Laporan terbaru dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) berjudul Frontiers 2022: Noise, Blazes and Mismatches mengupas fenomena ini dan – Anda beruntung – memberikan solusinya.
Setiap edisi Frontiers memperkenalkan isu-isu lingkungan baru yang memiliki tantangan dan solusi yang berbeda. Masalah-masalah tersebut berefek mendalam terhadap kesehatan fisik dan mental, ekonomi, masyarakat, dan ekosistem kita.
Seperti judulnya, Frontiers 2022: Noise, Blazes, dan Mismatches mengidentifikasi tiga masalah lingkungan utama: polusi suara atau kebisingan, kebakaran hutan dan perubahan irama alam akibat perubahan iklim atau yang dikenal dengan istilah fenologi.
1. Polusi Suara atau Kebisingan
Frontiers 2022 menemukan, paparan polusi suara dalam jangka panjang adalah masalah lingkungan utama yang memengaruhi kesehatan mental dan fisik kita dari anak-anak hingga kelompok lansia.
Tidak hanya menyebabkan gangguan tidur dan sakit kepala, polusi suara juga berkontribusi memicu penyakit hipertensi, jantung koroner, diabetes dan kerusakan pendengaran permanen. Penelitian di Eropa menemukan paparan kebisingan dalam jangka panjang menjadi berkontribusi terhadap 12.000 kematian dini dan 48.000 kasus baru penyakit jantung iskemik (penyakit jantung yang memicu kekurangan oksigen: red.).
Penduduk kota-kota di seluruh dunia seperti Barcelona, Kairo dan New York menurut laporan ini terus terkena kebisingan tingkat tinggi. Tren ini meningkat di kota-kota besar lain di seluruh dunia.
Di New York, 90 persen pengguna transportasi publik terpapar tingkat kebisingan yang melebihi batas 70 dB yang disarankan. Di Kota Ho Chi Minh, pengendara sepeda terpapar tingkat kebisingan di atas 78 dB, yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen.
Efeknya tidak hanya dirasakan manusia, tingkat kebisingan yang tinggi juga mengganggu komunikasi akustik binatang yang hidup di perkotaan seperti burung, katak, dan serangga mengganggu kemampuan mereka untuk bertahan hidup.
Beberapa solusi untuk mengatasi masalah ini:
- Pepohonan di lingkungan perkotaan menyerap energi akustik dan menyebarkan kebisingan. Jajaran pepohonan, semak belukar, dinding hijau, dan atap hijau menarik kedatangan satwa liar, menghadirkan suara alam, mengurangi stress dan memperindah lingkungan.
- Pohon, khususnya, dapat membantu mengurangi polusi suara perkotaan. Misalnya, penempatan pohon yang disesuaikan bisa menghalangi dan mengurangi kebisingan jalan raya hingga 12 dB.
- Ruang hijau, halaman, dan taman kota yang tenang menjadi lokasi untuk relaksasi dari kebisingan yang bermanfaat bagi kesejahteraan mental kita.
- Upaya tidak langsung untuk mengurangi ruang bagi kendaraan bermotor seperti menambah jalur sepeda, zona rendah emisi, insentif bagi kendaraan listrik, akan mengurangi kebisingan dan meningkatkan kualitas udara.
- Ruang hijau di perkotaan selain berdampak mengurangi kebisingan juga menawarkan efek visual yang menyenangkan. Para perencana kota harus mempertimbangkan manfaat kesehatan dari ruang hijau ini saat merancang kota. Ruang hijau menawarkan solusi berbasis alam untuk masalah kebisingan atau polusi suara.
2. Kebakaran Hutan dan Perubahan Iklim
Kebakaran hutan adalah masalah lingkungan yang paling menonjol dalam laporan ini dan diprediksi akan memburuk di tahun-tahun mendatang.
- Kebakaran hutan semakin besar, berbahaya akibat dari perubahan iklim dan perilaku atau pengaruh manusia. Kebakaran merusak tidak hanya properti, namun juga kesehatan manusia, dan lingkungan.
- Pembukaan lahan, penggundulan hutan, ekspansi pertanian, hadirnya spesies invasif, pembangunan perkotaan dan perdesaan, dan manajemen kebakaran yang tidak tepat telah merusak siklus kebakaran alami.
- Sebagai akibat dari deforestasi dan fragmentasi hutan, kebakaran hutan sekarang mulai membakar daerah-daerah seperti hutan tropis yang lembab, yang jarang terbakar di masa lalu.
- Peristiwa cuaca ekstrem seperti suhu yang lebih panas dan lebih banyak kekeringan menyebabkan musim kebakaran menjadi lebih lama dan menciptakan kondisi cuaca yang memicu kebakaran.
- Frekuensi sambaran petir – salah satu pemicu kebakaran alami – diproyeksikan juga akan meningkat seiring perubahan iklim.
- Fenomena meningkatnya badai petir yang memicu api ini dilaporkan terjadi di Australia, Eropa, dan Amerika Utara dalam beberapa dekade terakhir. Badai petir ini berkontribusi pada kondisi yang lebih berbahaya untuk kebakaran di tanah.
- Kebakaran hutan melepaskan polutan ke udara dalam jumlah besar, seperti karbon hitam, partikulat, dan gas rumah kaca.
- Kebakaran hutan juga menyebabkan polusi air, erosi, peningkatan kandungan nutrisi air laut (ocean fertilization), dan hilangnya keanekaragaman hayati yang signifikan.
Sembilan puluh sembilan persen (99%) penduduk dunia saat ini menghirup polusi yang melampaui standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan tujuh juta orang meninggal secara prematur akibat polusi udara. Menurut WHO, kualitas udara adalah salah satu faktor lingkungan – yang bersama dengan faktor sosial dan ekonomi – menentukan kesehatan mental.
Penelitian juga menunjukkan, partikel halus (PM 2.5) bisa masuk dalam saluran pernafasan manusia dan dapat menghambat perkembangan kognitif pada anak-anak. Laporan “Danger in the Air” dari UNICEF menunjukkan bahwa paparan polusi udara tingkat tinggi dapat memicu masalah psikologis dan perilaku di kemudian hari di masa kanak-kanak, termasuk ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), kecemasan, dan depresi.
Polusi kimia di lingkungan juga menjadi masalah kesehatan global. Pengelolaan bahan kimia dan limbah – yang notabene adalah bahan dan ekses dari pertumbuhan ekonomi – secara baik sangat penting guna mengurangi risiko bahan kimia dan limbah bagi kesehatan manusia dan ekosistem serta biaya tinggi bagi perekonomian nasional.
Penelitian UNICEF menemukan, sekitar satu dari tiga anak memiliki kandungan timbel dalam darah mereka. Kondisi ini bisa menurunkan kecerdasan mereka, menimbulkan kesulitan perilaku dan masalah belajar pada anak.
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini memprediksi peningkatan masalah kesehatan mental – seperti kecemasan, kesusahan, kekhawatiran terkait krisis iklim – sebagai akibat paparan panas/suhu tinggi, cuaca ekstrem bersama dengan dampak kerugian ekonomi dan sosial terkait iklim yang lain.
Laporan WHO juga telah mengkonfirmasi temuan ini. Menurut WHO, perubahan iklim memiliki dampak yang lebih kuat dan tahan lama terhadap kesejahteraan mental masyarakat. Depresi, kecemasan, dan kondisi terkait stres selalu dilaporkan terjadi setelah peristiwa cuaca ekstrem.
Sehingga pemerintah didorong untuk merespons krisis iklim lebih cepat, termasuk upaya untuk mengatasi dampaknya terhadap kesehatan mental (individu) dan kesejahteraan psikososial (masyarakat).
Solusi kebakaran hutan
Ada tiga jenis kebakaran hutan utama yang masing-masing memiliki tantangannya tersendiri:
- Kebakaran tanah (ground fires): Kebakaran ini mengurai lapisan organik tanah di bawah permukaan dan biasanya menghasilkan api yang tidak Kebakaran jenis ini sulit untuk dikontrol, bisa membara selama musim dingin dan dapat muncul kembali di musim semi.
- Kebakaran permukaan (surface fires): Kebakaran ini membakar serasah daun, bahan-bahan mati dan tumbuh-tumbuhan di tanah dan paling umum terjadi di hutan dan sabana.
- Kebakaran mahkota (crown fires): Kebakaran ini naik dari tanah ke mahkota pohon dan dapat menyebar melalui kanopi hutan.
Bentuk kebakaran hutan yang paling intens dan berbahaya terjadi di hutan beriklim Mediterania dan hutan boreal. Kebakaran hutan alami bisa terjadi saat ada tiga elemen yang bergabung:
- Pemantik api (ignition): panas dari matahari atau sambaran petir yang menyalakan api
- Bahan bakar (fuel): bahan yang mudah terbakar yang cukup untuk “memberi makan” api
- Cuaca (weather): kondisi suhu, angin atau kelembaban relatif rendah yang memungkinkan penyebaran api
Ada sejumlah solusi untuk mencegah, merespons, dan mengelola kebakaran hutan, membangun ketahanan ekosistem dan masyarakat saat menghadapi perubahan musim kebakaran:
- Peningkatan perencanaan, kebijakan, dan praktik, peningkatan kemampuan pemadaman kebakaran, dan berbagai program untuk membangun ketahanan masyarakat;
- Peningkatan kerja sama jangka panjang antar wilayah dan negara untuk berbagi sumber daya;
- Melibatkan kelompok rentan dalam semua tahap kesiapsiagaan dan respons kebakaran;
- Memberikan apresiasi dan menerapkan kearifan lokal dari masyarakat adat dalam mengelola kebakaran
- Memanfaatkan teknologi modern seperti prakiraan cuaca dan kemampuan penginderaan jarak jauh seperti satelit, radar darat, deteksi petir – dan data yang mendukung pemantauan dan pengelolaan kebakaran hutan.
Pendekatan manajemen yang adaptif – bukan yang reaktif – harus diimplementasikan termasuk membangun ketahanan terhadap kebakaran hutan dalam ekosistem sebelum kebakaran terjadi dan memastikan pola pikir proaktif menjadi norma di komunitas-komunitas yang rentan terdampak kebakaran.
3. Fenologi: Perubahan Irama Alam akibat Perubahan Iklim
Fenologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengacu pada ilmu yang membahas hubungan timbal balik antara iklim dan fenomena biologis (misalnya pada migrasi burung dan pertumbuhan tanaman).
Migrasi burung sangat bergantung pada waktu. Mereka harus bersarang di lokasi dan musim yang memiliki banyak makanan. Demikian juga tanaman yang penyerbukannya sangat bergantung pada waktu dan iklim. Binatang lain seperti kelinci salju harus mengubah warna bulu putih mereka menjadi coklat ketika salju menghilang.
Apa yang terjadi?
- Pemanasan global yang telah terjadi selama beberapa dekade ini telah menyebabkan ketidakcocokan fenologis yang mengganggu ekosistem. Sebagai contoh, beberapa burung bersarang saat pasokan makanan sudah berkurang, sehingga mereka terlambat berkembang biak, memiliki tingkat keberhasilan berkembang biak lebih rendah daripada burung yang berkembang biak lebih awal.
- Pergeseran fenologis karena perubahan iklim juga telah terdeteksi dalam banyak peristiwa siklus hidup, dari reproduksi hingga migrasi, dari saat berdaun, berbunga hingga berbuah.
Di mana ini terjadi?
- Ketidakcocokan fenologis semakin umum terjadi di seluruh dunia. Mempengaruhi spesies tumbuhan dan hewan di pegunungan, lautan, dari wilayah kutub hingga ke khatulistiwa.
- Suhu berpengaruh kuat pada fenomena fenologis. Saat suhu naik, pergeseran fenologis di wilayah-wilayah yang lebih tinggi lebih jelas terlihat.
- Contoh lain: tim peneliti sudah mengamati tanggal mekarnya bunga sakura di Jepang sebagai tanda awal musim semi – biasanya pada bulan April – selama lebih dari 1.200 tahun. Sejak 1900, mekarnya bunga Sakura telah bergeser maju secara signifikan ke akhir Maret.
- Populasi burung Gelatik Batu (great tit) di Belanda telah memajukan waktu bertelur mereka akibat pemanasan global. Namun pergeseran ini tidak cukup untuk menyamai waktu puncak populasi ulat. Fenologi ulat diperkirakan terus maju lebih cepat dibanding waktu bertelur burung dalam beberapa dekade mendatang, yang semakin meningkatkan ketidakcocokan.
- Analisis waktu kedatangan 117 spesies burung migrasi Eropa saat musim semi selama lima dekade menunjukkan peningkatan tingkat ketidakcocokan fenologis waktu musim semi yang berkontribusi pada penurunan populasi pada beberapa jenis burung migran, terutama burung yang bermusim dingin di Afrika sub-Sahara.
- Paus bungkuk Pasifik Selatan Bagian Timur telah memajukan kedatangan mereka ke Taman Alam Nasional Gorgona Kolombia hingga satu bulan lebih cepat dalam tiga dekade terakhir. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan ketersediaan udang-udang kecil (krill) di tempat makan mereka di Antartika.
- Hari yang makin singkat dan suhu yang lebih rendah di musim gugur mendorong kupu-kupu raja timur Amerika Utara untuk terbang ke selatan. Analisis migrasi selama 29 tahun ini menunjukkan bahwa kupu-kupu raja telah menunda migrasi hingga enam hari per 10 tahun karena suhu yang lebih hangat dari biasanya. Kupu-kupu yang bermigrasi pada akhir musim tampaknya lebih kecil kemungkinannya untuk mencapai lokasi musim dingin mereka dibanding kupu-kupu yang bermigrasi pada awal musim, yang kemungkinan disebabkan oleh ketidakcocokan dalam ketersediaan makanan di sepanjang jalan.
Apa dampak dari pergeseran ini?
- Perubahan iklim mendorong pergeseran fenologis pada ekosistem di darat, akuatik, dan laut. Jika terlalu cepat, pergeseran ini dapat menyebabkan ketidakcocokan fenologis dengan konsekuensi signifikan bagi individu dan berdampak terhadap populasi, komunitas, dan seluruh ekosistem.
- Tingkat perubahan iklim antropogenik saat ini semakin cepat bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan untuk beradaptasi melalui kapasitas fenologis mereka, menggeser waktu tahapan siklus hidup.
- Pergeseran fenologis pada tanaman sebagai respons terhadap variasi musiman akan menjadi tantangan bagi produksi pangan seiring perubahan iklim. Pergeseran fenologi spesies laut yang penting secara komersial dan mangsanya memiliki konsekuensi signifikan bagi produktivitas perikanan.
Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini?
- Perlu intervensi segera melalui langkah-langkah konservasi seperti dengan memulihkan habitat, melestarikan keanekaragaman hayati, membangun koridor untuk meningkatkan konektivitas ekologis dan keragaman genetik dan menyesuaikan luas batas kawasan lindung saat daya jelajah spesies bergeser untuk memperkuat kapasitas adaptif mereka.
- Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan ekosistem harus diambil untuk mendorong evolusi mikro, kondisi di mana spesies berevolusi dan beradaptasi dengan kondisi baru. Contoh penting dari inisiatif ini adalah dengan mempromosikan keragaman genetik dalam populasi, karena hal tersebut adalah prasyarat penting untuk evolusi mikro dan seleksi alam.
- Semakin banyak keragaman genetik yang dimiliki suatu spesies, semakin besar peluangnya untuk berhasil beradaptasi dengan perubahan iklim. Menjaga dan memelihara integritas ekologis dan konektivitas habitat sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies.
Solusi paripurna
Mendukung terwujudnya target Persetujuan Paris untuk mencegah kenaikan suhu bumi jauh di bawah 2° C, atau – agar aman – tidak melampaui 1,5°C, dibandingkan level pra-industri adalah solusinya. Karena, apakah itu polusi suara, polusi udara, polusi kimia, kebakaran hutan dan perubahan irama alam akibat perubahan iklim, dampaknya semua akan kembali kepada manusia, jiwa dan raga.
Sementara perlindungan habitat dan konservasi keanekaragaman hayati dapat mencegah dampak yang lebih buruk, menurut laporan UNEP ini, satu-satunya cara yang efektif mengurangi kerusakan akibat pergeseran fenologis di seluruh dunia adalah dengan memangkas emisi gas rumah kaca (GRK) dengan cepat.
Dengan memangkas emisi GRK dunia masih bisa mencegah pemanasan global melampaui batas. Jendela untuk mitigasi masih belum tertutup. Masih ada harapan untuk mewujudkan pemangkasan emisi yang ambisius sebelum 2030.
Redaksi Hijauku.com
[…] post 3 Masalah Lingkungan yang Memicu Gangguan Jiwa appeared first on Situs Hijau […]