Resep untuk Bencana Iklim dan Keruntuhan Peradaban

Oleh: Jalal

Tidak ada tantangan global jangka panjang yang lebih mendesak daripada krisis iklim. Kita hidup dalam “kalender terbatas”—sebagaimana yang dikatakan Dipesh Chakrabarty dan dikutip oleh Jens Beckert dalam buku How We Sold Our Future (2025) ini.  Kita ada pada sebuah era ketika penundaan berarti benar-benar kehilangan kesempatan yang tak tergantikan. Setiap tahun tanpa aksi berarti penguncian emisi tambahan, pemanasan yang tak bisa diputar ulang, serta beban yang diwariskan pada generasi yang bahkan belum lahir. Urgensi inilah yang menjadi titik tolak buku Beckert, seorang sosiolog kenamaan asal Jerman. Alih-alih memobilisasi inovasi heroik dan solidaritas internasional dalam skala yang dibutuhkan, dunia justru tampak lebih sibuk memertahankan kenyamanan jangka pendek sambil menyingkirkan biaya sebenarnya ke masa depan. Hasilnya: masa depan digadaikan dengan harga murah demi keuntungan sesaat.

Buku ini berangkat dari premis sederhana tapi tajam, yaitu kegagalan melawan perubahan iklim, dan mengelola krisis iklim, tidak bisa hanya dijelaskan oleh kurangnya teknologi atau pemahaman ilmiah. Sains sudah lama memberi peringatan, dan para insinyur di seluruh penjuru dunia sudah punya banyak solusi teknis—sejak setidaknya dua dekade lampau. Masalah sejatinya ada di struktur sosial, politik, dan ekonomi yang mengatur bagaimana masyarakat modern mengambil keputusan. Beckert menegaskan bahwa Kapitalisme modern dengan logika keuntungan jangka pendek, demokrasi parlementer yang tersandera logika elektoral, serta budaya konsumsi individualistik telah menciptakan rintangan yang sistematis bagi aksi iklim yang kita butuhkan.  Kesederhanaan sekaligus ketajaman premisnya itu sangatlah menarik bagi saya, dan ditambah dengan gaya penulisannya yang mengalir membuat buku ini terasa sangat berat untuk dihentikan pembacaannya.

Dari Pengabaian Pengetahuan hingga Penekanan Aspek Sosial

Dalam sembilan bab yang bernas dan runtut, Beckert menggiring pembaca menelusuri anatomi kegagalan itu. Bab pertama, Knowledge without Change, menunjukkan jurang antara pengetahuan ilmiah dan respons kebijakan. Sains iklim diterima, tetapi pengetahuan yang ada di dalamnya  tidak berujung pada transformasi nyata. Bab kedua, Capitalist Modernity, menguraikan bagaimana logika akumulasi modal dan pertumbuhan tanpa batas membuat alam selalu diposisikan bagaimana komoditas fiktif yang bisa dieksploitasi tanpa henti. Bab ketiga, Big Oil, menyingkap strategi industri fosil dalam menghambat transisi: mulai dari lobi politik, pembentukan keraguan publik, hingga penguasaan narasi energi. Bab keempat, The Hesitant State, menggambarkan lemahnya negara dalam menghadapi kuasa kapital, terjebak antara janji kesejahteraan dan ketergantungan fiskal pada pajak serta pertumbuhan ekonomi yang justru memerparah emisi.

Bab berikutnya, Global Prosperity dan Consumption without Limits, menyoroti paradoks konsumsi. Janji modernitas adalah peningkatan kemakmuran global, tetapi distribusinya timpang. Negara-negara Utara mengonsumsi energi dan sumberdaya secara berlebihan, sementara negara-negara Selatan menanggung kerusakan ekologis paling parah. Konsumerisme bukan hanya pola hidup, melainkan simbol status, sehingga mengubah perilaku individu menjadi tantangan kultural yang berat. Sementara itu, bab Green Growth mengkritisi janji pertumbuhan hijau yang kerap didorong lembaga internasional, seolah-olah Kapitalisme bisa terus bertumbuh tanpa batas dengan sekadar mengganti sumber energi. Beckert menganggap janji ini ilusif, karena seringkali menunda transformasi struktural yang sebenarnya diperlukan.

Bab kedelapan, Planetary Boundaries, menegaskan posisi krisis iklim dalam konteks yang lebih luas dari sembilan batas planetari yang kita sudah ukur secara berkala. Iklim hanyalah salah satunya, dan keterlambatan aksi di sini juga memerburuk risiko di dimensi lain: keanekaragaman hayati, siklus nitrogen dan fosfor, hingga degradasi tanah. Dengan demikian, iklim jelaslah bukan isu tunggal, melainkan simpul krisis ekologis global. Akhirnya, bab kesembilan, What Next?, mencoba menawarkan jalan keluar. Beckert menolak solusi utopis, melainkan menekankan perlunya rekayasa ulang insentif ekonomi melalui pajak karbon dan subsidi energi bersih, penggunaan instrumen hukum untuk mewakili hak generasi mendatang, serta penguatan kapasitas negara untuk menyediakan barang publik yang vital—dari transportasi hijau hingga infrastruktur adaptasi.

Di bagian akhir, Beckert memberi penekanan khusus pada dimensi sosial. Adaptasi iklim bukan hanya urusan teknis seperti tanggul laut atau pendingin ruangan, melainkan juga bagaimana masyarakat mengelola distribusi sumberdaya yang makin terbatas.  Tanpa kebijakan redistributif yang serius, dunia bakal menuju distopia: oasis hijau bagi kalangan kaya—tentu dengan pagar yang tinggi—di tengah-tengah planet yang porak-poranda. Lebih buruk lagi, krisis iklim akan mendorong migrasi massal dari Selatan ke Utara, membuka babak baru konflik politik dan sosial. Karena itu, Beckert menegaskan bahwa tidak ada perlindungan iklim yang bakal berhasil tanpa kebijakan kompensasi, dukungan finansial bagi negara-negara Selatan, dan perombakan kebijakan fiskal yang mengakhiri dogma penghematan anggaran. Dengan kata lain, krisis iklim menuntut lebih banyak campur tangan dari negara, bukan lebih sedikit. Pasar tidak akan pernah bisa sendirian menjaga atmosfer.

Jujur pada Keadaan

Bagi saya, buku ini bukan sekadar diagnosis yang blak-blakan atas kondisi kita sekarang, tetapi juga peringatan keras. Beckert menolak optimisme kosong yang sering menghiasi wacana politik internasional. Ia jelas realistis, bahkan terasa pesimistis di beberapa bagian, namun justru dari situ muncul bobot moral argumennya. Ia tidak menutup mata pada fakta bahwa aksi iklim selalu melibatkan biaya, gangguan, dan resistensi politik. Namun, daripada berpura-pura bahwa transisi bisa bersifat win-win untuk semua pihak, Beckert menekankan pentingnya kejujuran politik, bahwa melindungi kita semua dari dampak iklim memang butuh pengorbanan, tapi kegagalan melindunginya akan jauh lebih mahal lagi—tidak hanya mahal secara ekonomi, melainkan juga secara moral dan eksistensial.

Sebagai aktivis keberlanjutan yang mengamati isu iklim dengan lekat, saya melihat karya ini sebagai tamparan bagi para pembuat kebijakan dan pemimpin korporasi yang terus menunda langkah. Beckert dengan jeli menguraikan bagaimana struktur insentif membuat perusahaan lebih suka bertahan pada model lama. Oleh karenanya, regulasi yang kuat, pajak emisi yang tinggi dan progresif, dan insentif yang jelas bukan lagi pilihan, melainkan keharusan, dan tak bisa lagi ditunda.  Dan, negara terutama komponen masyarakat sipil di dalamnya tidak bisa berhenti di situ.  Kita harus melawan ilusi bahwa sektor swasta akan menyelesaikan masalah secara sukarela. Sejarah empat dekade terakhir justru menunjukkan sebaliknya: liberalisasi pasar memerburuk ketimpangan sosial, menggerogoti infrastruktur publik, dan melemahkan kapasitas negara untuk menghadapi tantangan kolektif.

Dukungan terbesar saya atas kesimpulan Beckert ada pada penekanannya terhadap keadilan. Ia menegaskan bahwa proteksi iklim tidak bisa dilepaskan dari redistribusi sosial. Jika negara gagal menyediakan barang publik yang setara, maka aksi iklim akan dilihat sebagai beban sepihak, memicu resistensi sosial, bahkan populisme anti-iklim yang boleh jadi akan makin kuat setelah pidato Trump di PBB beberapa minggu lampau. Sebaliknya, jika aksi iklim dibingkai sebagai perluasan kesejahteraan kolektif—transportasi publik yang lebih baik, kota yang lebih teduh, udara yang lebih bersih—maka legitimasi politiknya akan lebih kuat. Pandangan ini amat relevan di negara-negara seperti Indonesia, di mana kesenjangan ekonomi tajam dan pembangunan masih bergantung pada ekstraksi sumberdaya. Tanpa keadilan, transisi hijau akan runtuh di hadapan ketidakpuasan rakyat.

Memanfaatkan Sisa Waktu

Meski demikian, buku ini juga menantang pembaca untuk melihat ke dalam diri sendiri. Beckert tidak menafikan tanggung jawab individu, tetapi menolak pendekatan moralistik yang hanya menekankan perubahan gaya hidup personal. Perubahan strukturlah yang utama, meskipun pada akhirnya juga harus didukung oleh kesediaan masyarakat luas untuk menanggung biaya. Konsumsi berlebihan di Utara dan aspirasi konsumtif di Selatan adalah dua sisi mata uang yang sama: keduanya memerkuat logika pertumbuhan tak terbatas yang seharusnya kita rem sekuat tenaga. Tantangan terbesar adalah membayangkan kembali apa arti kesejahteraan tanpa mengandalkan ekspansi konsumsi material tanpa henti.

Bagi saya, How We Sold Our Future adalah karya yang sangat menarik lantaran keberhasilannya menggabungkan analisis sosiologis, politik, dan ekonomi untuk menjelaskan mengapa perang melawan krisis iklim hingga sekarang tampak gagal.  Ia menyajikan kritik tajam terhadap Kapitalisme modern tanpa terjebak dalam jargon ideologis, dan mengajukan resep praktis tanpa jatuh pada simplifikasi teknokratik. Buku ini, bila saya boleh menaruh harapan, seharusnya dibaca bukan hanya oleh akademisi, tetapi juga oleh politisi, birokrat, eksekutif korporasi, dan tentu saja aktivis masyarakat sipil. Ia mengingatkan kita bahwa kegagalan melawan iklim bukanlah kecelakaan, melainkan hasil dari pilihan sadar yang terus saja kita ulang: yaitu menjual masa depan demi keuntungan sesaat.

Kesimpulan Beckert sangat tegas.  Tanpa perombakan struktural yang berani—baik di level ekonomi, politik, maupun budaya—kita hanya akan terus menunda, sampai Bumi sendiri memaksa kita berhenti. Pertanyaannya tinggal apakah kita mau memanfaatkan sisa waktu yang semakin memnyempit ini untuk bertobat, berhenti menggadaikan masa depan dengan harga murah, dan mulai merancang masa depan yang benar-benar layak huni?

Jakarta, 7 Oktober 2025.