Jakarta, 20 Januari 2025 – Hari ini, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengadakan rapat pleno untuk membahas perubahan ketiga Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Perubahan ini digadang-gadang untuk memacu hilirisasi dan mempercepat pemberian izin pertambangan. Namun, di balik narasi besar ini, terselip ancaman serius bagi lingkungan hidup dan hak masyarakat.
ICEL mencatat 4 (empat) catatan kritis: 1) Pemberian jaminan tidak adanya perubahan tata ruang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menutup ruang partisipasi masyarakat dalam penataan ruang; 2) Agenda pertambangan masih berorientasi pada eksploitasi alam, padahal terdapat kebutuhan mendesak untuk perbaikan tata kelola; 3) Perubahan UU Minerba masih membuka ruang kriminalisasi masyarakat; dan 4) Perubahan UU Minerba tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pertama, jaminan tidak adanya perubahan tata ruang tidak sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
Pasal 17A, Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), serta Pasal 172B ayat (2) Perubahan UU Minerba menjamin tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP dan WIUPK. Pada dasarnya, pengaturan ini mengakomodir Putusan MK No. 37/PUU-XIX/2021. Perlu dikritisi bahwa Putusan MK No. 37/PUU-XIX/2021 memandang sempit permasalahan dampak lingkungan hidup akibat kegiatan usaha pertambangan sebatas pada permasalahan evaluasi perizinan alih-alih evaluasi atas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup pada ruang pertambangan.
Penetapan WIUP dan WIUPK tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan membiarkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan tidak terpulihkan. Selain itu, pengaturan ini juga bertentangan dengan Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 dan Pasal 14A ayat (1) UU No. 26 Tahun 2007 yang mewajibkan adanya pertimbangan daya dukung dan daya tampung serta Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (4) UU No. 26 Tahun 2007 yang mengatur terkait peninjauan kembali rencana tata ruang.
“Perubahan Undang-Undang ini menunjukkan bahwa DPR menutup mata terhadap kenyataan bahwa kegiatan usaha pertambangan mengancam ekosistem dan ruang hidup masyarakat dengan dampak yang tidak terpulihkan. Tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, perubahan ini bukanlah solusi, melainkan masalah baru,” tegas Bella Nathania, Deputi Program ICEL.
Lebih lanjut, Bella menegaskan bahwa adanya “jaminan” meski diikuti dengan frasa “tidak bertentangan dengan undang-undang” pada akhirnya membatasi partisipasi masyarakat khususnya yang terdampak, karena menutup ruang untuk peninjauan pemanfaatan ruang.
Kedua, agenda pertambangan dalam Perubahan UU Minerba masih mengedepankan pada eksploitasi dibanding perbaikan tata kelola pertambangan
Dalam draf perubahannya, revisi UU Minerba belum merespon urgensi pengawasan dan penegakan hukum terhadap perizinan pertambangan mineral dan batubara yang telah terbit, baik yang telah beroperasi maupun izin-izin yang tidak aktif. Hingga tahun 2024, terdapat lebih dari 4000 IUP di Indonesia. Banyak pelanggaran tanggung jawab izin dan pengelolaan lingkungan hidup yang terjadi di wilayah izin pertambangan, seperti pelanggaran terhadap kewajiban pascatambang, di mana masih terdapat lebih dari 1000 lubang tambang yang belum dipulihkan.
DPR seharusnya fokus menggencarkan dan memfasilitasi proses peninjauan kepatuhan dan penegakan hukum terhadap izin-izin pertambangan dalam perubahan UU Minerba. Pemberian izin-izin baru tanpa adanya peningkatan dukungan terhadap penegakan hukum di sektor pertambangan semakin memperparah dampak pertambangan mineral dan batubara.
Terlebih lagi, Pasal 51, 51A, 51B, dan Pasal 104C perubahan UU Minerba secara eksplisit memberikan dukungan untuk hilirisasi mineral logam melalui penugasan eksplorasi dan pemberian WIUP secara lelang dan prioritas, tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan hidup. Padahal, hingga tahun 2020, setidaknya terdapat 339 IUP/KK aktif untuk pertambangan nikel dengan luas wilayah pertambangan mencapai 836.000 hektar. Eksploitasi nikel skala besar dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan berbagai eksternalitas di wilayah pusat pertambangan nikel seperti memburuknya kualitas air dan sanitasi di sekitar wilayah tambang.
“Memberikan WIUP secara prioritas untuk hilirisasi tanpa mempertimbangkan lingkungan hidup dan tanpa evaluasi peninjauan terhadap riwayat ketercapaian tujuan hilirisasi serta kepatuhan perusahaan, hanya akan membuka pintu untuk eksploitasi lebih besar dan memperburuk tata kelola pertambangan di Indonesia. Pengaturan ini semakin rawan disalahgunakan, dan menutup transparansi yang seharusnya menjadi dasar dalam pengelolaan sumber daya alam,” tambah Syaharani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL.
Ketiga, Perubahan UU Minerba masih membuka ruang bagi kriminalisasi masyarakat di sektor pertambangan. Hingga 2024, setidaknya terdapat delapan kasus kriminalisasi melalui Pasal 162 terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal ini sering disalahgunakan untuk mempidanakan masyarakat dan menghalangi mereka dalam memperjuangkan haknya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan.
Keempat, proses Perubahan UU Minerba tidak sesuai dengan tata cara penyusunan undang-undang.
Proses penyusunan dan pembahasan perubahan UU Minerba dilakukan secara tertutup dan bertentangan dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan haruslah memenuhi tiga prasyarat, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban yang diberikan. Partisipasi bermakna harus dilakukan sejak tahap pengajuan rancangan undang-undang hingga persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
“DPR juga dalam proses ini melanggar Pasal 126 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, di mana sampai saat ini belum terdapat naskah akademik yang dapat diakses oleh publik terhadap rencana revisi UU 4/2009.” Jelas Bella Nathania. Ia juga menuturkan bahwa berdasarkan Pasal 123 Peraturan DPR 1/2020, seharusnya RUU disusun berdasarkan Prolegnas Prioritas. Namun berdasarkan tinjauan ICEL terhadap daftar prolegnas prioritas, revisi UU 4/2009 tidak masuk ke dalam prolegnas prioritas 2025.
ICEL mendesak DPR RI agar proses pembahasan Perubahan UU Minerba yang sedang berjalan untuk segera dihentikan. Selain prosesnya yang terburu-buru, substansi perubahan juga akan menimbulkan masalah baru terhadap tata kelola pertambangan dan keberlanjutan lingkungan hidup. Proses penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan seharusnya mengedepankan transparansi dan partisipasi aktif masyarakat.
–00–
Narahubung:
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), info@icel.or.id, 081382777068
Leave A Comment