Oleh: Ribut Lupiyanto*

Setiap tahun berbagai bencana alam terus mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Mulai dari banjir rob, banjir luapan sungai, tanah longsor, serta bencana lainnya yang cukup variatif jenis, skala, dan sebarannya. Sama halnya melihat korupsi atau kenaikan harga sembako, fenomena klasik dan rutin ini seakan telah akrab dan terkesan biasa bagi negeri ini.

Satu fenomena sederhana yang sering kita lihat bahkan rasakan adalah seringnya banjir jika musim hujan dan kekeringan saat kemarau. Kondisi ini menjadi ironi jika melihat Indonesia yang makmur air atau Jogja yang air tanahnya baik dan curah hujannya termasuk tinggi.

Ada satu titik temu yang cukup signifikan mempengaruhi kedua kondisi tersebut yaitu kehadiran air hujan. Air hujan merupakan sumberdaya karunia Allah SWT, namun mengapa juga tak jarang menjadi sumber bencana. Kunci yang harus ditemukan adalah bagaimana memposisikan air hujan agar kembali pada fungsi asalnya sebagai sumber karunia. Ketika penghujan bisa aman dari banjir dan saat kemarau bahkan bisa surplus air.

Ironi Negeri Kaya Air

“Terlampau banyak atau terlampau sedikit air akan merusak dunia “ mungkin pepatah ini cukup tepat menggambarkan kondisi lingkungan kita. Selama ini langkah yang dilakukan berbagai stakeholders masih kurang terintegrasi dan cenderung responsif.

Pemecahan masalah masih responsif, terbatas bagaimana menyuplai air saat kemarau atau bagaimana menolong korban saat banjir. Hal itu tidak salah, namun masih kurang visioner dan belum solutif. Secara meteorologis, kondisi musim mempunyai siklus yang dapat dijadikan referensi bagi upaya antisipatif permasalahan sumberdaya air yang berjangka panjang. Kurangnya air saat kemarau dan melimpahnya air saat penghujan merupakan variabel yang saling berhubungan.

Tingkat perkembangan wilayah yang cukup pesat ternyata menyisakan ekses terhadap kondisi lingkungan. Wilayah telah berkembang secara ekonomi namun mundur secara ekologis. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat telah memicu terjadinya krisis lingkungan termasuk krisis air.

Sebagai daerah yang seharusnya makmur air, namun terjadi suatu ironi yakni adanya bencana banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Pertumbuhan pesat penduduk telah meningkatkan konversi lahan dari lahan terbuka ke lahan terbangun yang mengakibatkan kerusakan ekosistem DAS dan peningkatan aliran permukaan. Faktor inilah penyebab utamanya.

Pemerintah daerah umumnya bersikap sempit dengan memberi solusi bagi kekeringan hanya dengan menambah suplay air atau mengatasi banjir dengan perbaikan drainase saja. Itupun masih egosektoral dan lemah optimalisasi hasilnya. Belum menjadi faktor utama yang perlu dilakukan pengelolaan air hujan yang melimpah saat penghujan. Padahal mengelolanya akan mampu mengatasi banjir sekaligus memberi solusi untuk kekeringan.

Panen Air Hujan

Kodatie (2004) menyebutkan bahwa selama ini diprediksikan 25 % air hujan menjadi aliran mantap sisanya terbuang ke laut. Aliran mantap tersebut terdiri dari air tertahan serta yang tertampung waduk dan daerah retensi, inilah cadangan air sumber kebutuhan kehidupan. Sedangkan yang ke laut adalah terbuang percuma saja. Mengatasi permasalahan air tentunya bagaimana meningkatkan aliran mantap tersebut. Untuk itu tidak bisa tidak, runoff yang selama ini hanya terbuang percuma perlu dikelola dengan baik.

Salah satu cara yang efektif memanfaatkan air hujan adalah model rainwater harvesting (penyimpanan air hujan). Melalui model ini, kepentingan jangka pendek dapat membuka kesempatan untuk dimanfaatkan sebagai irigasi, cuci, dan mandi, serta untuk jangka panjang dapat menambah suplay air tanah dengan meresapkannya.

Sistem semacam ini telah sukses diterapkan di Propinsi Ganzu, Cina, dengan membangun tangki-tangki penadah air hujan yang dapat diandalkan untuk sistem irigasi. Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Jerman, Singapura, Swedia, Jepang, India, dan Srilangka bahkan dengan treatment tertentu mampu memanfaatkan air hujan untuk keperluan minum.

Kompleksnya permasalahan lingkungan, termasuk pengelolaan air hujan dalam rangka mengatasi krisis air, menuntut penanganan yang terintegrasi antar stakeholders, antar wilayah, dan antar bidang. Kerjasama antar stakeholders hendaknya mampu membagi peran yang seimbang antara pemerintah, legislatif, yudikatif, swasta, dan mayarakat umum. Interaksi tidak harus ditandai dengan duduk bersama, namun lebih pada pelaksanaan fungsi yang proporsional.

Sedangkan kerjasama antar wilayah merupakan solusi untuk mengakomodasi kepentingan lingkungan yang lebih optimal dengan pendekatan ekologis (bioregionalisme) bukan administratif semata. Pola ini juga hendaknya masuk dalam konsep pembangunan wilayah yang holistik.

Konsep yang baik masih belum cukup tanpa diimbangi dengan implementasi yang optimal. Pada tataran inilah muncul masalah mendasar yang cukup kompleks. Hukum telah tersedia dengan rinci meskipun masih banyak kontroversial, namun sangat lemah penegakannya.

Birokrasi banyak berdiri, namun semakin banyak tumpang tindih dan berjalan sendiri-sendiri. Warisan budaya dan nilai moral-spiritual cukup lekat dalam kehidupan masyatakat, namun belum mampu menggerakkan kesadaran dan partisipasi secara masif. Ironitas ini sejak lama merupakan dilema klasik pengelolaan lingkungan, termasuk sumberdaya air.

Konsep pemanfaatan air hujan sebagai alternatif solusi menghadapi krisis air, akan lebih efektif melalui partisipasi dan kemandirian masyarakat, dimana setiap individu pasti akan berinteraksi dengan air hujan.

Menimbang paparan di atas, kiranya bukan hal mustahil untuk mewujudkan pengelolaan wilayah yang surplus air saat kemarau dan aman dari banjir saat penghujan. Sekali lagi syaratnya terealisasikannya konservasi sumberdaya air yang optimal, yaitu efisien saat kekurangan dan menyimpannya saat berlebihan.

Model rainwater harvesting layak dipertimbangkan semua pihak. Selamat Hari Air Sedunia 22 Maret 2013.

Salam lestari dan salam hijau.

Catatan Redaksi:

*Ribut Lupiyanto adalah Peneliti Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.