Perserikatan Bangsa Bangsa memerkirakan jumlah populasi dunia akan melonjak dari 7 miliar pada 2011 menjadi 9 miliar penduduk pada 2050. Permintaan pangan akan terus meningkat. Menurut perhitungan PBB dunia akan memerlukan kalori pangan 60% lebih banyak pada 2050 dibanding kebutuhan kalori pada 2006.
Guna memenuhi kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, tim peneliti dari University of Oxford mengusulkan kebijakan baru yang dikenal dengan nama intensifikasi berkelanjutan (sustainable intensification). Hasil analisis terbaru mereka telah diterbitkan dalam jurnal Science, Jum’at (5/7).
Tujuan dari kebijakan intensifikasi yang berkelanjutan ini adalah meningkatkan produksi pangan dengan memanfaatkan lahan yang telah tersedia. Menurut Dr Tara Garnett dan Professor Charles Godfray dari University of Oxford, kebijakan ini akan mengurangi tekanan pada lingkungan yang sudah mengalami kelangkaan lahan, air dan energi akibat dari eksploitasi sumber daya alam. Upaya ini juga akan mengurangi emisi gas rumah kaca dan kerusakan keanekaragaman hayati.
Namun kebijakan intensifikasi berkelanjutan ini juga tidak lepas dari kontroversi karena terlalu berfokus pada peningkatan produksi pangan.
Dalam analisisnya, kedua peneliti berargumen, kebijakan ini tidak berdiri sendiri namun harus didukung oleh tiga kebijakan penting yaitu kebijakan pengaturan pola makan – dengan melakukan diversifikasi konsumsi pangan dan mengurangi konsumsi daging, kebijakan untuk mengurangi limbah makanan dan kebijakan efisiensi dan ketahanan pangan nasional.
Menurut Dr Tara Garnett, meningkatkan produktivitas pangan tidak selalu terkait dengan peningkatan penggunaan pupuk atau bahan kimia. Masih banyak teknik lama maupun baru yang bisa dipakai untuk mengurangi kerusakan lingkungan.
Kebijakan intensifikasi pertanian ini menurut kedua peneliti memiliki implikasi yang tak kalah penting dengan kebijakan-kebijakan lain seperti kebijakan melindungi keanekaragaman hayati, kebijakan nutrisi, perlindungan terhadap binatang, kebijakan ekonomi pedesaan dan pembangunan berkelanjutan. Para pembuat kebijakan hanya perlu menemukan jalan untuk menjembatani antara prioritas-prioritas tersebut.
Karena menurut Dr Tara Garnett, dari Food Climate Research Network di Oxford Martin School, memerbaiki keamanan pangan tidak hanya persoalan kalori. Sekitar 2 miliar penduduk dunia diperkirakan masih kekurangan gizi. “Sehingga meningkatkan kualitas pangan yang kita produksi sangat penting guna meningkatkan nilai nutrisi makanan yang dikonsumsi masyarakat.”
Di Indonesia ketergantungan akan dua bahan pangan utama yaitu beras dan gandum masih sangat besar. Sementara sumber pangan lokal tersedia seperti sagu, jagung, ketela dan tiwul yang sudah dikembangkan dengan teknologi dan gizi paripurna. Di Megelang, kita bisa menemukan tiwul instan, di Kendari masyarakat terbiasa dengan sagu yang diolah berbagi bentuk sajian. Sementara di Gunungkidul, Yogyakarta, tersedia tepung cassava, tepung ketela yang tidak kalah enak dan mudah diolah menjadi berbagai produk layaknya tepung gandum.
Sebagaimana disampaikan oleh kedua peneliti, peran pembuat kebijakan sangat penting untuk mengembangkan keragaman dan ketahanan pangan nasional. Di Indonesia selama ini pemerintah dinilai masih terlalu berfokus pada peningkatan produksi padi dengan memberikan dukungan berupa subsidi pupuk hingga benih padi kepada petani. Jika pemerintah memberikan dukungan yang setara pada produk pangan lokal lain seperti jagung, ketela maupun sagu, keragaman pangan dan ketahanan pangan nasional akan lebih cepat terwujud. Keseimbangan ini diperlukan untuk mengurangi ketergantungan akan pangan impor yang terus membebani ekonomi nasional.
Redaksi Hijauku.com
[…] hijau, Indonesia terus berupaya meningkatkan daya saing petani kecil dan menciptakan ketahanan pangan di Bumi Pertiwi – kali ini tanpa merusak […]