Oleh: Jalal *
“If you want to build a ship, don’t drum up people to collect wood and don’t assign them tasks and work, but rather teach them to long for the endless immensity of the sea.” – Diatribusikan kepada Antoine de Saint-Exupery
Mariana Mazzucato adalah salah seorang ekonom terpenting di masa sekarang. Isu-isu yang ia angkat benar-benar penting dan langsung menyedot perhatian dunia. Bukan saja lantaran argumentasi yang ia susun dengan sangat kokoh, melainkan juga karena gaya komunikasinya yang benar-benar artikulatif. Gaya komunikasi yang ia kuasai itu, sama baiknya dalam bentuk tulisan maupun lisan.
Siapapun yang membaca buku The Entrepreneurial State: Debunking Public vs. Private Sector Myths (2013) dan The Value of Everything: Making and Taking in the Global Economy (2018) akan mengakui bahwa keduanya sangatlah persuasif. Mereka yang tak sempat membaca kedua buku bernas tersebut bisa mendapatkan intisari yang sangat jelas dengan menyimak TED Talks bertajuk Government: Investor, Risk-taker, Innovator dan What is Economic Value, and Who Creates It? Saya bisa menjamin bahwa sebagian besar, kalau bukan malah semua, orang yang menontonnya akan berharap memiliki guru atau dosen dengan energi dan kemampuan mengajar seperti Mazzucato.
Mazzucato sendiri adalah seorang profesor. Ia mengajar di University College London (UCL) dan merupakan guru besar dalam bidang economics of innovation and public value. Ia juga adalah pendiri sekaligus direktur Institute for Innovation and Public Purpose (IIPP) di Universitas tersebut. Ia juga memiliki sejumlah jabatan di lembaga-lembaga multilateral, di antaranya sebagai pimpinan Council on the Economics of Health for All di WHO serta anggota High-Level Advisory Board on Economic and Social Affairs di PBB. Lewat tulisan, kuliah, maupun kebijakan yang ia hasilkan, Mazzucato mendapatkan pengakuan sebagai the three most important thinkers about innovation dari The New Republic, juga the world’s scariest economist dari The Times of London.
Di awal tahun 2021, bukunya yang berjudul Mission Economy: A Moonshot Guide to Changing Capitalism terbit. “Mazzucato presents her arguments so simply and clearly that they can seem obvious. In fact, they are revolutionary. Rethinking the role of government nationally and in the international economy to put public purpose first and solve the problems that matter to people are now the central questions for humanity.” Demikian yang ditulis Jayati Ghosh di jurnal Nature pada tanggal 19 Januari 2021, mengomentari buku tersebut. Sehari kemudian, Tom Kibasi menuliskan resensinya di The Guardian, yang di antaranya menyatakan: “Mission Economy injects the kind of vision, ambition and imagination so desperately missing from government today…. All those in favour of a better future of prosperity that is broadly shared, first class public services to be enjoyed by all, and a solution to the climate crisis should read this book.” Saya setuju sepenuhnya.
Mazzucato menyatakan bahwa secara konvensional kebanyakan orang terus menggambarkan pemerintah sebagai mesin birokrasi yang kikuk dan tidak dapat berinovasi. Perannya digambarkan sangat terbatas, yaitu untuk memerbaiki, mengatur, mendistribusikan kembali, dan mengoreksi pasar ketika ada yang salah. Dalam pandangan seperti itu, pegawai negeri tidak sekreatif dan berani mengambil risiko seperti para pengusaha, dan pemerintah seharusnya hanya memastikan level playing field, lalu menyingkir agar pengambil risiko dalam bisnis swasta dapat memainkan peranannya.
Tetapi hal itulah yang persis menjadi sumber masalah, menurut Mazzucato. Tesis utama dari Mission Economy adalah bahwa kita tidak dapat beranjak dari masalah utama dalam ekonomi sampai kita benar-benar meninggalkan pandangan yang sempit tersebut. Hanya mission thinking saja yang dapat membantu kita merestrukturisasi kapitalisme kontemporer. Skala yang besar, seperti halnya tujuan mendaratkan manusia di Bulan, membutuhkan narasi baru dan kosakata baru untuk ekonomi politik kita, sekaligus menggunakan gagasan tujuan publik untuk memandu kebijakan dan aktivitas bisnis yang tepat.
Hal tersebut membutuhkan ambisi untuk memastikan bahwa kontrak, hubungan, dan pesan yang kuat dalam menghasilkan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan adil. Dan untuk mencapainya dibutuhkan proses yang seinklusif mungkin, yang melibatkan para pencipta nilai—bukan hanya perusahaan. Tujuan publik, Mazzucato tekankan, haruslah berada di pusat bagaimana kekayaan diciptakan secara kolektif untuk membawa keselarasan yang lebih kuat antara penciptaan nilai dan distribusi nilai. Dalam soal distribusi nilai, seharusnya tidak lagi hanya tentang redistribusi yang bersifat ex post, tetapi juga predistribusi yang ex ante. Demikian yang dinyatakan oleh Mazzucato pada bab pembuka bukunya.
Bab berikutnya didedikasikan untuk menjelaskan tentang krisis yang dihadapi oleh Kapitalisme. Lantaran sektor keuangan utamanya membiayai FIRE (finance, insurance, real estate), manfaat sektor tersebut dalam penciptaan manfaat untuk masyarakat luas menjadi sangat terbatas. Para pemilik modal menjadi sangat cepat bertambah kaya, tetapi manfaat nyata yang bisa dirasakan masyarakat tidaklah tumbuh secepat itu. Tetapi, masalah tidak hanya ada di sektor finansial. Bisnis sendiri utamanya masih berfokus pada jangka pendek, bahkan sekadar kuartalan. Ini juga berarti bisnis masih mengabdi pada menghasilkan keuntungan untuk pemegang sahamnya. Dan hal itu kerap diwujudkan dengan membawa perusahaan ke hutang yang besar dan membahayakan.
Pemanasan global adalah isu berikut yang diangkat oleh Mazzucato sebagai pertanda masalah mendasar dalam Kapitalisme. Ia menyatakan: “And third is a problem that dwarfs the others if not solved soon: the climate emergency, which will dramatically change life for humans, animals and plants on our planet. The 2019 Intergovernmental Panel on Climate Change report argues that we have just ten years left until climate breakdown is irreversible.” Darurat iklim memang akan menimbulkan problema eksistensi bagi manusia, sehingga dua problema sebelumnya jelas akan terasa tak ada apa-apanya. Dalam ancaman yang sebesar itu, kebanyakan pemerintah hanya terus memerbaiki secara tambal sulam, sehingga kerap hasil kerjanya tak tampak. Padahal, seharusnya pemerintah bisa mengambil peran kepemimpinan.
Mazzucato kemudian bergeser menjelaskan tentang lima mitos yang menghambat kemajuan kita semua. Mitos pertama adalah bahwa bisnis merupakan satu-satunya institusi yang menciptakan nilai dan mengambil risiko, sementara pemerintah hanya terbatas perannya dalam menurunkan risiko dan memfasilitasi bisnis dalam penciptaan nilai. Terkait dengan hal tersebut, mitos kedua, tujuan dari pemerintah adalah untuk memerbaiki kegagalan pasar. Artinya, pemerintah akan jauh lebih sibuk ketika mekanisme pasar tak bekerja dengan baik. Tiga mitos lainnya adalah pemerintah perlu dijalankan seperti bisnis, outsourcing menghemat uang pembayar pajak dan menurunkan risiko yang ditanggung, dan pemerintah tidak seharusnya memilih para pemenang melainkan harus bertindak adil. Saya mengamini seluruh apa yang dinyatakan oleh Mazzucato itu sebagai hambatan kemajuan dalam mencapai tujuan kesejahteraan dan keberlanjutan. Hanya saja, saya tak yakin bahwa kelima mitos itu adalah daftar yang sudah lengkap. Saya juga merasa bahwa penjelasan Mazzucato tentang masing-masing mitos tidaklah sama memuaskannya. Mitos pertama dan ketiga, menurut hemat saya, masih bisa dijelaskan dengan lebih komprehensif lagi.
Apakah pemerintah benar-benar beroperasi sekadar untuk memerbaiki pasar lalu menyingkir agar sektor swasta bisa berinovasi dan menciptakan nilai? Menurut Mazzucato, ada dua sisi yang bisa diambil dalam menjawab pertanyaan tersebut. Di satu sisi, jelas seperti ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya: kita akan mendapatkan pemerintah sebagaimana yang kita percaya itu mungkin. Jika aparat pemerintah dilatih hanya untuk mengoreksi kegagalan pasar, maka birokrasi pemerintahan yang akan tercipta jelas bersifat tidak mau mengambil risiko, memberikan penekanan untuk terus-menerus menjadi ramah terhadap bisnis, dan seiring waktu mengurangi kapasitas mereka sendiri untuk menciptakan nilai.
Di sisi lain, sebetulnya ada banyak contoh pemerintahan yang beroperasi dengan cara yang sangat berbeda, berinvestasi dalam kapasitas internal dan bekerja dengan cara yang dinamis dan proaktif, sehinggga mampu memberikan perubahan arah pada ekonomi dan masyarakat. Mazzucato mencontohkan mulai dari kebijakan New Deal yang diperkenalkan oleh Presiden AS Franklin Delano hingga pendanaan keberlanjutan yang mendorong berbagai kota di seluruh dunia ke arah pembangunan hijau. Jadi, sesungguhnya, ada banyak sekali contoh yang bisa diambil soal apa artinya membawa ambisi ke jantung pemerintahan. Ambisi itulah yang tampak masih langka di antara para pemimpin pemerintahan.
Lantaran perubahan yang diperlukan benar-benar berskala besar, Mazzucato kemudian memaparkan pelajaran-pelajaran yang diambilnya dari misi Apollo ke Bulan—yang ketika itu merupakan misi yang berskala luar biasa besar. Ia menekankan soal makna kepemimpinan, yang sangat ditentukan oleh visi dan tujuan mulia (purpose); inovasi yang terkait dengan pengambilan risiko dan eksperimentasi; perubahan organisasional yang bisa membuat pemerintah bergerak cepat dan fleksibel; penyebarluasan dampak melalui kolaborasi; penganggaran berdasarkan kinerja; dan kemitraan antara perusahaan dan negara dalam mencapai tujuan bersama. Padat dan sangat jelas pesan yang disampaikan pada bab ini.
Dari Bulan, Mazzucato kemudian kembali ke Bumi. Ia mengincar tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar pergi ke Bulan, yaitu menyelamatkan Bumi. “How do we apply these same ‘mission’ principles to the most pressing problems on earth today – making sure the missions themselves are ambitious and grounded in making the lives of people better? Moonshots must be understood not as siloed big endeavours, perhaps the pet project of a minister, but rather as bold societal goals which can be achieved by collaboration on a large scale between public and private entities.” Demikian yang ia tuliskan pada paragraf pembukanya. Kemudian, secara sangat cekatan Mazzucato menjelaskan soal SDGs dan transisi hijau, bagaimana memilih lalu mengimplementasikan misi, termasuk membina hubungan dengan masyarakat luas dalam sebuah misi. Ia menjelaskan secara panjang lebar tiga misi: Green New Deal, inovasi untuk kesehatan yang tersedia untuk semua, dan bagaimana mempersempit kesenjangan digital. Ada banyak sekali ide yang sangat menarik, termasuk yang ia ringkaskan ke dalam beberapa bagan.
Setelah bab tersebut, Mazzucato membahas apa yang dia sebut sebagai teori dan praktik yang baik: tujuh prinsip ekonomi politik yang baru. Jelas sekali bahwa ia ingin memberikan antidote terhadap lima mitos yang selama ini membuat Kapitalisme tak bekerja optimal dalam meningkatkan kesejahteraan sekaligus keberlanjutan. Ketujuh prinsip itu adalah: Nilai itu sesungguhnya diciptakan bersama seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya oleh perusahaan; pasar itu juga dibentuk bersama oleh seluruh pemangku kepentingan, dan pemerintah bukan sekadar bertugas memerbaikinya bila pasar tak berjalan seperti yang diharapkan; organisasi perlu dikembangkan dengan kapabilitas dinamis, dengan penekanan pada eksperimentasi dan pembelajaran; keuangan perlu mengadopsi penganggaran berdasarkan kinerja yang benar-benar diharapkan; distribusi ditekankan sebagai pembagian risiko maupun hasil; kemitraan dipandu dengan tujuan mulia (purpose) dan manfaat untuk seluruh pemangku kepentingan (stakeholder value); dan partisipasi yang didukung oleh sistem terbuka untuk mendesain masa depan bersama.
Sebagai orang yang membaca buku ini dari sudut pandang tata kelola perusahaan dan keberlanjutan, saya jelas mendukung ketujuh prinsip yang diresepkan oleh Mazzucato secara sangat meyakinkan itu. Namun, saya khawatir bahwa sesungguhnya sebagian besar pengambil keputusan di perusahaan tidak akan semudah itu berubah. Imajinasi mereka soal masa depan bisa sangat berbeda dengan Mazzucato yang sepenuhnya sesuai dengan sains. Jelas, kita masih punya pekerjaan rumah besar sekali untuk bicara soal apa yang sudah diketahui sains tentang masa depan kemanusiaan bila kita semua tak berubah.
Hanya melalui dialog tentang masa depan bersama saja maka desain tentang masa depan bersama yang kita inginkan bisa terwujud. Kalau misalnya pemerintah dan perusahaan—juga masyarakat luas—tak kunjung bersepakat atas apa yang menjadi tujuan jangka panjang, mulia, dan ambisius—alias moonshot—kita tak akan bisa membuat strategi bersama, dan tak akan sepakat soal bagaimana sumberdaya dialokasikan. Karenanya, saya sangat menganjurkan para pembaca buku ini yang bekerja di perusahaan untuk menyimak video enam menit bertajuk Walk the Talk of Stakeholder Capitalism, yang meringkas pemikiran Mazzucato soal apa yang perlu dilakukan oleh perusahaan untuk menegakkan Kapitalisme Pemangku Kepentingan. Sementara, pembaca yang berasal dari sektor publik dan masyarakat sipil agaknya akan mendapatkan manfaat dari karya Mazzucato berikutnya, Public Purpose: Industrial Policy’s Comeback and Government’s Role in Shared Prosperity, yang menurut rencana akan terbit pada hari ini, 26 Oktober 2021.
Mazzucato membuka bab kesimpulannya dengan kalimat terkenal dari de Saint-Exupery yang saya kutipkan di bagian awal tulisan ini. Ia memang menuliskan buku yang tujuannya adalah membuka mata pembacanya agar terinspirasi mengarungi luasnya samudera, atau yang lebih sesuai dengan judul bukunya, menjelajahi luar angkasa. Buku ini jelas punya detail yang sangat menarik soal apa saja yang perlu dilakukan terutama oleh pemerintah dan perusahaan, juga prinsip dan sumberdaya apa yang diperlukan untuk mewujudkannya. Tetapi, sekali lagi, pesan terpenting buku ini adalah soal imajinasi tentang masa depan yang lebih baik, dan keberanian untuk mewujudkannya. Dalam hal itu, menurut hemat saya, Mazzucato sangatlah berhasil memprovokasi para pembacanya. Di antara puluhan buku terbitan tahun 2021 yang telah saya baca hingga sekarang, jelas Mission Economy adalah salah satu yang terbaik.
–##–
* Jalal menulis esai-esai tentang keberlanjutan, tanggung jawab sosial perusahaan, dan bisnis sosial. Ia memegang sejumlah posisi dalam bidang-bidang tersebut, di antaranya sebagai reader dalam bidang tata kelola perusahaan dan ekologi politik di Thamrin School of Climate Change and Sustainability; pimpinan dewan penasihat Social Investment Indonesia; pimpinan dewan pakar Social Value Indonesia; strategic partner CCPHI Partnership for Sustainable Community; anggota dewan pengurus Komnas Pengendalian Tembakau; dan pendiri sekaligus komisaris di perusahaan sosial WISESA dan ESG Indonesia.
Leave A Comment