Investasi sebesar US$198 miliar setahun atau 0,16% dari PDB dunia bisa mengurangi kelangkaan air dan jumlah penduduk yang tidak memiliki akses ke air minum dan sanitasi yang layak dalam waktu kurang dari 4 tahun.
Dalam Green Economy Report yang diluncurkan minggu lalu (25/8), Program Lingkungan PBB (UNEP) menyatakan, investasi di sanitasi dan air minum, upaya memperkuat sistem pasokan air lokal, penyelamatan ekosistem yang mendukung sistem pasokan air dan pengembangan kebijakan yang lebih efektif bisa membantu menghindari dampak ekonomi dan sosial akibat kekurangan pasokan air.
Menurut laporan UNEP, Kamboja, Indonesia, Philippina and Viet Nam, mengalami kerugian hingga US$9 miliar per tahun atau 2% dari kombinasi Produk Domestik Bruto (PDB) mereka akibat sanitasi yang tidak layak.
“Memperbaiki akses ke layanan sanitasi dan air minum yang lebih bersih adalah kunci terciptanya masyarakat yang mampu memanfaatkan sumber daya secara lebih efisien dan berkelanjutan,” ujar Direktur Eksekutif UNEP, Achim Steiner.
“Laporan Green Economy menunjukkan, peningkatan investasi di manajemen air, infrastruktur air dan ekosistem yang tergantung pada pasokan air, beserta penerapan kebijakan yang efektif bisa memperbaiki kesehatan manusia, meningkatkan keamanan air dan pangan sereta memicu pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.
Dengan mengikuti rekomendasi yang ada dalam laporan tersebut, penggunaan air dunia bisa dijaga dalam batas yang aman sehingga tercapai target pembangunan millenium (MDG) yaitu mengurangi separuh populasi masyarakat yang kesulitan akses ke air minum dan sanitasi dasar sebelum 2015.
Meningkatkan efisiensi dan keberlangsungan pasokan air juga penting guna memenuhi tuntutan energi yang terus meningkat, ujar UNEP.
“Saat negara semakin makmur dan padat, permintaan air bagi industri akan terus meningkat. Di China, misalnya, lebih dari separuh dari peningkatan permintaan air dalam 25 tahun mendatang berasal dari ekspansi di sektor industri.”
Penggunaan air bagi produksi bioenergi juga menjadi fokus dalam laporan baru UNEP yang berjudul “The Bioenergy and Water Nexus.” Laporan yang disusun bersama dengan Oeko-Institut dan International Energy Agency menyatakan, kebutuhan air bagi produksi bioenergi berperan penting mendukung produksi pangan, penggunaan lahan dan pertanian yang berkelanjutan.
Di dunia, lebih dari 70% air tawar digunakan untuk pertanian sehingga pengembangan bioenergi perlu dilakukan secara hati-hati guna menghindari efek negatif yang lebih luas. Dibutuhkan perencanaan yang mampu mengakomodasi kebutuhan sektor-sektor lain seperti sektor pangan, ternak dan pakaian saat penduduk dunia terus naik ke angka 9 milliar pada pertengahan abad ini.
Laporan tersebut juga merekomendasikan agar dunia melakukan pendekatan yang lebih holistik guna memastikan manajemen air yang berkelanjutan, merencanakan dan menerapkan kebijakan air yang efektif dan memromosikan pengembangan teknologi dengan memperhitungkan dampak jangka panjang.
Redaksi Hijauku.com
Leave A Comment