Oleh: Jalal
Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia tentang kemungkinan Indonesia keluar dari Persetujuan Paris telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Alasan utama yang disampaikan adalah bahwa Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu negara maju terbesar dunia, juga telah menyatakan keluar dari kesepakatan global tersebut, untuk kali yang kedua. Namun, apakah langkah ini benar-benar solusi bagi Indonesia? Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, keputusan untuk menarik diri dari Persetujuan Paris tidak hanya akan merugikan Indonesia secara lingkungan, tetapi juga mengancam posisi strategis negara dalam diplomasi internasional.
Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia yang berada di sekitar garis katulistiwa, Indonesia adalah salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dari kenaikan muka air laut hingga bencana ekstrem seperti banjir dan kekeringan, risiko-risiko ini bukanlah sekadar ancaman teoritis—melainkan realitas yang sudah dibuktikan oleh berbagai penelitian ilmiah. Di tahun-tahun mendatang, sains meramalkan, besaran dampak krisis iklim akan makin dirasakan oleh kita yang berada di Indonesia. Oleh karena itu, alih-alih mundur dari komitmen global, Indonesia justru harus lebih vokal dan proaktif dalam memperjuangkan kepentingannya, serta kepentingan negara-negara berkembang lainnya, di berbagai forum internasional.
Sikap skeptis terhadap berbagai mekanisme internasional terkait dengan penanganan krisis iklim memang bukan tanpa dasar. Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, bahkan menyebut Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai “omon-omon” atau janji kosong belaka. Komitmen pembiayaan sebesar USD20 miliar yang dijanjikan oleh negara-negara maju melalui JETP hingga saat ini belum terealisasi. Hal ini mencerminkan ketidakadilan struktural dalam tata kelola iklim global, di mana negara-negara berkembang sering kali diberi beban besar untuk berkontribusi pada mitigasi iklim tanpa mendapatkan dukungan finansial yang memadai.
Di satu sisi, realisasi dari JETP sendiri sebetulnya tidaklah kosong. Hashim memberikan kesan bahwa tak ada dana yang cair. Ini jelas kesan yang keliru. “Hingga Desember 2024, negara pendonor dalam IPG telah mengucurkan US$ 230 juta dalam bentuk hibah dan bantuan teknis untuk 44 program. Selain itu, US$ 97 juta untuk 11 program yang masih dalam proses persetujuan. Berikutnya, US$1 miliar telah dialokasikan untuk investasi ekuitas dan pinjaman pada delapan proyek, termasuk pembiayaan PLTP Ijen sebesar US$126 juta dari International Development Finance Corporation (DFC) milik pemerintah Amerika Serikat. Bahkan, total pendanaan sebesar US$5,2-6,1 miliar untuk 19 proyek lain masih dalam tahap persetujuan, serta US$ 2 miliar telah dialokasikan dalam bentuk jaminan proyek dari Inggris dan Amerika Serikat.” Demikian keterangan dari Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, yang dikutip oleh publikasi Tempo.
Di sisi lainnya, tentu jumlah sebesar itu memang belum mencapai apa yang dijanjikan. Dalam hal ini penting untuk dipahami bahwa belum tercapainya jumlah tersebut tidaklah bisa disematkan sepenuhnya kepada komitmen berbagai negara dan bank yang terlibat saja. Indonesia sendiri punya tugas penting dalam mengajukan proposal teknis yang bisa memenuhi persyaratan perjanjian itu. Dengan demikian, ketika target belum benar-benar tercapai, kita perlu untuk melihat dari mana asalnya kesenjangan tersebut. Dalam situasi yang belum ideal ini, tentu saja pernyataan AS yang juga kemudian tidak mau melanjutkan komitmennya di dalam JETP menjadikan pernyataan Menteri Bahlai dan Utsus Hashim menjadi seperti mendapatkan pembenaran.
Namun, sangat penting untuk disadari bahwa AS bukanlah model ideal dalam penanganan perubahan iklim. Meskipun AS adalah salah satu penyumbang terbesar emisi karbon historis, langkah-langkah mereka sering kali dipenuhi ambiguitas politik. Ketika kekuasaan berada pada Partai Demokrat, komitmen penanganan iklim menguat; sementara ketika Partai Republik berkuasa komitmen itu seperti binasa. Presiden Obama punya banyak inisiatif yang menguatkan pengelolaan iklim, termasuk perjanjian bilateral dengan Tiongkok. Pada masa pemerintahan Donald Trump jilid pertama, AS secara resmi menarik diri dari Persetujuan Paris, meskipun akhirnya kembali bergabung di bawah kepemimpinan Joe Biden. Trump jilid dua kembali keluar dari Persetujuan Paris, selain membekukan semua bantuan asing apapun (kecuali ke Israel dan Mesir) termasuk dalam penanganan iklim. Sikap inkonsisten ini menunjukkan bahwa AS tidak selalu menjadi contoh yang patut ditiru dalam isu perubahan iklim.
Lebih jauh lagi, sistem tata kelola iklim global memang masih jauh dari adil. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali diminta untuk mengurangi emisi karbon tanpa mendapatkan akses yang setara terhadap teknologi bersih dan pendanaan yang memadai. Ini adalah ironi besar, mengingat negara-negara maju adalah penyumbang utama emisi karbon selama dua abad terakhir. Sebaliknya, negara-negara berkembang justru menjadi korban utama dampak perubahan iklim.
Tetapi, beragam temuan ilmiah tidak bisa diabaikan. Laporan-laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa Indonesia berada di garis depan krisis iklim. Kenaikan muka air laut diperkirakan dapat menenggelamkan sebagian wilayah pesisir di Indonesia jika suhu global meningkat lebih dari 1,5 derajat Celsius. Banjir ekstrem, gelombang panas, dan kekeringan yang berkepanjangan juga bakal semakin sering terjadi, mengancam ketahanan pangan dan kehidupan masyarakat. Dan, hingga sekarang, trajektori kenaikan suhu masih bisa mencapai lebih dari 2,5 derajat Celsius bila janji semua negara di dalam Persetujuan Paris dianggap bakal dipenuhi.
Kondisi ini membuat Indonesia tidak memiliki ruang untuk mundur. Keluar dari Persetujuan Paris akan melemahkan posisi Indonesia dalam memperoleh dukungan internasional untuk adaptasi dan mitigasi iklim. Selain itu, langkah ini juga akan merusak reputasi Indonesia sebagai negara yang bertanggung jawab terhadap masa depan planet ini. Reputasi yang oleh orang seperti Menteri Bahlil mungkin tidak pernah menjadi bahan pertimbangan.
Alih-alih menarik diri, Indonesia harus memanfaatkan platform Persetujuan Paris untuk memperjuangkan keadilan iklim. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah dengan memperkuat diplomasi kolektif, terutama dalam memperjuangkan hak-hak negara berkembang. Indonesia harus lebih aktif di forum-forum internasional, tidak terbatas pada Conference of the Parties (COP) untuk menuntut komitmen yang lebih konkret dari negara-negara maju, baik dalam hal pendanaan maupun transfer teknologi.
Selain itu, kerja sama regional di Asia Tenggara juga perlu diperkuat. ASEAN memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam transisi energi bersih. Melalui kolaborasi antarnegara anggota, ASEAN dapat mengembangkan inisiatif-inisiatif bersama untuk mitigasi dan adaptasi iklim, termasuk pengelolaan hutan tropis yang menjadi harapan dunia dalam penyerapan emisi.
Tiongkok, perlu benar-benar dipertimbangkan sebagai mitra strategis Indonesia, karena dapat menjadi kunci dalam upaya ini. Tiongkok saat ini adalah produsen dan eksportir teknologi energi terbarukan terbesar di dunia—jauh melampaui AS maupun negara-negara lain. Kerja sama teknologi dan pembiayaan dengan Tiongkok dapat membantu Indonesia mempercepat transisi menuju energi bersih.
Selain upaya diplomasi internasional, regional, dan bilateral, Indonesia tentu juga harus fokus pada langkah-langkah konkret di dalam negeri. Salah satu prioritas utama adalah menjaga dan meregenerasi hutan tropis. Hutan Indonesia adalah salah satu penyimpan karbon terbesar di dunia, dan kerusakannya akan berdampak buruk tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi seluruh planet. Program-program restorasi dan regenerasi hutan, seperti moratorium izin baru untuk deforestasi dan rehabilitasi lahan kritis, harus diperkuat dan didanai secara memadai, bahkan apabila tidak ada sumberdaya dari negara-negara lain sekalipun.
Di sisi lain, transisi energi juga harus menjadi prioritas. Saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara sebagai sumber energi utama. Untuk mencapai target net-zero emission pada tahun 2060—bahkan seharusnya pada 2050 bila mau sesuai tuntutan sains—Indonesia perlu mempercepat investasi dalam energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, hingga mikrohidro. Pemerintah juga harus memastikan bahwa transisi ini dilakukan secara inklusif, sehingga tidak menimbulkan dampak sosial yang merugikan masyarakat lokal. Ini perlu dilakukan untuk memastikan kemandirian, akses dan keadilan energi, bukan semata-mata untuk menurunkan emisi dari sektor ini.
Keluar dari Persetujuan Paris jelas bukanlah solusi bagi Indonesia. Langkah ini hanya akan melemahkan posisi negara dalam diplomasi internasional dan memperburuk dampak krisis iklim yang sudah nyata. Sebaliknya, Indonesia harus tetap berada di dalam kesepakatan tersebut, namun dengan sikap yang lebih tegas dan proaktif.
Dengan memperkuat diplomasi internasional, menjalin kerja sama regional dan bilateral, serta mengambil langkah-langkah nyata di dalam negeri, Indonesia dapat menjadi pelopor dalam perjuangan untuk keadilan iklim. Ini adalah momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan kepada dunia bahwa negara-negara berkembang juga memiliki peran penting dalam menyelamatkan planet ini. Keadilan iklim bukanlah mimpi yang mustahil—tetapi membutuhkan perjuangan yang gigih dan strategis.
Leave A Comment