Oleh: Jalal

Saya harus mengaku  bahwa ketika membeli buku ini beberapa bulan yang lampau di sebuah toko buku di sebuah negeri yang jauh, pertimbangannya adalah judulnya.  Kalimat “Oceans rise, empires fall” langsung membetot benak saya, karena itu ada di dalam lirik lagu You’ll be Back yang dinyanyikan Jonathan Groff di musikal terpuji favorit saya, Hamilton.  Judul itu cukup untuk membuat saya membuka dompet, membelinya, lalu lupa untuk membacanya.  Sampai saya temukan kembali dua hari lampau, dan saya benar-benar tak bisa meletakkannya.  Dan, begitu selesai membacanya, saya merasa berhutang untuk cepat-cepat menuliskan resensi ini.

Oceans Rise, Empires Fall: Why Geopolitics Hastens Climate Catastrophe adalah buku karya Gerard Toal, profesor geografi di Universitas Virginia Tech, yang membahas hubungan penting antara geopolitik dan perubahan iklim. Secara sangat detail ia mengungkap bagaimana manuver geopolitik negara-negara besar, terutama dalam memerluas wilayah pengaruhnya dan mengeksploitasi sumberdaya alam, memercepat kerusakan lingkungan dan menghambat upaya efektif dalam menghadapi krisis iklim.  Pesan dari buku ini adalah bahwa persaingan geopolitik tradisional antarnegara adalah pendorong utama perubahan iklim, dan jika pola ini tidak berubah, umat manusia akan menghadapi konsekuensi yang katastrofis.

Persaingan Geopolitik dan Dampak Lingkungan

Cerita dalam buku ini dimulai dengan aktivitas pembangunan pulau buatan oleh Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, sebagai cerminan ambisi geopolitik modern. Dengan menciptakan pulau-pulau buatan yang dilengkapi dengan infrastruktur militer, Tiongkok menegaskan klaim teritorialnya atas perairan yang disengketakan. Namun, dampak lingkungan dari tindakan ini sangat besar, termasuk penghancuran terumbu karang dan destabilisasi ekosistem laut. Toal menyoroti bahwa praktik geopolitik semacam ini bukan hanya dilakukan oleh Tiongkok, tetapi mencerminkan pola yang lebih luas dan sudah berlangsung lama di mana negara-negara besar memrioritaskan penguasaan wilayah dan eksploitasi sumberdaya dibandingkan dengan keberlanjutan lingkungan.

Dorongan untuk mendapatkan bahan bakar fosil memainkan peran penting dalam strategi geopolitik. Laut Tiongkok Selatan, yang kaya akan cadangan minyak dan gas, menjadi wilayah yang diperebutkan di mana ambisi geopolitik berbenturan dengan kepentingan lingkungan. Persaingan teritorial ini juga terjadi di berbagai bagian dunia di mana negara-negara berusaha mengamankan sumber energi, atau mineral yang terkait dengan produksi energi, yang semakin memerburuk perubahan iklim.

Toal menelusuri sejarah geopolitik hingga era imperialisme Eropa, di mana ekspansi wilayah dijustifikasi melalui konsep seperti lebensraum (ruang hidup) dan eksploitasi lahan untuk keuntungan ekonomi negara. Dia berpendapat bahwa modernitas sendiri dibangun di atas dasar penaklukan wilayah dan eksploitasi sumberdaya, dengan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama yang mendorong industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai penjelasan yang terpenting.  Ia juga mengeksplorasi gagasan terraformation, yaitu proses yang digerakkan manusia untuk membentuk ulang permukaan bumi sesuai kebutuhan ekonomi dan politik. Proses ini, yang tertanam dalam ekspansi kapitalistik, telah menyebabkan krisis lingkungan yang kita saksikan hingga saat ini. Masyarakat industri telah mengubah lanskap alam, mencemari ekosistem, dan berkontribusi pada emisi gas rumah kaca yang kini mengacaukan iklim planet ini.

Kekuatan Besar yang Bergeming di Hadapan Krisis Iklim

Toal mengkritik peran negara-negara besar dalam memertahankan kelembaman dan kelambatan dalam menghadapi krisis iklim. Dia menunjukkan dengan gamblang bahwa persaingan geopolitik sering kali lebih diutamakan daripada aksi kolektif untuk mengatasi krisis iklim.  Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, dua penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, menghambat kerja sama yang berarti dalam mitigasi perubahan iklim.

Kompleks industri militer dituding sebagai kontributor pada perubahan iklim. Sektor pertahanan negara-negara besar adalah salah satu konsumen bahan bakar fosil terbesar. Aktivitas militer, mulai dari perang hingga pembangunan infrastruktur pertahanan, memiliki jejak karbon yang substansial. Namun, emisi militer sering kali dikecualikan dari perjanjian iklim karena lobi geopolitik.  Apa yang terjadi Ukraina dan Palestina jelas langsung terbayang ketika membaca bagian ini.

Tetapi, lebih jauh daripada sekadar pengabaian dampak iklim, Toal berpendapat bahwa praktik geopolitik itu sendiri adalah pendorong struktural dari krisis iklim. Negara-negara fokus pada mengamankan keuntungan teritorial dan memertahankan dominasi militer, sering kali dengan sengaja mengorbankan kesehatan planet. Pengejaran pertumbuhan ekonomi dan keunggulan militer memerkuat siklus ketergantungan pada bahan bakar fosil yang seharusnya bisa lebih cepat ditinggalkan, dan berdampak besar pada degradasi lingkungan.

Toal lalu memerkenalkan konsep Geopolitical Condition Red yang menunjukkan ancaman mendesak dan saling terkait yang disebabkan oleh persaingan geopolitik dan kerusakan iklim. Dia berpendapat bahwa tatanan geopolitik saat ini, yang ditandai dengan persaingan untuk sumberdaya dan kontrol wilayah, benar-benar membahayakan di tengah meningkatnya risiko iklim.  Beberapa titik kritis dan umpan balik dalam sistem iklim Bumi benar-benar dapat menyebabkan perubahan yang katastrofis. Dan, kenaikan permukaan laut, mencairnya lapisan es, dan cuaca ekstrem sudah mulai mengubah realitas geopolitik. Negara-negara kepulauan yang rendah dan kota-kota pesisir sangat rentan terhadap perubahan ini, yang dapat menyebabkan perpindahan massal dan konflik atas tanah yang dapat dihuni.  Respons geopolitik terhadap ancaman ini benar-benar jauh dari memadai. Alih-alih menangani akar penyebab perubahan iklim, negara-negara besar terus terlibat dalam perselisihan teritorial dan persaingan memerebutkan sumberdaya. Fokus pada keuntungan geopolitik jangka pendek dan menengah ini merusak keberlanjutan jangka panjang peradaban manusia.

Kebutuhan akan Kerangka Geopolitik Baru

Buku ini lalu menyerukan perlunya pemikiran ulang secara radikal tentang geopolitik melalui lensa geo-ekologis. Toal berpendapat bahwa umat manusia harus beralih dari pola pikir kompetitif dan teritorial ke pendekatan kolaboratif yang memrioritaskan kesehatan planet.  Kerangka baru ini akan membutuhkan perubahan dalam cara negara memandang keamanan dan kedaulatan. Konsep keamanan tradisional, yang didasarkan pada kekuatan militer dan kontrol wilayah, harus digantikan dengan pemahaman yang lebih luas tentang keamanan yang mencakup ketahanan iklim dan perlindungan lingkungan.

Toal juga menekankan pentingnya menangani ketidakadilan historis yang terkait dengan perubahan iklim. Negara-negara kaya, yang secara historis telah memberikan kontribusi paling besar terhadap emisi gas rumah kaca, harus memikul tanggung jawab yang lebih besar dalam mengurangi dampak iklim. Ini termasuk memberikan dukungan kepada negara-negara rentan yang terkena dampak perubahan iklim secara tidak proporsional.

Buku ini lalu menyimpulkan dengan peringatan keras bahwa umat manusia sedang memasuki wilayah yang belum terpetakan saat krisis iklim semakin dalam.  Toal menegaskan pendiriannya bahwa tatanan geopolitik saat ini tidak mampu menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Sifat kompetitif dari geopolitik memerburuk krisis, membuat negara-negara sulit bekerja sama dalam menemukan solusi.  Karenanya, dia menegaskan lagi keniscayaan pergeseran paradigma dalam politik global bila kita semua ingin selamat. Kerjasama internasional dan aksi kolektif yang efektif untuk mengatasi darurat iklim benar-benar diperlukan.

Bagi saya, Oceans Rise, Empires Fall menyajikan argumen yang sangat kuat bahwa geopolitik adalah hambatan utama dalam mengatasi krisis iklim. Pesan buku ini soal kebutuhan mendesak untuk memikirkan ulang praktik geopolitik dan mengadopsi pendekatan kolaboratif yang memrioritaskan kesejahteraan planet juga saya setujui sepenuhnya. Seruan untuk membuat kerangka geopolitik baru yang mengakui keterhubungan sistem manusia dan ekologi serta penekanan pentingnya menangani ketidakadilan historis dalam upaya melawan perubahan iklim juga sangat penting kita desakkan.

Pendapat Toal bahwa masa depan umat manusia sangat bergantung pada kemampuan kita semua untuk melampaui siklus destruktif persaingan teritorial dan merangkul visi baru kerja sama global dan keberlanjutan jelas tepat.  Tapi persis di situ juga yang membuat saya merasa sangat pesimistik terhadap masa depan keberlanjutan dunia.  Tahun 2024 telah dinyatakan sebagai tahun terpanas yang dicatat oleh umat manusia modern.  Kini setiap hari kita mendengarkan retorika Donald Trump yang atas dalih keamanan nasional negerinya benar-benar memanaskan suhu geopolitik Bumi.  Sementara saya belum melihat dan mendengar bagaimana rekomendasi Toal mungkin terwujud.

–##–