Bukan wacana lagi. Hak atas lingkungan yang bersih, sehat – dan berkelanjutan – ditetapkan sebagai hak asasi manusia yang universal. Penetapan resolusi bersejarah ini dilakukan dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Kamis, 28 Juli 2022 dan didukung oleh 161 negara – melonjak dari hanya 43 negara dalam resolusi sebelumnya. Delapan negara lain abstain.
Sebelum ditetapkan oleh Majelis Umum PBB, setahun yang lalu pada Jumat, 8 Oktober 2021, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga telah mengakui resolusi yang sama: bahwa lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah hak asasi manusia. Keputusan tersebut saat itu muncul beberapa minggu sebelum pelaksanaan KTT perubahan iklim PBB COP26, yang berlangsung awal November di Glasgow. Melalui resolusi nomor 48/13, Dewan HAM PBB meminta seluruh negara di dunia untuk bekerja sama dengan mitra-mitra yang lain, untuk menerapkan hak asasi manusia ini. Saat itu teks, yang diusulkan oleh Kosta Rika, Maladewa, Maroko, Slovenia dan Swiss, ini disahkan dengan 43 suara mendukung dan 4 abstain – dari Rusia, India, Cina, dan Jepang.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyambut baik keputusan Majelis Umum PBB yang bersejarah ini. Menurut António capaian penting ini menunjukkan bahwa negara-negara anggota PBB dapat bersatu dalam perjuangan kolektif melawan tiga krisis skala global yang saat ini dihadapi dunia yaitu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan polusi.
“Resolusi tersebut akan membantu mengurangi ketidakadilan lingkungan, menutup kesenjangan perlindungan dan memberdayakan masyarakat, terutama mereka yang berada dalam situasi rentan, termasuk para pembela hak asasi lingkungan, anak-anak, pemuda, perempuan dan masyarakat adat”, ujar António dalam berita PBB.
António menambahkan keputusan ini juga bisa membantu negara mempercepat pelaksanaan kewajiban dan komitmen lingkungan dan hak asasi manusia mereka. “Masyarakat internasional telah memberikan pengakuan universal atas hak ini – hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan – sehingga semakin dekat upaya untuk mewujudkannya bagi semua,” ujarnya.
Guterres menggarisbawahi bahwa bagaimanapun, pengadopsian resolusi universal ini ‘hanyalah permulaan’ dan mendesak negara-negara untuk membuat hak yang baru diakui ini menjadi ‘kenyataan bagi semua orang, di mana saja’.
Kasus Indonesia
Bagaimana penerapannya di Indonesia? Bagaimana dampak resolusi PBB ini bagi, misalnya, “class actions” atau gugatan publik terhadap polusi udara di Jakarta atau kasus-kasus lingkungan yang lain?
Pengakuan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat bukan hal yang baru bagi Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 pasal Pasal 28H ayat (1) secara tegas menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
“Untuk Indonesia tidak ada hal yang baru. Indonesia bahkan menjamin ‘lahir batin’ (hak atas lingkungan yang bersih dan sehat). Implementasi kita lebih dulu dibanding PBB. Jadi kalau mau ‘class action’ pake UUD dan Undang Undang Lingkungan Hidup saja,” ujar Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan.
Menanggapi hal tersebut Mas Achmad Santosa, pakar hukum yang juga menjabat CEO Indonesia Ocean Justice Initiative menyatakan sejak tahun 1997, Indonesia melalui Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No.23/1997) sudah mengakui prosedur “class actions”. “Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesa juga sudah menerbitkan Peraturan MA (Perma) No.1 tahun 2002 untuk membantu masyarakat korban dan hakim menggunakan dan menangani prosedur ini,” ujar Pak Ota, demikian beliau biasa dipanggil.
Menurut Pak Ota, MA perlu menerbitkan Perma di era Prof. Bagir Manan (2002) karena hukum acara perdata kita tidak mengenal prosedur “class actions”. Namun menurut Pak Ota, persoalannya kembali lagi. “Kalau mau prosedur ‘class actions’ digunakan dan berhasil dengan efektif, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,” tuturnya.
Syarat-syarat tersebut adalah:
- Peradilannya independen dan hakimnya paham urgensi perlindungan Lingkungan Hidup. “MA saat ini mewajibkan hakim hakim yang menangani perkara lingkungan memiliki sertifikat hakim lingkungan. Sudah ratusan hakim memiliki sertifikat sebagai hakim lingkungan saat ini,” ujar Pak Ota.
- Penggugatnya memiliki bukti kuat, terutama soal kausalitas (bukti bahwa tergugat atau para tergugat penyebab kerugian yang timbul akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan). “Kausalitas ini paling krusial apabila yang dituntut adalah ganti kerugian karena loss & damage,” tambahnya.
- Korban yang mengunakan “class actions” yang jumlahnya banyak, terorganisir dengan baik;
- Hakim yang menyidangkan perkara “class actions” harus memutuskan detil sampai dengan administrasi penyelesaian ganti kerugian yang menyangkut banyak orang.
Menurut Pak Ota, sebelum hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan diakui PBB, litigasi perubahan iklim terutama “Kasus Urgenda” di Belanda (2019) sudah menggunakan dalil HAM (di samping tort atau perbuatan melawan hukum/PMH dan Paris Agreement atau Persetujuan Paris). Keputusan Komnas HAM Filipina yg diajukan Greenpeace Filipina yang diputus tahun 2020 juga menggunakan perspektif HAM.
Untuk itu, “Gugatan-gugatan Lingkungan Hidup di Indonesia ke depan perlu lebih banyak lagi mengedepankan dalil-dalil hak asasi manusia. Apalagi konstitusi kita sudah mengakui hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik sebagai HAM (Pasal 28 H ayat 1 UUD 45),” ujar Pak Ota. Laode M. Syarif mengamini pernyataan Pak Ota. “Semoga ada keteguhan hati pengadilan dan putusannya dihormati oleh pemerintah,” ujarnya.
–##–
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment