, volume air yang tumpah atau limpasan air dari gletser akan meningkat. Proyeksi jangka panjang dari perubahan periode dan volume limpasan gletser bisa menjadi informasi utama untuk memandu aksi adaptasi perubahan iklim dalam jangka panjang baik di skala lokal maupun regional.

Redaksi Hijauku.com